3 : Bantuan

1119 Kata
--- Ternyata dengan Sasha yang memilih diam, membuat suatu hal besar terjadi padanya. Ia menghela napas lega ketika Fatimah mengizinkan untuk kerja membawa serta Alvaro ke dapur warung. Ada kursi di sudut dapur, anaknya duduk diam di sana sembari memperhatikan karyawan berlalu-lalang. Sasha tahu itu tidak akan lama, mungkin saat siang hari Alvaro akan merasa bosan dan meminta pulang. Pekerjaannya berdiri di depan bak cuci piring, setiap ada antaran piring kotor, Sasha akan langsung mencuci. Ia tak suka yang namanya menumpuk, karena pasti akan berdiri lama di sana. Setiap kali selesai mencuci, ia akan menuju sang anak, mengajak mengobrol meski sebentar. Beberapa kali mengucapkan janji akan membelikan mainan saat pulang nanti. Begitu terus, agar tak merasa bosan. "Sasha?" panggil Fatimah. Ia menoleh dan segera menghampiri wanita itu. "Iya, Bu?" "Ada Indri, dia nanyain kamu." Sasha bisa melihat Indri tengah berdiri di belakang Fatimah. Wanita itu tersenyum, Ada Inka dalam gendongan. Entah apa yang ingin dikatakan, Sasha merasa tak jauh tentang Alvaro. "Al mana?" tanya Indri. "Inka nyariin." "Ah, itu lagi duduk di sana, Mbak." Sasha menunjuk ke arah anaknya. "Aku bawa pulang, ya, Inka nyariin soalnya. Biar kamu juga bisa fokus kerja." Setelah mengucapkan itu, Indri melewati Sasha dan menuju ke arah Alvaro. Sasha memang bersyukur memiliki tetangga yang baik, tetapi ia tidak ingin jika harus merepotkan. Melangkah untuk menolak pertolongan itu, tangannya malah ditahan oleh Fatimah. Wanita tersebut mengisyaratkan untuk tidak menolak. "Jangan kebanyakan nolak, nanti orang nggak ada yang mau bantu lagi. Terima aja, ini namanya kebaikan dari Allah," ucap beliau. Tak ada yang bisa Sasha lakukan selain mengangguk. Benar, biar bagaimanapun, sekarang tetangga adalah saudara terdekatnya. "Al aku bawa, ya." Indri menggenggam tangan kedua anak itu, bersiap untuk pergi. "Al, salam dulu sama mama." Selain ingin menjaga Alvaro tanpa imbalan, Indri juga mengajarkan nilai-nilai moral yang tak bisa Sasha berikan saat sedang bekerja. Ia bersyukur mendapatkan tetangga yang seperti mereka, seandainya suami dan mertuanya berhati lembut seperti ini, mungkin Sasha tak ada niat untuk keluar dari rumah. Alvaro mengambil tangannya, lalu mencium. "Al pergi dulu, Ma, assalamualaikum," ucap bocah itu dengan sangat lancar. Sasha terharu. Setidaknya, jika malam Alvaro mendapatkan lingkungan yang buruk, maka siang hari anak itu akan mendapatkan edukasi yang pasti bisa menutupi luka mental. Biarlah, kali ini anaknya bisa merasakan senang lahir di dunia ini. Ia menatap kaki kecil itu melangkah bersama Inka, keluar dari warung tanpa beban, tanpa merengek sang ibu tak ikut bersama. Sebuah anugerah yang tak pernah habis Sasha ucapkan syukur, mendapatkan anak seperti Alvaro. "Tetangga juga saudara," ucap Fatimah, sebelum berlalu menuju meja kasir. Sasha menghela napas dan kembali melangkah ke bak cuci piring. Sudah ada piring kotor di sana, tidak terlalu banyak, karena memang jam sarapan sudah lewat. Namun, jangan harap saat jam makan siang ia bisa bersantai. Ya, tempat ini menjadi favorit karyawan kantor sekitar, itu mengapa ia harus mengeluarkan tenaga ekstra di siang hari. --- "Pintar anak Umi," puji Indri saat Alvaro pamit dan mengucapkan salam. "Kami permisi dulu, Mbak." "Iya, besok jangan lupa, titipin Alvaro di sini lagi." Sasha langsung mengangguk. Meskipun masih ada rasa segan, tetapi ia harus menerima kebaikan tersebut. Mungkin sekarang ia belum bisa membalas, tetapi akan selalu diingatnya selama sisa hidup. "Mama bawa apa?" tanya Alvaro. Sejak dititipkan kepada Indri, anak ini sudah mau memulai percakapan, biasanya akan diam jika Sasha pun diam. "Bawa mainan buat Al, nanti kita buka di rumah, ya." Mata anaknya langsung berbinar, melompat senang sembari menatap kantung plastik yang berada di tangan Sasha. "Bilang apa ke Mamanya?" tanya Sasha. "Makasih." Alvaro memperlihatkan deretan giginya. Sasha menggendong Alvaro ketika masuk ke dalam rumah. Dilihatnya Fahmi tengah memainkan ponsel di atas sofa, terlihat santai dan tak peduli pada kedatangannya meskipun telah mengucapkan salam. Sejujurnya, ada rasa curiga ketika melihat benda di tangan pria itu. Ya, setahunya, sang suami tak punya ponsel, karena sudah dijual enam bulan yang lalu untuk menutupi hutang minuman keras. Pekerjaan tak jelas, bukan berarti langsung mendapatkan ponsel yang terbilang bagus. Tentu saja Sasha merasa curiga dan khawatir, rumah ini akan mendapatkan masalah dengan orang lain lagi. Enam bulan yang lalu, masih teringat jelas di kepala Sasha, bagaimana rumah mereka didatangi beberapa orang untuk menagih hutang sang suami. Sasha pikir itu adalah hutang berupa sembako, tetapi ternyata minuman keras. Mereka bertengkar hebat di hari itu, Fahmi menamparnya karena ikut campur. Sasha pikir itu tak masalah, karena ia sedang menegur sang suami yang berbuat salah. Namun, Fahmi berpendapat lain, katanya ia terlalu ikut campur. Sasha menurunkan Alvaro dari gendongan ketika sudah berada di kamar. Ia membuka kantung plastik yang dibawanya, lalu mengeluarkan mainan robot dari sana. "Ini buat Al," Memberikan mainan itu, "seneng, Nak?" Alvaro mengangguk, sembari tersenyum. Mata berbinar memperhatikan mainan barunya. "Besok boleh Al bawa ke Inka?" "Boleh, Sayang," ujar Sasha. "Yeee ...!" Bersorak riang. "Al main di kamar dulu, Mama mau masak buat makan malam. Jangan keluar sampai Mama jemput, ya." Anak itu mengangguk, kemudian berjalan ke sudut kamar, menghampiri mobil mainan yang ada di sudut kamar. Sasha segera keluar dari kamar, membawa serta kantung plastik yang di dalamnya terdapat telur. Ya, hanya ini yang bisa dibelinya sepulang kerja, selain berada di kios-kios kecil, ia juga tak bisa menjangkau pasar yang buka sampai sore. Ia tak mempedulikan Fahmi yang tertawa sembari memainkan ponsel. Tujuannya hanya satu, hidup tanpa mencari masalah dengan sang suami dan ibu mertua. Terserah mereka mau melakukan apa, Sasha tak peduli lagi. Asalkan anaknya tidak menjadi korban, ia tak masalah. Ia menyalakan kompor, suara langkah kaki terdengar menuju ke arahnya. Sasha menoleh, Fahmi dengan wajah jumawa menghampiri sembari mengulurkan tangan seperti meminta sesuatu. "Kata Ibu, kamu kerja dua hari ini," ucap pria itu. "Lalu?" Sasha mengangkat satu alisnya. "Bagi, aku mau keluar, jalan sama Fani." Nama itu baru didengarnya, sebagai istri pasti ada rasa penasaran dan ingin bertanya lebih detail, siapa gerangan perempuan yang bernama Fani itu. Namun, karena Sasha janji tidak ingin mencari masalah, ia diam, tetapi menolak permintaan tersebut. "Udah habis, aku beliin mainan Al," jawabnya, kemudian berbalik untuk mematikan kompor yang sempat dinyalakan. Sasha berjalan menuju bak cuci piring, sengaja menghindari kompor karena tak ingin mendapatkan perlakuan tak terduga. Fahmi belum juga melepaskan pandangan ke arahnya. "Gitu, ya, baru aja dapet kerja, langsung manjain anak!" geram Fahmi. "Semua orang tua kerja untuk anaknya." Sasha menjawab dalam suara pelan, bahkan hampir berbisik. Ia masih berdiri di dekat bak cuci piring, menggenggam pisau yang berada di dekat sana. Tidak, bukan untuk membunuh, Sasha hanya sedang berjaga-jaga. "Kasih, tidak?" Fahmi memaksa. "Pasti ada sisanya, nggak mungkin enggak." "Lihat di belakangmu, ada telur buat makan Ibu dan Al," sahutnya. Pria itu mendengkus, menendang kursi kemudian berlalu begitu saja. Semua orang pasti akan kehilangan kesabaran. Sasha hanya sedang menunggu waktu, jika sudah mampu, akan ditinggalkan rumah ini bersama sang anak. --- Vote
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN