Delapan bulan berlalu setelah keputusan Jason untuk keluar dari pekerjaannya. Dan sampai saat itu pun tidak ada sepeserpun uang yang laki-laki itu dapatkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari bersama Jesika sang istri.
Jesika menghembuskan nafas. Sedikit merilekskan tubuhnya yang terasa akan terbelah menjadi beberapa bagian karena kelelahan.
Disinilah Jesika saat ini. Di sebuah restoran sederhana yang sudah menjadi tempatnya bekerja selama empat bulan terakhir. Tidak ada dalam benak Jesika sebelumnya. Bahwa pernikahannya itu akan membuat Jesika harus bekerja sampai sekeras ini.
Bukan hanya di restoran. Bahkan sebagai agen asurani pun Jesika lakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan Jason. Namun, semua itu masih saja belum mampu mencukupi. Terkadang Jesika masih harus berhutang terlebih dahulu untuk biaya sewa tempat mereka tinggal.
Jesika menarik kursi. Duduk menyandar pada kursi kayu di sudut restoran tempat iya bekerja. Wajah cantik Jesika terangkat, melirik sekilas jam yang menempel di dinding yang menunjukkan pukul tujuh malam.
"Minumlah, Jes! Wajahmu sangat pucat" Ibu Alice pemilik restoran menyodorkan segelas air, memandang iba wanita yang duduk lemas dengan wajah pucat penuh dengan keringat.
Jesika mengganguk. Mengambil air itu dan meminumnya sedikit. " Terima kasih, Bu. Maaf kalau merepotkan." Ujar Jesika sungkan.
Bu Alice tersenyum ramah. Mengngangukkan kepala sebagai jawaban.
"Pulanglah lebih awal, Jes! Hubungi suamimu. Jangan pulang sendiri!" Bu Alice mengusap lembut kepala Jesika.
" Ibu tinggal dulu."
Setelah bayangan ibu Alice pergi menjauh dan tak terlihat lagi, Jesika kembali menekan perutnya yang terasa sakit. Kram yang begitu hebat wanita itu rasakan pada perutnya hingga hanya sekedar berjalan pun rasanya Jesika tidak kuat. Baju wanita itu semakin basah. Keringat dingin terus keluar dari tubuhnya yang terasa semakin melemah.
Dengan sisa tenaga yang Jesika miliki, wanita itu berulang kali mencoba menghubungi Jason sang suami. Namun, hingga panggilan ke lima laki-laki itu tak kunjung menjawab panggilan telpon sang istri.
"Hallo, Jes?" Suara Mira terdengar tepat di dering pertama. " Mir, tolong jemput aku sekarang di restoran!" Ucap Jesika lemah.
*****
Mira duduk di tepi kasur Jesika sembari sesekali merapikan selimut yang membalut tubuh sahabatnya itu.
"Jes.." Mira menepuk punggung Jesika yang menghadap membelakangi Mira. Jesika hanya diam dengan kedua mata terpejam. Tapi, Mira tahu sahabatnya itu sedang menangis.
"Semua akan baik-baik saja, Jes. Tenanglah. Semua akan baik-baik saja." Ucap Mira menenangkan.
"Jangan berkata apapun pada Jason, Mir." Gumam Jesika dengan suara parau.
"Jes, tapi Jason harus tahu. Jangan menagung semua kepedihan ini sendirian."
Jesika membalik badan menghadap Mira. Kedua mata indah wanita itu nampak merah dengan air mata yang terus mengalir. "Tidak. Jason tahu pun tidak akan merubah apapun."
Mira membuang nafas kasar. Mengganguk menyetujui permintaan Jesika. " Tidurlah. Kau pasti lelah." Mira beranjak berdiri. Meninggalkan Jesika yang perlahan mulai memejamkan mata.
Mira melangkahkan kakinya perlahan. Menuju pintu depan rumah Jesika yang terdengar bergeser.
"Kau baru pulang, Jason?" Mira berucap saat melihat Jason baru saja memasuki rumah.
Jason mengagguk." Maaf, Mir, merepotkan."
Mira hanya diam. Menggelurkan sebuah amplop dari dalam tasnya. " Pakailah ini. Belikan makanan enak untuk Jesika besok pagi. Dia butuh asupan gizi untuk memulihkan tubuhnya." Mira berlalu pergi, meninggalkan Jason yang hanya diam mematung.
****
Jesika menatap nanar dari balik pintu saat sang suami yang sedang berbicara dengan Mira. Lagi dan lagi Jesika merasa sangat bersalah karena selalu merepotkan sahabatnya itu.
Jesika membuka pintu kamarnya lebar. Berjalan menghampiri Jason setelah kepergian Mira.
"Sayang, maafkan aku. Aku tadi sibuk sampai tidak tahu kal___"
"Sibuk?" Potong Jesika. "Ah, pasti kau menghasilkan uang banyak hari ini hingga tak sempat menjawab telpon dariku." Sarkas Jesika. "Cepat bayar hutang-hutang itu jika kau mendapatkan banyak uang, Jason."
Jason mendekat kearah Jesika. Menarik tubuh mungil sang istri yang masih pucat ke dalam pelukannya."Maaf. Maafkan aku, Sayang. Aku belum bisa melunasi hutang kita."
Jesika melepas pelukan Jason dengan kasar. " Lepas!! Kau tidak berhak memelukku sebelum kau pulang membawa uang." Jesika berucap dengan suara meninggi. " Bahkan berdiri di rumah inipun kau tidak berhak, Jason. Jika kau tidak bisa memenuhi semua hal yang kita butuhkan."
"Jes, tenangkan dirimu, Sayang. Kondisimu tidak stabil. Kita bicarakan ini besok." Jason berusaha menggenggam tangan Jesika namun lagi-lagi wanita itu menepis dengan kasar.
"Tidak ada hal yang perlu kita bicarakan lagi, Jason. Aku lelah." Jesika menarik nafas dalam. "Mari kita akhiri saja."
Jason tersentak. Menatap tak percaya atas ucapan yang terlontar dari mulut sang istri.
"Sayang, Apa yang kau bicarakan? Jangan seperti ini, Jes. Sabarlah sebentar lagi. Kita pasti bisa melalui ini semua."
"Kau selalu saja memintaku untuk bersabar. Tapi apakah pernah kau pikirkan sekali saja apa yang telah aku lakukan untuk membayar semua tagihan?" Jesika menatap nanar Jason.
"Pernahkah kau berpikir Ah, Apa yang dilakukan istriku untuk membayar tagihan listrik, Ah, Apa yang dilakukan
istriku untuk bisa makan. Pernahkah kau
memikirkan itu?"
Wajah Jason terdiam membeku. Tak sepatah katapun keluar dari bibir laki-laki itu.
"Kau terlalu sibuk membangun dunia yang kau inginkan, Jason. Tapi kau tidak ingat dengan dunia yang sedang kita jalani."
"Aku hanya ingin membahagiakan mu, Sayang. Kau harus percaya padaku. Sabarlah sebentar lagi, Hem?"
Jesika menggeleng. "Mari kita akhiri semua dengan baik-baik, Jason. Mari kita akhiri saja." Air mata kembali mengalir membasahi wajah pucat Jesika.
Jason berlutut. Memegang kedua tangan sang istri. "Tidak, Sayang. Itu tidak akan pernah terjadi." Jason menangis tersedu.
"Pikirkan lagi, Hem? Aku tahu kamu sedang marah, kondisimu lagi tidak stabil, Sayang. Jadi jangan mengambil keputusan saat dalam keadaan seperti ini."
"Kita hanya akan saling menyakiti jika kita tetap melanjutkan ini." Jesika melepas genggaman tangan Jason. Membelai lembut rambut sang suami.
"Harapan terakhir yang kita miliki telah hilang, Jason. Tidak ada yang tersisa diantara kita berdua. Jadi, mari kita akhiri saja sampai disini."
Jesika berjalan meninggalkan Jason yang masih bersimpuh dilantai. Jason hanya bisa menangis. Menangisi pernikahannya dengan Jesika yang berakhir seperti ini.
Perlahan Jason berdiri. Menatap dalam diam kamar yang ada di depannya. Sayup-sayup terdengar suara tangis Jesika. Kedua tangan Jason terkepal erat.
"Menangis? Mengapa Jesika harus menangis? Bukankah ini yang wanita itu inginkan." Batin Jason.
"Baiklah. Jika ini keputusan yang membuatmu bahagia maka lakukan lah sesukamu." Jason keluar dengan membanting pintu dengan keras. Sedangkan tangisan Jesika semakin keras terdengar dari balik pintu rumah sewa yang penuh kenagan bersama Jason.