KETIGA

1049 Kata
VI. Pertanyaan Mereka Perayaan ulang tahun sudah lewat seminggu. Aku tak benar-benar ingin merobek kertas pembungkus hadiah, mereka terlihat imut untuk dilepas. Walaupun rasa penasaran menyelubungi diriku, tapi tetap saja!. Tidak ada yang tega merobek kertas imut. Mata para kelinci yang tergambar di kertas pembungkus itu seakan-akan berkata “tolong jangan lepaskan kami!”. Argh kepalaku sakit memikirkannya. Aku menatanya di lemari khusus dan membuka hadiah lain. Beberapa diantaranya hanyalah hadiah biasa seperti buku,cangkir atau beberapa macam pena. Tapi ibuku menghadiakan sebuah smartphone layar sentuh yang sedang ramai diperbincangkan saat itu. Jujur aku tak begitu tertarik dengan hal-hal yang berbau dunia maya. Dunia yang diciptakan oleh orang-orang pengguna media sosial. Ponsel pintar itu terbungkus di dalam kertas pembungkus bercorak kelinci tadi. Tentang beberapa pertanyaan yang menggangu, kebanyakan semua pertanyaan hanya merujuk pada 1 poin. “ayah kamu di mana?” “mengapa hanya tinggal berdua dengan ibumu?” Dicecar pertanyaan 5w+1h tentang sesosok “ayah”. Sudah seperti makanan sehari-hariku Saat tidak dicecar pertanyaan, maka otakku yang kembali bertanya “mana makananku?”. Ibuku sering menyuruhku berbohong tentang ayahku, misalnya dengan mengatakan ayahku merantau atau bekerja di negeri orang. Bahkan aku harus tutup mulut dan berpura-pura tak tau tentang perceraian mereka. Terutama harus menghindari acara yang harus menghadirkan sesosok “ayah”. Kenapa harus berbohong? Tinggal berdua di sebuah kota menjadikan kami wanita mandiri yang hidup tanpa adanya lelaki sebagai sandaran atau tulang punggung kami. Banyak orang yang menggunakan kesempatan ini untuk berbuat jahat. Bagaimana dijelaskannya, mungkin seperti pencurian atau hal-hal lain. Ibu tak pernah luput dari godaan maut suami orang. Tentu ibuku wanita kuat yang tak perlu gombalan lelaki manapun. Ia merasa jijik dengan perlakuan laki-laki sekarang yang tak tau malu. Bukannya ibuku juga melarang semuanya tentang ayah. Hanya saja ia ingin menjaga jarak, dan terbukti ayah tak pernah mencariku. Sebatas menanyakan kabar saja tidak pernah. Ataupun berpelukan dan menangis seperti anak lain merupakan hal yang mustahil. Laki-laki tetaplah laki-laki, keegoisan terlalu tinggi hingga membutakan diri mereka sendiri. Kalau diingat-ingat, dari lahir hingga kini aku belum pernah makan dari uangnya. Belum pernah menggunakan uangnya sepeserpun. Bagaimana bisa? Karena dari mereka menikah hingga bercerai, ibulah yang bekerja banting tulang dan ayah hanya tidur, berjudi, bermain dengan wanita lain di luar sana. Ibu bekerja keras dan ayah menghabiskannya dengan mudah. Bisa disebut juga cobaan yang berat untuk ibu, jujur aku ingin menangis saat mengetahuinya. “untuk kalian terima kasih sudah memperlihatkan kepadaku seperti apa lelaki sesungguhnya, mereka yang tak ingat dengan pasangan mereka. Namun berani mengucap janji suci di atas altar pernikahan yang diidamkan semua perempuan. Kalian… menghancurkan perempuan dengan sikap buruk yang tak bisa berubah” VII.Awal Cinta Pertama Yang Sebenarnya Pada akhirnya kertas kado kelinci itu berakhir di tempat sampah. Aku merobeknya karena lumayan penasaran dengan smarthphone itu. Sebuah smartphone layar sentuh dengan model terkini, mungkin keluaran tahun 2015. Fitur-fitur barunya menggodaku yang gagap teknologi ini. Melalui inilah aku berkenalan dengannya, pertemuan pertamaku dengan iblis pencari nafsu. Pagi itu cuaca tak terlalu baik untuk memulai hal-hal bahagia. Hujan badai menyelimuti kota kecil ini dari jam 5 pagi. Usahaku untuk menguruskan badan tertunda, harusnya aku melakukan jogging dengan tetangga sebelah rumah. Aku menyetel ulang beberapa jadwal hari ini, karena pagi ini gagal untuk melakukan olahraga. Maka aku ganti dengan membaca beberapa n****+ karya akiyoshi sensei. Orang-orang sering heran dan bertanya “mengapa tidak olahraga saja di rumah?”. Eum pertanyaan yang bagus, sejujurnya aku tak memiliki niat untuk berolahraga atau apalah itu anggapan orang. Hanya ingin keluar rumah menikmati dunia yang masih polos tanpa polusi. Begitulah pemikiranku, begitu sesak jikalau berolahraga di rumah. Kuurungkan niatku mencapai berat badan ideal dan fokus pada n****+. Malam nanti ada acara yang dibawakan pembicara terkenal di sebuah mall yang agak jauh dari kota. Aku lumayan lega saat mengira mingguku akan normal seperti biasanya. Kalau saja dia tidak datang tiba-tiba menawarkanku menjadi pengurus acara, mungkin aku akan tidur dan menikmati secangkir the dengan tenang. Bisa-bisanya ia tak meminta persetujuanku dahulu, dan sekarang pikiranku tak karuan mengingat semua kejengkelan ini. Buku n****+ karya Akiyoshi sensei jadi tidak enak dibaca. Bukan karena karyanya tidak bagus, hanya saja aku terlebih risau dengan masalah yang akan datang. Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh ruangan dan menghela napas panjang. Benar, aku tertekan dengan ajakan tanpa persetujuan itu. Aku menyempatkan waktu untuk melirik smartphoneku, barangkali ada suatu hal yang bisa membangkitkan moodku balik. Rey mengirimkan beberapa pesan singkat yang membuat moodku makin buruk. “sempatkan dirimu untuk meminta nomor gadis-gadis cantik di sana. Aku menunggu kabar baikmu beserta nomor dan foto mereka. Kau perlu semangat dariku? Ah tidak usah. Semangat atau tidak kau di sana ingat saja NOMOR GADIS CANTIK” “wuah lelaki cerdik ini tau bagaimana caranya memanfaatkanku, mungkin diriku yang kelewat bodoh” gumamku sembari mengirimkan beberapa pesan balasan ke Rey. Dalam sekejap waktu sebuah pesan baru kembali berlabuh ke smartphoneku. “jangan marah, aku hanya bercanda. Ngomong-ngomong aku ikut andil dalam acara nanti malam, sama sepertimu aku juga jadi pengurus di sana” Aku berusaha menenangkan diri, setidaknya ada yang menemaniku. Lupakan semua tentang apa yang akan terjadi malam ini dan focus pada n****+ sensei. Diriku! Kamu pasti bisa! Kata penyemangat yang aku lontarkan untuk diri sendiri. Ketika beranjak dari perpustakaan kecilku, aku baru saja memutuskan untuk tidak pergi dan menelantarkan tanggung jawabku sebagai pengurus. Dalam pikiranku terngiang-ngiang tentang banyak orang yang akan sampai di sana dan aku tidak diperlukan. Tapi rasa bersalah pula yang datang lebih awal ketimbang rasa malas. Dengan beberapa keluhan kecil yang keluar dari bibirku, aku menyanggupkan diri untuk mandi, makan dan berpakaian rapi. Menurutku, keadaan tidak akan berjalan lancar. Dalam waktu 30 menit aku sudah sampai di sana, benar dugaanku. Tidak ada 1 manusiapun yang hadir di sana. Atau aku yang terlalu cepat datang?. Untungnya aku mendengar beberapa manusia berbicara, hingga aku tak sendiri. Kaki ini hampir saja melangkah keluar dan pulang. Acara dimulai jam 8 malam dan aku datang jam 7 malam, 1 jam lebih awal. Pantas saja tak ada satu orangpun yang hadir di sini. Terlalu risau hingga lupa waktu yang tepat untuk muncul ke permukaan. Beberapa orang mulai sibuk mengatur kue-kue yang akan di bagikan dan menyusun beberapa souvenir kecil. Orang-orang mulai berdatangan memenuhi ruangan, kursi di dalam hampir terisi semua. Kemungkinan besar akan kurang untuk di duduki. Dan pekerjaanku adalah mengangkat kursi hingga keringatku bercucuran deras.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN