"Buka matamu lebih lebar dan lihat lah dia, disana," sebenarnya Sofia tidak ingin mengatakan ini. Dia menyadari pria di sampingnya entah bagaimana akan menatap kosong tiap kali dia mengupayakan hubungan normal layaknya lelaki yang akan menaruh hati pada perempuan muda.
"Aku akan menunggu disini. Kembalikan barang-barangnya," acuh tak acuh dia berkata, mengabaikan masukan temannya yang dengan sangat sabar mencoba memberinya masukan untuk tidak menyia-nyiakan uang yang sudah dia bakar. Mendandani gadis polos yang detik ini duduk di meja resto dikelilingi sekelompok anak muda yang tawanya menulari gadis yang banyak menampilkan giginya -tersenyum- daripada berbicara.
"Siapapun yang melihat dia akan tertarik, kecuali pria bodoh sepertimu," Sofia mencibir dengan ekspresi paling sempurna untuk menghina makhluk ganjil yang sesungguhnya teman bermain lumpur ketika masa kecil.
Andai bukan karena keduanya telah menghabiskan masa kecil bersama, kemudian tiba-tiba berjumpa lagi dengan tinggal satu lantai di penthouse yang sama dan perlu mendekatinya untuk mendapatkan pekerjaan yang layak demi tagihan kartu kreditnya yang membengkak sebab gaya hidup sosialita yang dia miliki. Sofia tak akan peduli dengan makhluk konyol bernama Bramantyo.
Perempuan tersebut menuruni mobil dan membanting pintu hingga bunyi 'Boom' menguar, membuat Bram mengumpat sekaligus memberinya tatapan tajam seolah manik mata abu-abu lelaki tersebut bisa menusukan benda tajam dan sesungguhnya hal tersebut akan berlaku pada siapa saja kecuali pada Sofia, teman bermain lumpur —benar-benar lumpur- pada air mancur buatan yang dipenuhi ikan koi milik keluarga Dichter. Mereka akan mengacau ikan-ikan tersebut sampai kakek tua Dichter meneriaki keduanya dan kabur.
Ketika Sofia melangkah, mungkin sekitar empat langkah. Perempuan tersebut berdiri termangu menggenggam tas selempang abu-abu usang dan tak ada menariknya sama sekali. Mengangkat benda di tangannya sekilas, lalu mengamati pemandangan di hadapannya.
Dia si kepompong yang baru bermetamorfosis duduk di dekat bentang kaca sehingga dapat teramati sempurna. Menyadari beberapa anak muda yang sedang mengobrol dengannya curi-curi lihat, sejenak Sofia paham, gadis tersebut seharusnya akan jadi berbeda dengan kemudahan berupa kepolosannya untuk-, "Ah' pria bodoh!" dia memekik, mengumpat pada lelaki yang masih saja menenggelamkan diri mengamati handphonenya.
'Pasti dia menunggu panggilan mustahil itu,' tersentuh dengan tindakan kesia-siaan yang di umbar Bram, sisi kemanusiaan perempuan tersebut tumbuh seperti bunga narcissus jatuh ke danau dan menjadikan si narsis itu menemui ajal.
Bunga ratapan kesedihan, buah konklusi otak Sofia terhadap kesia-siaan yang tengah dia lihat atas wajah tampan serta kelimpahan yang dimiliki Bram akan terbuang percuma jika dia melanjutkan hidupnya dengan cara yang sama.
"Tuk tuk tuk," tangan dengan kuku hasil perawatan perempuan tersebut mengetuk kasar kaca jendela di sisi samping duduk Bram.
"Ada apa?" nada dan raut wajahnya datar.
"Buka pintu!!" kata Sofia, "Sekarang!" lengkapnya berapi-api.
"Ada apa denganmu?!" terpancing, kesal Bram membuka pintu dengan segera.
Berbekal keberanian yang keterlaluan, tepian jas yang belum sempat dilepas pria tersebut ditarik Sofia, "Turun!" rasa-rasanya pakaian itu akan robek ketika Bram tak mengikutinya.
Disaat terlepas, pria tersebut menyikut lengan sofia, "Kamu salah makan?" dia mengerut.
"Aku lapar, mari kita makan!" si manajer tampaknya mulai menjalankan misi rahasianya.
"Kamu tidak diet?," dan pria yang menjadi targetnya, tak menaruh rasa curiga barang sedikit pun.
"Tidak, untuk hari ini," Bram memainkan matanya, seolah ada kata 'wow' terlukis di dahinya ketika mendengar jawaban Sofia.
Berjalan membuntuti perempuan tersebut, dan alisnya benar-benar mengerut saat teman sekaligus rekan kerjanya itu memilih meja di sudut seolah mereka akan memata-matai gadis yang duduk dengan sekelompok teman lelakinya.
"Kenapa kamu tak langsung mengembalikan barangnya?" wajah Bram bertanya-tanya seiring datangnya waitress menawarkan menu yang di rasa bukan kebiasan Sofia dan dirinya. "Benar kita akan makan ini?," manik mata abu-abu melirik menunya, "Makanan berat di malam hari, aku yakin besok pasti kamu akan memekik menatap wajah di cermin," hafalnya, memprediksi yang akan terjadi di pagi hari pada temannya yang tergolong dalam perempuan ribet.
Kenyataannya, Sofia lebih banyak mengamati gadis yang mereka 'zalimi' sejam sebelumnya dan membiarkan Bram berbicara sendiri.
"Menu terfavorit, dua porsi," malas berpikir, Bram mengusir waitress tersebut. Penasaran, dia mengikuti arah pandangan Sofia.
Ketika perempuan tersebut tahu temannya mengikuti arah pandangannya, dia bersuara, "Apa kamu tak melihat betapa dia saat ini menjadi begitu menarik?".
"Dia?" sebodoh itu kalimat kosong keluar dari mulut Bram.
"Jangan membuatku ingin memukul kepalamu," Sofia menikmati kesempatan langka bisa menghina temannya itu, "Lihat! Para pemuda itu menatapnya dengan cara berbeda," kembali dia bersuara, menjalankan misi merebut perhatian Bram
"Pilihan baju dan salon rekomendasimu cukup bagus," akan tetapi reaksi yang diberikan pria tersebut sama, standar.
"Bukan itu!" ada nafas yang terambil, mendalam, "Aku hampir tak percaya, kamu benar-benar tak tertarik? Sedikit pun?!" mata Sofia seolah akan jatuh dari wadahnya ketika mempertanyakan hal tersebut pada pria di hadapannya.
Bram sekedar menaikkan bahunya, memberi ruang pada waitress yang membawa pesanan dengan memundurkan tubuhnya. Pria tersebut menyandarkan diri pada penyangga kursi. Detik berikutnya dia mencoba meraih sendok dan hampir menjatuhkan benda tersebut ketika secara mengejutkan Sofia tertawa terbahak-bahak tanpa sebab. Dimana bunyi lain —di meja berbeda, menandakan ada sesuatu yang besar sedang terjadi.
Salah dua dari keempat pemuda yang mengelilingi gadis bernama Mimi bergulat konyol memperebutkan kunci mobil. Dan Sofia tak henti-hentinya menertawakan hal tersebut.
Dua pemuda tersebut membuat Mimi ketakutan dan Sofia yang masih tertawa tahu, saatnya mereka hadir, "Ayo!" perintahnya pada Bram. Lupa perempuan tersebut harusnya diperintah bukan memerintah.
"Kamu bahkan belum menyentuh makananmu," jawab Bram, menatap pesanan mereka.
"Aku sedang diet," santai balasan Sofia.
"Kau?! Kalau bukan temanku, sudah-"
"Ayo!" Sofia kembali menarik jas yang dikenakan Bram seenak hatinya.
Keduanya berakhir dengan berdiri di antara kericuhan serta sekelompok pegawai resto yang memasang raut muka khawatir hingga perlahan-lahan berubah menjadi rasa syukur ketika perempuan dan lelaki dengan penampilan termodis akan tetapi asing bagi mereka, hadir entah dari mana. Membuat dua anak muda badung berhenti dari pertikaian yang ternyata sekedar karena ingin menjadi pengemudi dalam perjalanan pulang.
Anton melepas rambut Sultan dan Arga ikut melepas tarikannya pada Anton. Ketiganya di dekati pria paling tinggi di antara mereka. Pemuda yang memberi Bram tatapan paling dingin sebelum meraih kunci dan berakhir menjerat lengan Mimi untuk membawanya keluar dari resto tersebut.
Belum ada yang bisa menjelaskan bagaimana pertikaian itu bermula —yang pasti, telepon pak Yosan salah satu pemicu awalnya. Keduanya buru-buru berdiri merapikan diri. Arga yang tadinya sekedar bertugas untuk memisah Sultan dan Anton, malah paling lama merapikan rambutnya.
Bram dan Sofia sempat tertegun beberapa saat. Mereka tergugah kembali ketika Mimi mendekat dan menyentuh ringan lengan manajer itu secara malu-malu menggunakan ujung kuku barunya yang tampak cantik, "Tas saya, bu?," suaranya ragu, "Boleh saya mengambilnya?" kembali dia bersuara dengan sedikit keras.
Tas itu berada di genggaman tangan sofia, sebab perempuan tersebut tak akan berkenan menyelempangkannya pada tubuhnya. Sangat tak elegan untuk fashionnya yang sempurna tiap menit dan detik.
Perempuan dan pria yang awalnya mengarah pada tiga pemuda, kini berbalik menatap keberadaan Mimi, "Tunggu!" menaikan tas, lalu menyelipkannya di antara lengan dan pinggang Sofia yang ramping. Sedikit naik, hampir menyentuh ketiaknya. Akan tetapi gadis polos itu yakin ketiak itu pasti wangi. Sewangi harum rambut dan parfumnya yang menguar setiap saat, "Kami yang akan mengantarmu," dia berkata. Menyenggol tubuh Bram.
Spontan tiga pemuda di belakang dua manusia yang menatap Mimi, mendapati dorongan pada sela-selanya.
"Mimi," Anton menarik lengan gadis tersebut ke belakang, "Ayo!," pintanya, meninggalkan tempat tersebut.
"Tasku," gadis itu minta berhenti, sehingga para anak muda tersebut secara serempak menghentikan langkah.
"Tidak akan aku kembalikan tasmu kalau bukan aku yang mengantarmu pulang," nada bicaranya sedikit mengintimidasi. Membuat gadis di hadapannya mengerut takut.
"Tempat tinggal saya di sekitar sini kok, bu," Mimi mendekat, ekspresi permohonan hadir pada wajahnya.
"Seorang gadis muda di bawa empat laki-laki selarut ini?" kalimat Sofia secara tidak langsung menampar kesadaran para pemuda di sana.
Andai orang bisa menangkap apa yang dilakukan Bram —yang termangu di dekat Sofia, lelaki yang berdiri bak manekin tersebut tengah bosan dan hanya satu yang ada pikirannya, 'Kenapa tidak segera kamu kembalikan! Aku butuh istirahat,'.
"Tempat tinggal saya sudah dekat, bu," menegaskan pernyataan, dia yang tengah bicara menatap sekilas Sofia lalu menunduk lagi. Kian menunduk ketika Bram menjatuhkan tatapan malas padanya.
"Ada apa ini?," pemuda yang sudah dua kali memberi tatapan dingin pada Bram, kali ini datang lagi. Bukan sekedar dingin tapi lebih dari itu, dia seolah memercikan permusuhan.
_Ah' anak-anak ini benar-benar merepotkan_ gumaman Bram tertelan untuk dirinya sendiri, "Ayolah! berikan saja barangnya," pria tersebut menyentil tas Mimi yang di dekap tangan Sofia. Sekali sentilan dan lekas berhasil, buru-buru menyerahkannya pada gadis tersebut.
"Jangan lakukan!" pekik Sofia.
"Terlanjur," santai mengangkat bahu, "Aku ingin pulang," Bram menguap dan dia menutup percakapan. Pergi terlebih dahulu dari yang lainnya.
Pria dengan manik mata abu-abu tersebut belum benar-benar menghilang dari tempat itu secara menyeluruh, saat sekali lagi Sofia memekik dan membuat semua orang menoleh pada perempuan berparas glamour tersebut, "Gadis muda diantar empat laki-laki ke huniannya? Sungguh tak habis pikir. Bagaimana kalau mereka melakukan tindakan tidak pantas?" suaranya membahana dan detik ini juga, rasa-rasanya Bram ingin sekali membungkam mulutnya rapat-rapat.
Membalik tubuhnya dan mendapati anak-anak muda tersebut berdiri kaku, terpojok oleh tatapan para pengunjung resto. Dan dengan bangga, sahabatnya yang tidak tahu diri itu menarik tangan gadis polos tersebut untuk mengikuti langkah kakinya yang dibuat seanggun mungkin. Mengibaskan rambut, melewati empat pemuda sekaligus. Bahkan melintasi Bram yang menampakkan wajah jengkel.
"Ayo!" Sofia berputar begitu saja, menggenggam erat-erat tangan Mimi. Dengan wajah merah malu bercampur resah, gadis tersebut menunduk berharap wajahnya hilang tertelan rambutnya yang menggantung jatuh.
Bram tidak memperdulikan lagi bagaimana para pemuda tersebut mengatasi situasi yang didapat. Sebab, kini ada perempuan yang termangu di depan gerbang bertuliskan 'Menerima kos putri'. Jadi secara garis besar dan tanpa berucap, raut wajah Mimi menjelaskan dia tak akan bisa memasuki indekosnya.
Kedatangan Mimi melebihi jam malam yang selama ini tak pernah dia ingat sebab dia tak membutuhkannya. Alias, selalu pulang tepat waktu. Kalaupun harus lembur, tidak pernah lebih dari pukul sebelas malam —seperti saat ini.
"Ya sudah, tidur saja di rumah Bram!" Sofia santai berucap membuka kembali pintu mobil sahabatnya.
"Kau!!" Bram memelototi Sofia,
"Bubu belum kenal dia," Bubu adalah anjing jenis bulldog milik sofia yang akan menggigit orang asing, orang baru tak peduli siapapun dia. Artinya sofia tak akan bisa menerima tamu asing walaupun itu gadis rentan layaknya Mimi.
"Cuma semalam, kamu punya banyak kamar -kan?" Menarik paksa tubuh Mimi dan memasukannya kedalam mobil kembali, "Kita pulang!"
"Tunggu sebentar, aku belum setuju!"