Saat ini, Layla menatap pantulan dirinya di cermin. Ia memegang pipi nya, kembali mengingat wajah Leo dan juga deruan nafas pemuda itu yang membuat perasaan serta tubuh nya merasakan hawa panas.
Tidak boleh! Ini tak boleh terjadi.
Layla meraih remot menekan nomor 2, tak lama satu pengasuh masuk dan segera melakukan tugas nya menyiapkan nya air untuk nya.
"Air dingin saja." Pinta nya.
"Baik Preadir."
Sembari menunggu pengasuh melakukan tugas nya, ia membuka email dari beberapa client nya.
"Presdir, sudah selesai."
Layla mengangguk. "Siapkan pakaianku, beritahu Maria dan Paman untuk segera bersiap. Aku harus keluar."
"Baik Presdir."
Pengasuh bernama Lisa segera keluar tak lupa menutup pintu.
"Nona ingin keluar, siapkan semua nya." Kata nya di angguki tiga teman nya.
Pengasuh bernama Rose di bagian style pun segera menghubungi Layla. "Nona ingin formal atau santai?" dia memang selalu bertanya sebelum melakukan tugas nya. Apalagi hari ini adalah hari libur, ia tak mau Presdir nya salah menggunakan pakaian.
"I like Chic Style."
"Baik Presdir."
Rose berbalik menatap yang lain. "Chic Style." Kedua pengasuh mengangguk selain Lisa, mereka mulai menyiapkan semua keperluan Layla.
Sedangkan di tempat lain, "Maria, Tuan Max, kata Presdir ia ingin keluar. Seperti nya ada pertemuan." Kata Lisa menyampaikan pesan Layla.
"Benarkah?" Maria pun mengecek ponsel nya, "Paman Max, ini dari mumbai." Kata nya menoleh ke arah Maxi yang mengangguk mengerti, apa yang harus dia lakukan.
"Sebelum itu, berikan ini pada nya." Helena memberikan nampan yang berisi makanan kesukaan Layla untuk hari ini.
"Baik." Kata Lisa menerima nampan tersebut lalu kembali ke kamar Layla.
"Bu, aku siap-siap dulu."
Helena mengangguk meraih remot, menekan nomor satu.
"Ya Helena," Salah satu pengasuh Leo mendatangi Helena.
"Panggil anak itu, dia harus sarapan."
"Baik."
Sementara Leo, oa tak bisa mendiam kan kedua kaki nya mengingat apa yang telah dia lakukan dan katakan.
"Dasar bodoh!" Umpatnya memukul kepala nya kesal. Leo baru saja memikirkan resiko yang akan ditanggung nya. Jika gadis itu mengatakan semua pada sang ayah, bukan nya keluar dari sini, tapi berada berakhir dalam kuburan. Orang kaya dapat melakukan apapun, termasuk membunuh siapapun yang merusak keluarga nya.
Mata Leo kembali menyapu kamar. Kalau dilihat-lihat lagi, seperti nya Nyonya yang membeli nya punya kekuasaan yang besar. Lihat saja, wanita itu bahkan berani membawa seorang pemuda yang dibeli dari pasar loak seperti nya kemari.
Sembari memikirkan semua nya, satu hal terbesit dalam benak seorang Leo. Jika ia harus mati di tangan suami sang Nyonya, seperti nya itu akan lebih baik lagi agar dia terbebas dari semua nya.
"Saya tau apa yang ada dalam benak Tuan, tapi buang semua pikiran itu." Leo tersentak berbalik menatap salah satu pengasuh nya. "Maaf kalau Tuan terkejut, lebih baik anda turun untuk sarapan. Atau mungkin sudah memasuki makan siang. Helena sudah menunggu di bawah." Kata pengasuh tersebut.
Leo menghela nafas. "Apa kalian semua memanggil bibi Helena dengan sebutan nama? Itu sangat…"
"Tidak sopan, kami tahu Tuan. Tapi itu sudah peraturan dari keluarga Lincoln sejak dulu."
Kening Leo mengernyit bingung.
"Keluarga Lincoln? Siapa mereka sampai harus seperti itu."
"Apa?" Para pengasuh terperangah. "Jangan bilang Tuan tidak tau keluarga Lincoln siapa?" Tanya Lana yang mendapat gelengan dari Leo. "Oh my god!" Seru mereka menutup mulut tak percaya.
Sibuk membahas keluarga Lincoln sampai getaran di masing-masing saku menyadarkan mereka.
Lana dengan cepat meminta Leo untuk segera keluar dari kamar, sebelum mereka mendapat sanksi.
Sementara Layla, ia sudah siap dengan bantuan para pengasuhnya. Dari kepala sampai ujung kaki, semua perubahan dilakukan oleh pengasuh.
Ah benar juga, bencana tadi ya. Sebenarnya, dia melakukan pikiran bodohnya itu. Berdandan dengan semua alat make up yang ada ruang make up tanpa bantuan dari siapapun, dan berakhir seperti badut. Pada dasar nya seorang Layla tak pernah melakukan semua sendiri, jangankan menyentuh, tau apapun tentang make up saja dia tak tahu.
Itulah Layla Margaretha Lincoln, yang ia tahu hanya seputar bisnis tak ada yang lain. Dia bersyukur sih,setidak nya otak nya akan sangat encer jika berhubungan dengan bisnis. Seperti sekarang, Layla akan menerima tamu dari mumbai. Mumbai sangat terkenal dengan pertambangan batu permata dan juga berlian. Tapi untuk apa mereka sampai menghubungi perusahaan Layla yang berbaris dalam perhotelan dan juga resort itu,
Klotak klotak klotak…
"Helena,"
"Ya, Nona."
Sebelum mengatakan sesuatu, Layla kembali memikirkan semua perkataan dari Leo. Ia sejenak tertawa tak percaya.
"Ada apa Nona," Tanya Helena melihat gelagat dari Layla.
"Khem begini, beritahu semua nya untuk mengikuti semua permainan dari anak itu."
"Maksud nya?" Maria yang baru saja datang ikut bertanya, namun terkekeh saat mendapat lirikan sinis dari Layla. "Baiklah maaf. Tapi apa maksud nya?" Kembali bertanya dengan bingung.
"Dengar tadi kan, dia mengatakan sesuatu yang membuatnya terlihat bodoh. Jadi lakukan seperti yang ia pikirkan tak perlu meralat semua nya. Itu akan sangat menyenangkan."
"Baiklah." Mereka pun hanya bisa mengangguk, mengikuti perintah Layla.
"Nona, mobil nya sudah siap." Ujar Maxi, dibalas anggukan dari Layla dan Maria.
"Baiklah, ayo. Ah bu, minta pengasuh nya untuk berbelanja keperluan dia belajar." Helena mengangguk tersenyum. Seperti itulah Layla, kadang memanggil ibu kadang hanya nama. Semua itu sudah kebiasaan sejak kecil yang diterapkan oleh mendiang Veredick Lincoln, kakek dari perempuan itu.
Benar. Semua keluarga Lincoln telah meninggal dalam kecelakaan pesawat, menyisakan Layla seorang diri yang pada saat itu tengah berada di asrama sekolah menengah dan itu sudah 17th lalu.
"Bibi Helena," Leo menyadarkan Helena yang menjelajah ke masa lalu, ia beralih menatap kepergian Layla yang terlihat… wajah nya tetap seperti gadis kecil dengan pakaian apapun, pikir Leo.
"Duduklah." Pinta Helena pada Leo di angguki oleh pemuda itu.
"Bibi tidak makan?" Tanya Leo melihat Helena hanya diam menatapnya.
Wanita itu tersenyum menggeleng.
Leo mendesah pelan. "Kasta lagi." Mata nya melirik ke arah keluar, "Dasar majikan tak punya hati." Dumel nya membuat Helena tertawa kecil.
"Bukan seperti itu. Bibi sudah makan bersama Maria."
"Ah, seperti itu." Leo pun mengangguk. "Tapi temani aku ya," pinta nya pada Helena. "Dan maaf kalau aku akan sangat tidak sopan pada Nona di rumah ini."
"Sampai kapan,"
"Sampai aku bisa keluar dari sini."
Helena terkesima mendengar jawaban dari Leo. "Kenapa? Apa kau tak menyukai kamarmu atau mansion ini?" Helena mendapat gelengan. "Lalu," Tanya nya.
"Aku ingin keluar mencari pekerjaan. Bagaimanapun, uang yang Nyonya berikan pada wanita itu adalah hutang bagiku." Helena semakin terkesima, "Dan hutang harus dibayar walau sampai mati untuk mengumpulkan semua uang tersebut, tak apa selama aku keluar dari rumah ini. Tapi sepertinya aku akan berada di kuburan sebelum keluar dari mansion ini."
"Apa? Kenapa begitu?"
"Bibi tau kan aku seseorang yang dibeli, dan Nyonya rumah ini pasti sudah memiliki suami yang tak lain ayah dari Nona sombong itu."
Astaga! Helena tergelak menunduk menahan tawa nya, sedangkan para pelayan yang memang sudah dikabari tentang itu hanya bisa pura-pura sibuk ikut menahan tawa mereka.
"Bibi Helen,"
"Khem, ya ada apa?" Helena kembali melihat ke arah Leo.
"Jangan katakan pada Nona sombong itu tentang semua nya ya,"
Helena mengangguk. "Tapi Nyonya memberiku pesan, kalau kau harus meneruskan sekolahmu yang tertunda."
"Uhuk...uhuk...ugghh… APA!"
Helena kembali mengangguk sambil tersenyum lebar, membuat Leo semakin melotot tak percaya.