Sebulan kemudian...,
Mala akhirnya memutuskan untuk mempertahankan kandungannya. Dia pasrahkan semuanya. Adalah keinginan untuk menggugurkannya, tapi dengan cepat Mala tepis keinginan itu, dia tidak tega melakukannya. Ada saatnya perasaannya sangat galau sehingga dia hampir saja menghubungi layanan aborsi, tapi entah kenapa jiwa keibuannya muncul dan akhirnya dia akan mempertahankannya. Mala sudah mengatur strategi hidupnya kedepan.
Mala menghitung sendiri usia kehamilannya. Dia tidak mau mengunjungi bidan atau dokter kandungan. Dia tidak ingin pikirannya terbebani dengan pertanyaan-pertanyaan yang menggerahkan, seperti di mana suami ibu, bapak bayinya kerjanya apa, dan pertanyaan-pertanyaan lain seputar pasangan hidup. Mala yakin, usia kandungannya sudah menginjak dua bulan lebih.
Mala masih tetap bekerja seperti biasa. Dia belum siap kehilangan mata pencahariannya untuk beberapa bulan ke depan, sampai akhirnya dia bisa mengumpulkan modal untuk usaha kue-kuenya. Saat bekerja, Mala memakai baju yang agak longgar, agar kehamilannya tidak terlihat.
Suatu pagi, Bu Ajeng memanggil Mala. Ada tugas khusus untuknya.
"Mala. Ibu minta bantuan kamu hari ini saja. Usi izin pulang kampung seminggu ini. Risa sedang bertugas di gedung depan,"
Mala tentu menolak perintah Bu Ajeng untuk membersihkan ruang Pak Damian seharian ini. Apalagi kini dia sedang mengandung benih Damian.
"Kok kamu tolak? Biasanya kamu cepat ambil kerja ekstra..." gumam Bu Ajeng yang heran dengan sikap Mala yang menolak perintahnya.
Mala diam saja.
"Hm..., ibu tau, kamu sering dengar isu-isu ruang kantor Pak Damian yang jorok itu ya?"
Mala mengangguk lesu.
"Sekarang udah nggak lagi. Gampang kok bersiinnya. Kamu tinggal memastikan perabotan-perabotan di katornya bersih dari debu-debu."
Mala tidak bisa mengelak lagi.
"Cuma hari ini saja ya, Bu?" mohon Mala.
"Iya. Hari ini saja. Besok-besok selama Usi di kampung, Ibu yang ambil alih. Sekarang Ibu sedang ngurusin pegawai baru..."
Dengan perasaan yang sangat berat, dia akhirnya melakukan perintah Bu Ajeng.
_____
Mala cukup beruntung pagi itu. Damian tidak ada di ruang kantornya. Benar kata Bu Ajeng, ruangan Damian sangat bersih dan rapi. Tugasnya pun tidak berat, hanya melap-lap perabotan yang terlihat berdebu serta merapikan apa saja yang berantakan.
Tapi perasaan galau Mala tidak bisa terelakkan. Terutama saat matanya tertuju ke sofa besar nan empuk yang berada di dekap meja kerja Damian. Di sana, dia biarkan tubuhnya berjam-jam dinikmati sang miliarder.
Mala merasa lumayan beruntung hari itu, karena pekerjaannya sangatlah ringan.
Sedang asyik-asyiknya membersihkan meja kerja Damian, pandangan Mala tersita ke sebuah pigura kecil yang berada di atas meja kerja. Ada foto seorang perempuan berambut blonde yang tersenyum manis di dalam pigura tersebut. Mala ambil foto itu dan membalikkannya.
"Kathleen J..." gumam Mala saat melihat goresan marker di balik pigura tersebut. Seketika dia ingat nama yang disebut Damian saat menyetubuhinya. Pertanyaan siapa sebenarnya Kathleen si perempuan cantik dengan senyum menawan itu langsung menyerbu pikirannya.
Tapi, tiba-tiba pintu kantor dibuka Damian. Cepat-cepat Mala rapikan meja kerja Damian.
Damian memasuki ruang kantornya dengan langkah pongah tanpa sedikitpun melihat ke arah Mala.
"Kenapa telat? Saya sudah katakan ke Ajeng pukul delapan tepat kamu tidak boleh berada di dalam kantor saya lagi," titah Damian yang duduk dan langsung menghidupkan komputernya. Dia sekilas melihat Mala dengan ogah-ogahan.
Mala tundukkan kepalanya.
"Maaf. Saya hanya menggantikan posisi rekan kerja saya, Pak,"
"Tidak ada bedanya."
Mala pun langsung melangkah menuju pintu kantor.
"Sebentar!" seru Damian sambil meraih ponselnya. Mala menghentikan langkahnya.
"Aku tidak mau gadis yang ini, Jeng. Mana yang biasa membersihkan kantorku. Ini sudah pukul delapan. Dia sangat lamban,"
Damian menatap tajam Mala dari meja kerjanya sambil mendengar jawaban dari Ajeng melalui ponselnya. Tampak Mala yang berdiri di dekat pintu takut-takut memandangnya. Dia hanya mampu menundukkan kepalanya.
"Ok...," gumam Damian. "Kamu pergi saja. Saya tidak senang kamu kerja di ruangan saya. Kerja kamu tidak rapi," ucapnya ke Mala dengan wajah dinginnya.
Mala mengangguk patuh dan pergi.
Meski sedih dihardik Damian, Mala merasa lega. Ternyata Damian tidak mengenalnya. Setidaknya dia bisa dengan tenang memiliki anak yang dikandungnya tanpa rasa was-was.
Tapi dia tidak tahu apa yang terjadi setelah dia benar-benar pergi, Damian seperti menyadari sesuatu ketika memandang punggungnya menjauh.
***
Tiga bulan sudah kandungan Mala. Entah kenapa dia malah senang dengan kandungannya sekarang. Tidak ada lagi kesedihan yang dia rasakan. Setiap malam dia usap perutnya dengan perasaan bahagia sambil berbicara seolah-olah ada lawan bicaranya.
Kini Mala sudah mantap dengan keputusannya, akan berhenti dari pekerjaannya. Mala ingin fokus berjualan kue-kue saja. Bagi Mala uang gaji selama dua bulan sudah cukup untuk modal usahanya. Mala bertekad untuk hidup sehemat mungkin, agar kebutuhan dirinya dan bayi yang dikandungnya terpenuhi dengan baik.
"Kenapa berhenti, Mala?" tanya Bu Ajeng sambil memegang dadanya. Saat tea time sore, Mala membicarakan rencananya berhenti dari pekerjaannya. Tentu saja Bu Ajeng terkejut karena selama ini Mala sangat rajin bekerja dan tidak pernah mengeluh sedikitpun. Mala adalah pekerja yang sangat berdedikasi tinggi. Tidak menyangka tidak sampai satu tahun Mala malah memutuskan untuk tidak bekerja.
"Ada pekerjaan yang lebih baik?" tanya Bu Ajeng hati-hati.
"Saya mau fokus berjualan saja, Bu. Usaha saya lumayan menghasilkan," jawab Mala tenang sambil meletakkan cangkir berisi teh hangat beserta piring tatakannya ke atas meja makan kecil.
Bu Ajeng agak curiga saat mengamati wajah Mala yang menunjukkan kesedihan.
"Apa keputusan ini ada hubungannya dengan mantan suami kamu dan anak-anakmu?" tanyanya pelan.
Mala menggeleng sambil memperbaiki bajunya yang terselip di celana seragamnya dengan sedikit melonggarkannya.
"Ada apa, Mala? Kamu punya masalah pribadi dengan teman-teman di sini?"
"Nggak ada, Bu. Saya ingin istirahat bekerja. Membuat kue-kue lebih santai."
Bu Ajeng sangat sedih dengan keputusan Mala.
"Ibu pasti merindukanmu, Mala. Kamu sudah ibu anggap anak ibu sendiri. Pekerjaanmu nggak pernah mengecewakan. Meski sempat ditegur Pak Damian, kamu tetap yang terbaik bagi ibu..." ucap Bu Ajeng penuh rasa sesal.
Mala sedih mendengar ucapan Bu Ajeng. "Saya juga pasti merindukan ibu. Salam saya buat Risa dan Usi. Terima kasih untuk persahabatan selama saya bekerja di sini..."
***
Berhentinya Mala dari pekerjaan mengagetkan semua rekan kerja. Mala dikenal sangat periang saat bekerja. Mereka sangat menyayangkannya. Apalagi Mala tidak segan membantu pekerjaan mereka dan tidak pelit tenaga. Mereka sedih sekali dengan kabar berhentinya Mala. Terlebih, Mala tidak mengucapkan selamat tinggal, dia hanya berpesan salam melalui Bu Ajeng.
Risa dan Usi yang terlihat sangat terpukul, mereka tidak sempat menanyakan tempat tinggal Mala. Ingin menghubungi ponsel Mala, ternyata nomor milik Mala sudah tidak bisa dihubungi lagi.
***
"Temani Mami ya, Sayang. Mami akan jaga kamu sekuat tenaga Mami," ucap Mala ketika memulai membuat kue-kue pada saat pukul empat pagi. Usahanya dalam waktu satu bulan sejak berhenti dari pekerjaan, memang cukup menjanjikan. Setiap pagi dia buka warung kecilnya, sambil juga menjajakannya di toko-toko terdekat. Mala juga menitipkannya kepada Sherly untuk dijual kembali kue-kuenya di kampusnya. Keuntungan yang dia dapatkan hampir dua kali lipat jumlahnya dari gaji di tempat kerjanya terdahulu. Dia juga tidak perlu membuang-buang tenaganya. Karena waktu istirahat cukup banyak.
Usia kandungannya sudah memasuki bulan keempat. Mala sudah tidak mau menutupinya lagi. Dia memutuskan untuk memberitahu Bu Fika dengan menceritakan sejujur-jujurnya tentang kehamilannya. Mala sudah siap jika Bu Fika tidak mau lagi membantunya, atau tidak mau menegurnya. Mala juga siap jika Bu Fika melarang anaknya untuk bekerjasama dengannya lagi. Seandainya dia diusir pun, Mala juga siap.
"Aku ingin mengakui satu hal, Bu..." ujar Mala memulai sambil menjaga jarak duduknya. Sadar bahwa dirinya sudah melakukan kesalahan yang sangat fatal dan pantas dijauhi.
"Apa, Mala? Kok sepertinya penting sekali..." gumam Bu Fika takut-takut.
"Aku hamil, Bu," aku Mala akhirnya.
Bu Fika terkejut. Dia pegang dadanya.
"Astaghfirullah, Malaaaaa..." ucapnya. Dia pegang dadanya kuat-kuat. Lalu dia pegang dua lutut Mala yang duduk di hadapannya. Mala mundur perlahan.
"Jangan sentuh aku, Bu. Aku hina..."
Bu Fika malah mendekat.
"Apa yang sebenarnya terjadi, Mala?" tanya Bu Fika. Dia tidak langsung menanyakan bapak dari benih yang dikandung Mala.
Mala akhirnya menangis juga. Padahal sebenarnya dia tidak ingin menangisi kandungannya.
Dia biarkan tangan Bu Fika memegang dua lututnya.
"Ini sudah bulan keempat. Ini salahku, Bu. Nggak bisa menahan kerinduanku sama keluargaku..." isak Mala.
Bu Fika tatap wajah sedih Mala dengan wajah prihatinnya.
"Mala..." desah Bu Fika.
Melihat sikap Bu Fika yang hangat, membuat Mala merasa tenang.
"Ibu. Maafkan aku..." ucap Mala dengan wajah penuh air mata penuh penyesalan.
"Aku butuh saran Ibu. Apa yang sebaiknya aku lakukan? Apa aku harus pergi dari sini? Aku sudah siap, Bu. Uangku cukup. Aku bisa memulai usahaku," ujar Mala sedih.
Bukan main Bu Fika sedih mendengar ungkapan Mala.
"Malaaa..." Bu Fika menggelengkan kepalanya, menyesali yang terjadi dalam hidup Mala.
***