Kak Raya

1633 Kata
Jakarta, 2002 *** Jari-jariku terpilin dengan gelisah saat Jovan dengan santainya malah bersenandung mengikuti alunan musik di radio. Beberapa kali dia tersenyum geli ketika menyadari kegugupanku. Perjalanan untuk menemui Kakaknya Jovan memang sedikit mengerikan. Ada beberapa hal yang membuatku  sedikit takut. Salah satunya, bagaimana jika Kakaknya Jovan tidak menyukaiku?? “Kakakku bukan orang yang galak. Jangan terlalu cemas, Meera. Aku takut kamu bisa pingsan nanti” Kata Jovan sambil terkekeh geli. Aku memukul lengannya pelan karena merasa kesal. “Aku takut dia tidak menyukaiku..” Tangan Jovan terulur untuk mengusap rambutku dengan pelan. Aku menengok dan menemuka dia masih fokus menatap ke jalan yang lumayan ramai karena ini hari Minggu. “Kamu bukan orang yang sulit dicintai, kamu tahu itu” Kata Jovan. Perlakuannya sedikit banyak membuat rasa gugupku menguap. Hingga tanpa sadar mobil yang kami tumpangi mulai memasuki kawasan Bandung. Yaa, Kakak kedua Jovan tinggal di Bandung karena mengikuti suaminya. Hari ini kami akan mengunjungi Kakak keduanya karena kakak pertama Jovan sedang ada di luar negeri. Aku tidak mempermasalahkan hal itu karena baik kakak pertama atau kedua, aku tetap senang karena diajak bertemu dengan salah satunya. Aku menatap bangunan rumah yang tidak jauh berbeda dengan bangunan rumahku. Besar dan mewah. Beberapa saat kemudian mobil kami mulai menghentikan lajunya karena telah sampai di tempat tujuan. Aku menatap rumah megah di depanku sambil tersenyum. Sekalipun sepertinya tidak sebesar rumahku, rumah ini terlihat lebih indah karena terdapat banyak tanaman mawar di sekeliling rumah. Halamannya diisi dengan air mancur yang dikelilingi bunga mawar merah pekat. Baru pertama melihat saja aku sudah merasa nyaman di tempat ini. “Kak Raya memang menyukai bunga mawar.. jadi beginilah penampakan halaman rumahnya. Bukan hanya Kak Raya, sih. Semua orang di rmahku menyukai mawar karena Mom menyukainya” Kata Jovan sambil membuka pintu mobil untuk turun. Kami berjalan menaiki setiap anak tangga menuju pintu rumah. Pintu besar di depan kami dibuka oleh beberapa pelayan berseragam tanpa perlu kami ketuk sebelumnya. Mereka seakan tahu jika aada tamu di depan rumah. Jovan menggenggam tanganku dan menuntunku untuk berjalan beriringan dengannya. Kami disambut oleh beberapa pelayan yang menunduk hormat sambil tersenyum ramah. Tipe-tipe orang kyaa memang tidak berbeda jauh. Mereka suka memperkerjakan banyak pelayan di rumah. “Kamu akhirnya sampai juga” Kata seorang perempuan berjauh biru muda yang berjalan ke arah kami sambil tersenyum. Saat itu juga aku langsung tahu jika dia adalah kakakknya Jovan. Mereka benar-benar terlihat mirip. “Kakak” Kata Jovan sambil memeluk perempuan itu. Aku tersenyum kikuk ketika Kakaknya Jovan tidak sengaja memandangku. “Ini siapa??” Tanya sambil berjalan mendekatiku. Tanpa aku sangka dia memelukku seperti memeluk Jovan. Aku tentu saja kaget karena tidak menduga hal ini. Mataku melirik Jovan dan menemukan dia sedang tersenyum geli sambil memandangku. “Aku Almeera, Kak” Kataku sambil tersenyum. “Almeera?? Nama kamu kayaknya nggak asing, kamu artis atau semacamnya??” Tanyanya sambil mengernyitkan dahi. Aku meringis ketika mendengar pertanyaannya. “Enak saja, dia bukan artis. Dia pacarku” Kata Jovan sambil menarik aku untuk mendekatinya. “Oh yaa??” Tanyanya. Aku hanya tersenyum malu. “Tapi Kakak nggak bohong, nama kamu seperti familiar di telianga Kakak. Padahal menurut kakak nama kamu bukan nama pasaran yang banyak digunakan orang” Katanya. “Itu perasaan Kak Raya saja..” Kata Jovan. “Iya. Mungkin begitu. Bailah, kalian ke atas saja dulu, nanti kakak menyusul setelah selesai dengan urusan dapur” Kata Kakaknya Jovan sambil menuntun kami ke arah tangga besar menuju lantai dua. “Kak Raya sedang apa di dapur??” Tanya Jovan dengan pandangan menyelidik. Kakaknya mengibaskan tangan dengan santai lalu tersenyum sambil merangkul Jovan. “Kakak lagi bikin kue. Sudah lama nggak bikin kue, kakak ingin makan kue” “Disini ada banyak pelayan, kan? Kenapa nggak suruh mereka saja??” tanya Jovan. “Kakak yang ingin bikin. Bosen kalau setiap hari Cuma jadi pengangguran” Jawabnya. “Ya, sudah. Aku ke atas dulu bersama Meera. Ayo, Meera” Katanya sambil menggandeng tanganku. “Eh, Em.. apa aku boleh ikut Kakak membuat kue??” Tanyaku pelan. Kakaknya Jovan tersenyum ketika mendengar pertanyaanku. Tidak lama kemudian dia mengangguk lalu membawaku ke dapurnya. Mataku mentap ke sekeliling dapur yang luasnya hampir sama dengan dapur di rumahku. Namun, lagi-lagi rumah ini memiliki nilai lebih. Sekalipun dapur kami sama luasnya, dapur milik Kakaknya jovan jauh lebih berwarna dengan adanya peralatan yang berwarna-warni. “Kakak suka beli sesuatu yang berwarna, jadi.. beginilah adanya. Dapur kakak warnanya kayak pelangi kalau kata Jovan” Katanya sambil tersenyum. “Aku suka dapurnya Kakak. Terlihat jauh lebih indah dari dapur rumahku” Katanya. “Nama kakak, Raya. Sama seperti Jovan, kamu bisa panggil Kakak, kak Raya” Katanya sambil tersenyum lagi. Aku menyadari satu hal, Jovan benar-benar mirip dengan Kakaknya. Senyum mereka sama persis. Dan juga, jangan lupakan mata coklat terang mereka. “Iya, Kak Raya” Kataku. “Almeera suka memasak juga??” Tanyanya sambil memecahkan beberapa butir telur untuk diaduk hingga mengembang. Aku menggelengkan kepalaku. Jangankan memasak, masuk dapur saja aku jarang. “Nggak pa-pa. Kakak juga begitu waktu masih remaja” Katanya sambil tersenyum. “Kakak bikin kue apa??” Tanya jovan yang tiba-tiba muncul lalu duduk di atas kitchen set. “Kakak mau buat bolu kukus. Almeera suka bolu??” Tanya Kak Raya sambil tersenyum ke arahku. Aku segera menganggukkan kepalaku. “Bagus kalau begitu. Kamu bisa sekalian belajar buat bolu bersama Kakak” Beberapa saat kemudian aku mulai melakukan perintah Kak Raya. Dia memberi petunjuk sementara aku yang akan melakukan segalanya. Jovan beberapa kali mencoba membantuku, tapi.. yaa begitulah.. laki-laki memang tidak pernah cocok dengan kue-kuean semacam ini. Sekalipun Jovan cukup jago dalam hal memasak, dia benar-benra payah dalam mengocok telur dan gula. “Hentikan itu semua sebelum kamu akan lebih menghancurkan dapur Kakak, Jovan!” Kata Kak Raya ketika Jovan lagi-lagi mengacau dengan menumpahkan menteganya. Aku hanya tertawa ketika Jovan harus dihukum membersihkan dapur setelah ini. “Aku kan masih belajar. Ini tidak adil, Kakak memperlakukan Meera dengan sangat baik sekalipun dia juga sering membuat kesalahan, sementara aku malah di sia-sia seperti ini” Protes Jovan sambil berjalan mendekati Kak Raya. Penampilannya yang kacau karena baju dan tangannya berlumuran tepung membuat Kak Raya berjalan menjauh dan malah mengusir Jovan agar dia keluar dari dapur. Lagi-lagi aku hanya bisa tertawa melihat pertengkaran mereka. Ah, apa saudara memang selalu seperti ini?? “Bolunya enak sekali. Kamu memang hebat, Meera. Ini pertama kalinya kamu membuat dan langsung berhasil” Kata Kak Raya beberapa saat kemudian ketika kami sedang bersantai di halaman belakang rumah sembali menikmati bolu tadi. “Ini berkat Kakak. Aku kan menggunakan resep dan petunjuk Kakak” Kataku sambil tersenyum. “Tapi kamu yang terbaik, Meera. Kak Raya dulu juga menggunakan resep ini ketika pertama membuat bolu, tapi hasilnya berbeda jauh dari punyamu. Dia meracuniku dan Kak Julia karena harus mencicipi bolu asinnya” Kata Jovan sambil memasukkan bolu berukuran besar ke dalam mulutnya. Aku tertawa ketika melihat dia kesulitan mengunyah bolu itu. “Itu dulu. Saat itu Kakak masih muda jadi belum bisa membedakan antara gula dan garam” Elak Kak Raya. Aku tergelak ketika mendengar ucapannya. Kupikir tidak perlu menjadi tua agar kita bisa membedakan antara gula dan garam. Oh, atau memang seperti itu yaa?? Apa orang-orang memang kesulitan mebedakan antara gula dan garam? Mungkin aku harus mulai berbangga diri karena aku bisa membedakan tanpa perlu kesulitan hanya dengan mengicip rasanya saja. “Sejak aku berumur 5 juga aku bisa membedakan. Kakak saja yang aneh” Cibir Jovan. “Bukan aneh, tapi memang begitu adanya. Anak remaja seumuranku saat itu, apalagi yang perempuan, kami tidak pernah mau repot-repot mengunjungi dapur. Pekerjaan kami setiap hari hanyalah pegi ke salon dan merawat diri supaya lebih menarik. Bukankah begitu, Almeera?” Aku mengangguk saja. Di kehidupanku memang begitu. Aku hampir tidak pernah pergi ke dapur karena semuanya sudah siap di meja makan ketika perutku mulai lapar. Aku tidak perlu repot menyiapkan semuanya sendiri karena di rumah ada banyak pelayan yang akan mengurus keperluanku. “Kalau begitu kenapa sekarang Kakak jadi hobi memasak??” Tanya Jovan. Ini juga yang membuat aku penasaran sejak tadi. Kak Raya memiliki semuanya yang dia butuhkan. Ada banyak pelayan yang pasti akan sigap membuat apapun yang dia mau tanpa perlu repot memasak sendiri. Yaa, sekalipun aku juuga senang sih diajari memasak olehnya. Kuenya terasa lebih lezat karena aku berusaha membuatnya sendiri. Kue ini terasa lebih berharga. Ada perasaan senang ketika mendengar pujian mengenai kue ini, sekalipun sebenarnya aku tidak membuat kue ini sendiri. Kak Raya banyak membantuku tadi. “Inilah bedaya, Jovan. Setelah menikah wanita cenderung lebih jarang pergi ke salon. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, dan.. karena wanita suka dipuji, untuk itulah Kakak belajar memasak. Pria itu suka diberi perhatian kecil, sekalipun tidak setiap hari, Kakak sering bangun pagi untuk memasak sarapan. Suami Kakak akan selau memuji untuk setiap masakan yang susah payah Kakak buatkan untuknya, Kakak suka mendapat pujian itu, dan suami Kakak, dia suka karena Kakak memberi dia perhatian lewat sarapan buatan Kakak” Jelas Kak Raya panjang lebar. Memang benar begitu, ya?? Bukankah sarapan buatan koki jauh lebih enak? Kenapa lebih memilih sarapan buatan istri yang rasanya masih meragukan?? “Masa begitu, sih?? Ribet sekali pernikahan Kakak” Kata Jovan sambil menggaruk tengkuknya. Aku meringis ketika Kak Raya memukul kepala Jovan. Sepertinya tidak sakit, tapi tetap saja itu mengagetkan, kan? “Itu bukan hanya pernikahan Kakak. Di semua pernikahan memang begitu aturannya” Kata Kak Raya. “Pernikahanku nanti akan berbeda. Aku tidak akan menuntut istriku untuk bisa memasak” Kata Jovan sambi tersenyum menatapku. Aku memalingkan wajah karena pipiku mulai terasa panas. Bibirku berkedut karena menahan senyum. “Ini bukan masalah tuntutan, Jovan. Ini lebih ke saling perhatian satu sama lain..” Kata Kak Raya. Aku mengunyah sisa bolu yang ada di di mulutku. Lalu.. “Apa Kakak bisa mengajari aku memasak??” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN