Jakarta, 2002
***
“Memangnya kenapa hari ini tidak bisa ke apartement??” Tanya Jovan ketika kami sedang menghabiskan jam istirahat di kantin.
Aku menghela napas. Mungkin ini adalah saat yang tepat untuk menceritakan kepada Jovan mengenai kecurigaanku terhadap Mama sejak tadi malam. Aku bahkan baru bisa tidur sekitar pujuk 3 pagi karena terus memikirkan hal ini.
“Kurasa Mama mengirim orang untuk mengawasiku” Kataku pelan.
Jovan mengernyitkan dahinya.
“Maksudmu ada orang yang mengikutimu? Semacam pengawal?” Tanya Jovan.
Untuk orang seperti kami, aku sebenarnya sudah terbiasa diikuti oleh pengawal sejak kecil. Tapi ketika aku mulai beranjak remaja, pengawasan terhadapku mulai dikurangi karena aku merasa sudah cukup besar untuk menjaga diri sendiri. Tapi entah kenapa sekarang Mama malah mengawasiku lagi.
“Ini masih kecurigaanku saja. Masalahnya Mama tahu kemarin aku pergi ke Bandung sekalipun dia tidak tahu aku bersama siapa” Kataku.
Jovan menganggukkan kepalanya. Kurasa dia mulai memahami masalahku.
“Mereka tentu tidak tahu kamu bersama siapa dan pergi ke rumah siapa. Perumahan kakak dijaga dengan ketat, kamu tidak mungkin bisa masuk kecuali memiliki kartu akses atau sudah memiliki janji dengan salah satu pemiliknya” Kata Jovan.
Aku mengerti hal itu. Perumahan sebesar milik Kak raya tentu bukan perumahan yang sembarangan.
“Kalau benar kamu diikuti, kenapa Mamamu tidak memberitahukan saja kepadamu?? Kenapa harus diam-diam??” Tanya Jovan.
Itu juga adalah pertanyaanku. Untuk apa mengikutiku secara diam-diam??
Orang yang diikuti diam-diam biasanya adalah orang yang dicurigai. Di dunia bisnis hal semacam ini sering terjadi, mereka akan saling bersaing dengan cara yang terkadang sedikit menjijikkan. Mereka akan mendapat banyak informasi penting dengan cara menguntit seperti pencuri.
Tapi.. inikan diriku. Untuk apa Mama harus mengikuti aku??
“Ada sesuatu yang disembunyikan Mamamu, Meera. Dan kurasa itu adalah yang besar”
Aku menatap Jovan dengan pandangan geli. Untuk apa juga semua itu??
“Kamu bercanda?? Apa yang disembunyikan Mama?” Tanyaku sambil terkekeh.
“Jika memang tidak ada yang disembunyikan, untuk apa juga dia mengikutimu seperti ini??” Tanya Jovan.
***
Aku berjalan menuju kamar Mama ketika aku baru pulang sekolah. Sesuai dengan keputusan awalku, aku akan mengurangi intensitas berkunjung ke apartement Jovan. Aku harus memastikan sesuatu terlebih dahulu.
Tidak seperti dulu, Mama yang pasti datang ke kamarku ketika di ingin berbicara denganku, sekarang sebalikannya. Mama pasti meminta aku yang datang ke kamarnya.
“Ma??” Panggiku sambil melangkah memasuki kamar Mama.
“Kemarilah, Meera”
Aku berjalan mendekati Mama yang sedang duduk di ranjang. Menyaksikan acara fashion kesukaannya. Aku jadi bertanya-tanya.. apa Mama selalu menghabiskan waktunya dengan menonton tv??
“Mama memanggilku??” Tanyaku.
“Mama mau kamu menemani Papamu nanti malam. Ada acara amal yang akan dia hadiri. Mama tidak bisa datang kesana, jadi kamu yang harus menggantikan Mama” Kata Mama dengan santai.
Huh, mengenai pertemuan membosankan itu.. sekalipun aku sudah mulai terbiasa, aku tetap saja malas jika diminta mengulangi hal yang sama. Percakapan mengenai kekayaan yang selalu mendominasi.
“Papa tidak memberi tahu apapun...” Kataku.
Memang bisanya Papa akan memberi tahu dan mengajakku untuk datang. Tapi kali ini tidak. Lagipula hubunganku dengan Papa juga masih buruk sekalipun sudah lama berlalu..
“Jangan menunggu diberi tahu, Meera. Nanti ketika Papamu pulang, kamu harus mengatakan jika kamu mau ikut, jangan banyak alasan” Kata Mama.
Jika ini adalah keluarga normal, mungkin aku bisa dengan mudah mengatakan itu, tapi masalahnya ini berbeda..
Sudah lama aku tidak berbicara dengan Papa secara normal. Maksudku, setiap kami berbicara.. pasti kami saling berteriak dan bertengkar.
“Biarkan saja Papa berangkat sendiri. Kalau dia tidak mengajakku, aku tidak mau mengemis, Ma” Kataku.
“Dia Papamu, Meera. Tidak ada istilah semacam itu dalam hubungan anak dan ayah. Kamu harus melakukan apa yang Mama mau, karena kamu memang tidak memiliki pilihan lain” Kata Mama.
Aku tertawa kecil. Kalau memang ini adalah hubungan antara anak dan ayah, mengapa terasa tidak menyenangkan?
Papa yang seharusnya menjadi cinta pertama bagi putrinya malah menghancurkan hatiku. Dia menghianati dan membuat aku terpuruk.
Papa adalah sumber dari semua masalah ini.
“Ini satu-satunya cara agar semakin dikenal oleh rekan bisnis Papamu, Meera. Posisi kita sedang sulit saat ini, jadi jangan mencoba untuk mempersulit lagi” Kata Mama.
Anak haram itu tidak diakui secara hukum oleh Papa. Masyarakat tidak ada yang tahu jika Papa memiliki anak laki-laki.
Para pemegang saham perusahaan juga hanya tahu diriku sebagai anak satu-satunya. Jelas aku yang akan menjadi pewaris. Lagipula, diantara banyak pemegang saham, Mama juga adalah salah satunya. Saham milik Mama bahkan lebih dari 20% sehingga hanya menyisakan sekitar 25% lainnya yang tersisa dan dimiliki oleh orang luar.
“Aku pasti menjadi pemiliknya, Ma. Jangan terlalu berlebihan. Papa pemilik saham terbesar, dia jelas memilihku dan Mama.. mana mungkin Mama memilih orang lain, kan?? Aku sudah mengantongi 2 suara terbesar..” Kataku.
“Papamu adalah kunci terpenting, Meera. Buat dia senang dengan prilakumu sehingga saat rapat pemegang saham nanti, dia pasti memilihmu” Kata Mama.
“Dia pasti memilihku. Memangnya siapa yang akan Papa pilih?? Anak haramnya itu??”
“Itu yang Mama takutkan, Meera. Beberapa hari lalu Papamu meminta izin agar Mama dapat mengakui anak itu sebagai anak Mama. Supaya dia menjadi bagian dari keluarga Hernandez”
Napasku tercekat ketika mendengar penjelasan Mama. Ini yang belum kuperhitungkan sebelumnya. Jika Eyang menyetujui hubungan Papa dan perempuan murahan itu, pasti mereka memiliki memiliki sebuah tujuan.
“Mama menyetujui itu??” Tanyaku.
“Mana bisa Mama menolak, Meera? Sudah Mama bilang bukan jika keluarga ini terlalu menekan Mama?”
Aku terdiam untuk beberapa saat. Jika sudah begini maka semuanya akan semakin rumit. Tujuanku untuk menyingkirkan anak haram itu akan semakin sulit ketika statusnya berganti menjadi adik kandungku.
“Jangan setuju, Ma..” Kataku pelan.
“Mama sudah berusaha, tenang saja. Yang pasti kamu sekarang hanya perlu mengikuti perintah Mama. Dan, Meera.. kurangi intensitasmu untuk berkunjung ke apartement temanmu itu. Siapa namanya?? Jovan Anderson, bukan?? Jangan terlalu dekat dengan dia karena Papamu mengirim mata-mata untuk mengawasi kamu dan semua kegiatanku. Lakukan yang terbaik, jangan lengah, Meera”
Napasku semakin tercekat ketika mendengar penjelasan Mama.
Jadi... ada dua orang yang sedang mengikutiku?? Kedua orang tuaku sedang mengirim orang untuk mengawasiku??
“Jika ada yang bertanya kamu dari mana atau dengan siapa, jawablah sebaik mungkin. Jangan berbohong mengenai tempatmu berada dan dengan siapa kamu saat itu, katakan sejujurnya tapi buatlah alasan yang masuk akal” Kata Mama.
Hari ini aku baru saja ingin menanyakan mengenai hal ini. Tapi Mama memberi tahu dengan suka rela. Dia malah menjelaskan semuanya.. tapi.. jika Mama tahu aku bersama Jovan, mengapa Mama tidak tahu jika aku tidak bersama dengan orang yang biasa. Jovan tentu bukan orang sembarangan bukan??
“Jangan terlalu dekat dengan pemuda itu, Meera. Kita tidak tahu apa motifnya mendekatimu dan berteman denganmu”
“Ma, tidak. Mama salah sangka. Jovan tidak seperti itu..”
“Jangan banyak bicara, Mama belum mengetahui apa hubungan keluarganya dengan keluarga kita. Mama hanya perlu memastikan sesuatu dulu, Meera. Entah dia akan menghambat atau mempermudah jalan kita. Mama akan beri tahu secepatnya”
Aku mengernyitkan dahiku. Apa maksud perkataan Mama??
Mama tidak berniat melibatkan Jovan dalam urusan ini bukan??
***
Aku berjalan menuju kamarku dengan perasaan gelisah.
Menurut yang dikatakan Mama tadi, aku harus menjawab jujur jika ditanyai sedang dimana dan bersama siapa.. aku tahu alasan dibalik itu semua, sebenarnya siapapun yang menanyaiku sudah mengetahui kebenarannya.. mereka hanya ingin mendengar kejujuran dari mulutku.
Kakiku bergerak dengan lambat ketika melihat Eyang sedang berair dengan cucu haramnya. Ketika melihatku Eyang segera berjalan mendekat dan aku tetap diam di tempat untuk menunggu Eyang.
“Kamu sudah pulang??” Tanya Eyang.
Semenjak mengenal Jovan aku amat sangat jarang berada di rumah ketika sore hari. Aku lebih banyak menghabiskan waktu dia apartement Jovan. Setelah bersama Jovan aku merasa jauh lebih menyenangkan ketika bersamanya. Rumah menjadi tempat yang asing sekarang ini.
“Iya. Meera tidak ada tugas kelompok hari ini” Jawabku sambil tersenyum.
“Eyang sebenarnya suka kalau Meera sekolah di sekolah biasa, itu akan membantu Meera dalam bersosialisasi dengan orang luar. Tapi kalau selalu mengerjakan tugas kelompok hingga larut malam, eyang rasa sebaiknya Meera kembali home schooling saja” Kata Eyang.
Aku menghela napas.
“Meera suka berada di sekolah itu” Jawabku pelan.
“Kamu sering mengerjakan tugas dimana, Meera??” Tanya Eyang.
Aku mengingat perkataan Mama. Mungkin memang Papa yang mengirim orang untuk mengikutiku, tapi itu tidak menutup kemungkinan jika Eyang juga mengetahui segalanya.
“Di apartement temaku. Teman-teman lain lebih suka mengerjakan tugas disana, jadi aku ikut saja” Jawabku.
“Lain kali coba ajak temanmu mengerjakan tugas disini” Kata Eyang.
Aku tersenyum sinis.
“Kalau w************n itu pergi dari rumah, aku baru akan mengajak temanku mengerjakan tugas disini” Kataku.
“Meera..”
“Eyang tidak akan mengacaukan segalanya dengan melarangku pergi sekolah atau belajar bersama, bukan??” Aku memotong ucapan Eyang dengan cepat.
Eyang hanya tersenyum lalu menggeleng.
Satu hal yang tiba-tiba memenuhi pikiranku.
Jika benar pemikiranku mengenai Eyang yang tahu tentang penyelidikan yang Papa lakukan padaku, maka kemarin sore aku melakukan kesalahan besar.
Eyang pasti tahu jika saat itu aku berbohong.
Baiklah.. aku mencoba menarik napas dan menenangkan diri. Mungkin kemarin aku melakukan kesalahan, tapi aku tidak akan mengulangi lagi
***