Skalla-34

2134 Kata
Katakanlah Ivy sudah gila. Ya, dia benar-benar gila. Kenapa dia dikatakan gila? Karena dia tidak bisa lepas dari bayang-bayang Gevit. Perasaan rindu yang kerap kali menyambangi dirinya tanpa mengenal waktu membuat Ivy tersiksa sendiri. Miris saat tau apa yang hanya bisa dia lakukan adalah mengelus miniatur Iron Man tersebut untuk melepaskan rindunya pada sosok Gevit. Karena miniatur itu memang dari dia. Gevit menyukai Iron Man, dia ingin menjadi sosok Tony Stark yang genius, billionaire, playboy dan philanthropist.  Konyol memang, tapi Ivy selalu suka saat mendengar Gevit mengoceh tentang laki-laki berbaju besi tersebut. Latihan hari ini lancar seperti biasa, para anggota band nya benar-benar berbakat, sementara dia sendiri juga punya suara yang begitu merdu.  “Lo beneran nggak mau ikut kita nongkrong, Vy?” Tawar Anan untuk yang ketiga kalinya, cowok itu selesai mengemasi gitarnya untuk dibawa ke cafe nanti malam. “Sekalian survey lokasi sih” “Nggak deh, Nan. Gue ada perlu sendiri soalnya” “Sama cowok SMA yang tadi?” tebak Anan seraya menaikan alisnya, biasanya Ivy tidak pernah menolak jika diajak nongkrong, selain karena dia tidak punya teman lain selain Anan dan anggota band lain, Ivy juga tidak punya kegiatan lain, alias jobless. “Dih, kepo.” Ivy memeletkan lidahnya, Anan hanya mengangkat bahu singkat.  “Yaudah deh gue duluan, kalo ada apa-apa bisa telepon gue kayak biasa” “Siap, bos!” Ivy bersyukur bisa bertemu dengan orang sebaik Anan, kalau diingat-ingat pertemuan mereka tidak ada yang spesial. Waktu itu hujan deras, Ivy berteduh di teras Indomaret seraya memakan pop mie rasa soto. Kebetulan Anan yang baru keluar dari dalam pun ikut duduk di samping Ivy. Keduanya makan pop mie rasa soto bersama, hujan deras di selingi obrolan antara dua orang asing lama kelamaan jadi terasa nyambung. Keduanya menyukai musik, yang satu suka bermain guitar dan yang satunya lagi suka bernyanyi. Hanya selintas ucapan random, Anan bilang dia ingin merekrut orang untuk berdiri bersamanya di atas panggung sebagai sebuah grup band. Ivy pun dengan semangat mengajukan dirinya untuk bergabung, lagipula dia tak tau arah dan tujuan hidupnya kala itu setelah di depak dari audisi menyanyi. Kepergian Anan meninggalkan lenggang pada studio yang katanya setahun lalu dibeli oleh Chanan Gifari, uang hasil dia bekerja digunakan untuk membeli studio ini.  Teringat akan telepon yang beberapa menit lalu ia lakukan, Ivy mendengus geli. “Konyol banget telepon Gevit pake nada panik gitu” Sembari menunggu kedatangan Gevit, Ivy membuka aplikasi Insta nya untuk nge-stalk akun cowok itu. Kegiatan yang belakangan ini sering dia lakukan kala insomnia melandanya.  “Cantik juga pacarnya” gumam Ivy, menyembunyikan rasa aneh yang perlahan merambat ke hatinya. Tawa lepas Gevit yang belepotan tepung, cengiran manis si gadis bernama Alena dan cheese cake yang ada di tangannya membuat perasaan Ivy jadi memburuk. “Apaan sih, nggak jelas banget gue cemburu.” Memang dasarnya kolot banget, sudah tau itu racun, kenapa malah di minum. Jari Ivy terus bergerak menggulir beranda Insta milik Gevit. Kebanyakan  isinya foto dia dan Letta, kadang ya pemandangan, tapi akhir-akhir ini Gevit memang sering memposting dirinya dengan Alena. “Kayaknya mereka baru pacaran deh” Ivy menggaruk dagunya. Disaat asik meminum racun, tiba-tiba ponselnya berganti tampilan layar, telepon dari Gevit masuk membuat senyum Ivy mengembang. “Vy” “Iya?” Ivy menjawab dengan nada sepolos mungkin. “Kamu dimana? Aku udah sampe, tapi kamu nggak ada. Please, jangan bikin aku khawatir” Mampus. Tadi Ivy bilang dia ada di salah satu halte, tapi dia lupa bawa dompet, alhasil dia tidak bisa pulang dengan kendaraan umum. Akhirnya dia meminta bantuan Gevit untuk menjemputnya. Karena Ivy lupa, dia tidak segera beranjak dari studio, malah enak-enakan rebahan di sofa yang ada disana. Padahal seharusnya dia menunggu Gevit di halte. “Gevit, sori.” Ivy menggigit bibir bawahnya. “Tadi aku balik ke studio karena takut sendirian di halte”  “Yaudah sekarang studionya dimana, aku kesana” suara Gevit masih terdengar panik, apa cowok itu benar-benar khawatir padanya? Dia bukan gadis kecil lagi, tapi Gevit bersikap seolah Ivy adalah gadis kecil yang bisa kehilangan orang tua saat belanja di pasar. “Kamu lihat papan Alfamart, di sebelah kirinya ada bangunan berpagar hitam, nah disitu” “Oke, aku kesana” Gevit kembali menjalankan motornya menuju tempat yang ditunjukan oleh Ivy. Tak sulit untuk menemukan tempat yang dimaksud, Gevit memasukan motornya, dia mengirim pesan ke Ivy kalau sudah ada di depan. Bangunan ini berlantai dua, di lantai 1 ada sebuah cafe yang tidak terlalu ramai, lalu di atasnya ada studio milik Anan. Tak lama, Ivy turun dan muncul dari dalam cafe. Gevit menyambutnya dengan raut wajah khawatir. “Ceroboh mu masih aja nggak ilang-ilang, kenapa bisa dompet sampe ketinggalan sih?” baru juga datang, Gevit langsung ngomel-ngomel layaknya pacar yang perhatian. Lalu mengatakan Ivy ceroboh padahal dirinya sendiri tak kalah ceroboh. “Kamu juga ceroboh, dari kecil malah-” Ivy merasa baru saja tersengat oleh aliran listrik bertegangan tinggi, dia menelan saliva nya, jantungnya berdegup dengan kencang. Mulut s****n!  “Vy?” panggil Gevit, tatapannya mengintimidasi membuat Ivy memalingkan wajah. Dia keceplosan. Argh! Ivy bodoh! Kenapa nggak dipikir dulu sih. Ivy memang bukan penipu handal, tapi setidaknya untuk urusan sepele seperti ini, dia seharusnya bisa mengontrol diri. Tapi nyatanya dia tidak bisa, Ivy tidak bisa berpura-pura lagi. “Ivy!” panggil Gevit sekali lagi dengan nada yang sedikit lebih keras, mau tak mau Ivy menoleh ke arah cowok itu. “Kamu inget sama aku? Seriusan kamu inget sama aku??” Kedua tangan Gevit mencengkram kedua bahunya, memaksa Ivy untuk bersitatap dengan kedua netra hitam legam itu. “Jawab, Vy…” suara Gevit memelan, bahkan bergetar seperti orang ingin menahan tangis. Padahal Ivy kira Gevit justru akan meledak karena tau bahwa dirinya hanya pura-pura lupa. “Iya” Ivy menjawab singkat sekali, dengan suara lirih. Jika ada orang yang ada orang yang berdiri di pintu cafe, dia tidak akan bisa mendengar jawaban Ivy itu. Tapi Gevit yang berdiri dari jarak sedekat ini mampu mendengar tiga huruf yang baru saja di katakan Ivy. Benar, Gevit bergetar, dia ingin menangis karena saking terharunya. Tapi menangis di depan Ivy, sama saja memberikan bahan ejekan pada gadis itu. Cukup saat dia masih kecil saja, kebiasaan menangis di depan Ivy akan dihilangkan mulai dari sekarang, kalau dia bisa. Tanpa peduli pada keadaan sekitar, Gevit menarik Ivy ke dalam pelukannya, menenggelamkan kepala gadis itu pada d**a bidangnya.  “Akhirnya kamu inget sama aku, Vy. Kamu tau nggak, aku seneng banget, banget, Vy!” Bolehkah Ivy menangis? Matanya berkaca-kaca, gadis itu membalas pelukan Gevit dengan tak kalah erat. Kejadian ini hanya bisa dia bayangkan sebelumnya, tapi hari ini kejadian dimana dia dan Gevit berpelukan menjadi sebuah kenyataan. Ivy senang, mungkin lebih senang dari yang kalian bayangkan. “Aku kangen kamu, Ge” “Me too” Gevit mengelus kepala Ivy dengan sayang. “Aku bahkan lebih kangen dari kamu” pelukan mereka teruraikan. “Tau nggak seberapa takutnya aku beberapa hari ini karena kamu nggak inget sama aku. Aku bahkan mikir, se-enggak berharga itu aku buat kamu, padahal kamu berharga banget buat aku, Vy” Ivy terkekeh seraya masih meneteskan air matanya. “Mana mungkin aku bisa lupain kamu!” gadis itu memukul pelan bahu Gevit. Jemari Gevit bergerak mengusap air mata Ivy. “Sampe nangis gini loh kamu” “Gara-gara siapa coba.” Ivy menatap wajah tampan Gevit, “Udah nggak ingusan lagi sekarang, mana wangi lagi” “Kamu tuh ya” Gevit menoel hidung Ivy dengan gemas. “Yang diingat cuma jeleknya doang, baiknya nggak di inget-inget” “Ya gimana, ingus mu yang paling membekas, Gevit” “Nyebelin!” Gevit mencubit kedua pipi Ivy. “Ngangenin juga nggak?” Cowok itu terdiam sejenak, tak lama dia menunduk dan mendekatkan wajahnya ke wajah Ivy hingga deru hangat nafas cowok itu mampu menyapu lembut wajah Ivy. “Banget, sampe bikin aku nyaris gila” “LEBAY!” Ivy mendorong Gevit yang malah terkekeh. “Udah ah, sekarang anterin aku pulang ke kosan” “Enak aja nyuruh-nyuruh, emang aku tukang ojek mu?” “Emang bukan ya?” Keduanya tertawa renyah, setelah sekian lama tidak bertemu dan kini dipertemukan kembali. Perasaan yang dulu dipendam dalam-dalam kini perlahan merangkak naik ke permukaan. Ketakutan yang seringkali mampir di benak Ivy bahkan ia tepis sejenak, untuk saat ini dia hanya ingin menikmati momen bersama Gevit untuk melepas rindu yang selama ini dia tahan sendirian. “Yakin mau langsung pulang? Jalan-jalan dulu mau nggak?” “Emangnya kamu ada waktu?” “Ada dong, apa sih yang nggak buat Ivy” Gevit melajukan motornya.  Sepertinya, bagi semua orang kepentingan perut masih di atas segala-galanya, tanpa banyak bertanya ke Ivy, Gevit membawa gadis itu ke Sudirman Street untuk mengisi perut disana. Alih-alih makan steak atau carbonara, dua porsi Soto Bandung terhidang di depan mereka. “Tau banget kalo perutku alergi makanan mahal” celetuk Ivy bercanda, nyatanya duduk di kursi plastik lebih nyaman jika bersama Gevit dibanding duduk di sofa empuk sendirian.  “Oh ya? Sama dong, dompetku juga alergi makanan mahal” lagi-lagi keduanya tertawa setelah melempar candaan yang bahkan garing bagi sebagian orang. Selera humor orang bucin memang aneh dari kebanyakan orang normal. Keduanya mulai makan, kuah soto, nasi, dan koya bercampur jadi satu. Harum wanginya membuat siapapun yang mencium pasti akan lapar seketika. “Perutnya masih muat nggak? Aku mau ajak kamu ke tempat sekoteng jahe cibadak, terkenal banget sih disini” “Tenang, perutku fleksibel. Dikasih makan sedikit bisa kenyang, dikasih makan banyak ya tetep muat, jadi santai aja kalo jalan sama aku” “Dasar” Gevit terkekeh, dia bahagia. Bahkan Gevit mengundur jadwal les nya selesai maghrib nanti untuk mengganti jam yang ia habiskan bersama Ivy saat ini. “Boleh mundur dikit nggak, Ge?” Wajah Gevit berubah cengo seketika.“Hah?” “Gantengnya kelewatan soalnya” NJIIR??? Ini serius Gevit lagi di modusin sama Ivy?? Melihat wajah Gevit yang sepertinya masih syok membuat Ivy melepaskan tawanya lagi. Pipinya yang sedikit berisi jadi seperti kue pukis sekarang. Saking terbahaknya, Ivy sampai menutup mulut agar tidak kelepasan membalikan meja yang ada didepannya. Nggak, nggak sampai separah itu kok.  “Mukamu lucu banget sumpah!” Gevit merotasikan bola matanya. “Puas banget kayaknya ngetawain aku” “Ya habisnya kamu lucu” “Kamu lebih lucu, apalagi kalo lagi ketawa” Mulut Ivy seketika langsung mingkem, gadis itu kembali meraih sendoknya dan memakan soto nya lagi. Tapi Ivy tidak bisa bisa mengelak, dia jadi salting, pipinya memerah. Gevit menatap gadis yang ada di depannya dengan senyum tipis. “Makasih, Vy. Makasih udah kembali” Kunyahan Ivy memelan, gadis itu tersenyum lebih manis dari biasanya. Di bawah sorot lampu yang mulai dinyalakan oleh pengelola tempat ini, Ivy mengangguk. “Makasih juga untuk nggak lupa sama aku, Gevit” “Dan maaf..” Kedua netra Gevit masih menatap wajah Ivy untuk waktu yang lama. “Maaf karena sebenarnya aku pura-pura lupa sama kamu” “Nggak apa-apa, mungkin kamu ada alasan lain kenapa sampai pura-pura lupa sama aku” “Kamu punya pacar, Gevit.” terang Ivy tanpa ingin menutupi perasaannya lagi. “Sebelum ini, aku pernah lihat kamu. Saat di depan bioskop, kamu nabrak aku. Tapi sayangnya kamu nggak ngenalin aku--” “Vy--” “Biarin aku ngomong dulu” Ivy kembali melanjutkan ucapannya. “Dan ya, kamu nggak sendiri.” “Alena.” ucap Gevit setelah Ivy menyelesaikan ucapannya. “Dia Alena, Vy. Pacarku.” Perasaan Ivy seakan teremas, apa berhak dia merasa cemburu dan tidak suka seperti ini. “Oh..” “Vy.. lihat aku” Ivy yang awalnya menatap mangkuk sotonya kini beralih menatap Gevit. “Kamu mau dengerin ceritaku?” “Cerita apa? Tentang kamu sama pacarmu? Harus banget aku dengerin? Buat apa?” Sumpah demi kuah soto yang perlahan terserap oleh nasi! Gevit tidak salah lihat kan? Apakah Ivy cemburu? Oh tuhan.. kenapa semuanya jadi menggelikan seperti ini? “Ivy…” “Jangan sekarang deh, Ge.. aku--” “Aku nggak mau kamu salah paham, Ivy” Kenapa sih Gevit suaranya selembut itu? Kan, Ivy jadi tidak bisa mengelak lagi. Tau kan suara cowok yang lembut-lembut tapi berat gitu. Argh! Ivy sepertinya stress karena cowok yang umurnya 3 tahun dibawahnya ini. “Salah paham gimana maksud kamu? Gevit, aku kan cuma temanmu, dan nggak salah kalo kamu pacaran sama cewek itu. Dia cantik, baik juga kayaknya polos gitu. Aku tau kriteria idaman mu, Ge. Dan dia memenuhi banget” “Sampai mana kamu tau tentang Alena, Vy?” Ups! Lagi-lagi memalukan! Ivy kehilangan kontrol atas dirinya lagi. “Sori” "Kejadian di bioskop, aku sempat curiga. Tapi pas aku lihat dibawah leher kamu nggak ada tanda lahir. Dulu kamu punya tanda lahir disana" Jemari Ivy menarik sedikit kerah bajunya, "Ini maksud kamu?" tanda lahir itu masih ada disana, hanya saja Gevit lupa dimana letak persisnya tanda tersebut. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN