Skalla-35

2008 Kata
Love Is On The Way milik Dave Koz mengalun memenuhi isi ruang depan TV. Pukul 10 malam hari, Andini sengaja belum mau beranjak ke kamar untuk mengistirahatkan tubuhnya yang super duper lelah. Dia ingin menikmati sejenak kesendirian yang belasan tahun lamanya ia rasakan. Kesendirian tanpa ujung, kesendirian tanpa cahaya penerangan sekalipun. Andini duduk di sudut ruang gelap, dia tak bisa melihat sekitarnya. Dia di butakan oleh keadaan sekitar, Andini lelah terus terusan terkurung di tempat gelap ini. Dia ingin keluar, tapi terlalu takut untuk melihat sekitar. Bisa jadi lebih gelap dari keadaannya yang sekarang. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain harus terus bersikap seolah semua baik-baik saja. Namun pada kenyataannya, tidak ada yang baik-baik saja. Kedua kelopak Andini terpejam erat, gendang telinganya masih mendengarkan melodi yang mengalun. Seakan melodi itu adalah pelepas sesak yang sedari tadi menyumbat saluran pernafasannya. Hembusan demi hembusan nafas terus dikeluarkan, seakan dengan begitu semua masalah yang akhir-akhir ini menghampirinya bisa terurai sedikit demi sedikit. “Anak-anak nggak boleh ketemu sama kamu, Mas” gumam bibir pucat nya. “Bukan, bukan karena aku masih kecewa sama kamu. Tapi karena aku nggak mau mereka juga merasakan kekecewaan yang sama. Bisa jadi mereka lebih kecewa, bukan hanya sama kamu tapi sama aku juga” Kedua telapak tangannya merangkum wajah kusutnya karena seharian sudah dipaksa untuk terlihat baik-baik saja.  Tak lama terdengar bunyi suara mesin motor yang memasuki garasi, Andini mengecek jam yang menempel di dinding.  “Assalamualaikum” “Waalaikumsalam” Gevit mencium punggung tangan Andini sebelum menjatuhkan tubuhnya di samping mamanya. Gevit tak kalah lelahnya dibanding dengan Andini, seharian ini dia sudah melakukan banyak hal. Tubuh dan otaknya rasa-rasanya ingin berguguran layaknya dandelion saat diterpa angin. “Capek banget, Ma” cowok itu bersandar di pundak Andini layaknya bocah berusia lima tahun. “Nanti kalo kamu kuliah bakalan lebih capek dari ini, bang” “Jadi ceritanya sekarang lagi simulasi gitu?” Keduanya sama-sama mengumbar senyum manis. “Kok baru pulang, dari mana aja?” “Tadi ada urusan sama temen, terus aku ambil jadwal les jam 6” “Udah makan belum? Mau mama siapin?” “Nggak deh, Ma. Mau langsung tidur aja, ngantuk” Andini mengangguk. Gevit menegakkan tubuhnya, bahkan dia menyempatkan diri untuk meregangkan otot-otot yang kaku, kedua bola matanya menatap tatapan sendu Andini dengan senyum tipis yang menghiasi wajah wanita itu. “Mama cantik banget” puji Gevit tulus. Menurut Gevit tidak ada wanita secantik Andini di dunia ini.  “Terima kasih sayang..” “Besok uang jajan nambah kan?” Saat Andini hendak menjawab, Gevit langsung kabur dari hadapan wanita itu seraya terkekeh-kekeh. Sementara di tempatnya, Andini hanya bisa menggelengkan kepalanya. Wanita itu kembali menyandarkan punggungnya pada sofa. “Mereka baik-baik aja tanpa kamu, Mas” Ponsel Andini menyala, layarnya berubah, ada panggilan masuk dari nomor yang tidak dikenal. Tapi dia tahu itu nomor siapa, tanpa menggubrisnya, Andini membalikan layar ponsel dalam posisi tengkurap. “Nggak ada tempat buat kamu di rumah ini, Mas” -Tahubulat- “Baru pulang?” Gevit yang tengah senyam-senyum sendirian di kamar menoleh, cowok itu tengah melakukan chatting dengan Ivy. Letta berdiri di ambang pintu. Gadis itu masuk, tak lupa dia menutup pintunya agar Andini tidak mendengar obrolan mereka. Lagipula, Andini sudah masuk ke kamarnya. “Kok belum tidur?” Letta merebahkan tubuh di samping Gevit, “Tadi kak Alena neleponin gue, tanya lo dimana, sudah pulang atau belum, kenapa nggak masuk les, dan masih banyak lagi” gadis itu menarik lengan Gevit untuk dijadikan bantalan, lalu dia memiringkan tubuhnya hingga menghadap ke arah sang kakak.  “Nggak biasanya abang kayak gini ke kak Alena. Biasanya lo selalu bilang kalau mau kemana-mana, dan semenjak lo pacaran sama kak Alena lo juga sering sama dia” “Ta”  Haruskah Gevit menceritakan perihal Ivy kepada Aletta? Gevit sendiri tidak yakin apakah Letta masih mengingat Ivy atau tidak. Karena Letta tidak terlalu mengenal Ivy. Bukan hanya itu, Gevit juga takut Aletta akan menghakimi cerita dia tentang cinta segitiga yang tengah ia alami saat ini. Tapi seperti yang Andini biasakan dari sejak mereka kecil untuk saling terbuka satu sama lain, akhirnya Gevit memutuskan untuk bercerita. “Boleh tanya nggak?” “Apa?” “Misal nih ya, gue putusin Alena.. disaat dia udah suka sama gue. Adil nggak sih buat dia?” “Maksud lo apa, bang?” Letta mengerutkan keningnya. “Bukannya dulu lo ngejar-ngejar kak Alena? Terus sekarang udah dapet, kak Alena juga udah sayang sama lo. Kenapa malah pengen putus?” Gevit ikut memiringkan wajahnya. Dia melihat wajah cantik Aletta di tengah gelapnya kamar yang hanya diterangi lampu tidur. Kedua kakak beradik itu saling tatap, seakan dengan begitu mereka bisa saling berempati satu sama lain. “Mau cerita?” jemari Letta mengusap pipi Gevit dengan lembut. “Lo masih inget sama Ivy nggak?” “Ivy?” Gevit mengangguk singkat. “Nggak inget ya?” Kali ini Letta yang menggeleng. Gevit melanjutkan ucapannya lagi. “Dia temen masa kecil gue saat di rumah kita yang dulu, Ta. Ivy 3 tahun lebih tua dibanding gue, dulu gue pernah ajak dia buat ketemu lo sekali. Setelah kita pindah, gue kehilangan jejak dia, dan sekarang dia kembali muncul, Ta” “Dan lo langsung ninggalin kak Alena demi Ivy-Ivy itu?” “Ta--” “Nggak ada salahnya lo mau balik ke kak Ivy, tapi jangan menggenggam dua mawar sekaligus bang. Kalo tertusuk durinya sakit” “Itu masalahnya” Gevit berujar lirih. “Alena nggak mau gue putusin. Minggu ini hukuman dari Vero selesai. Padahal gue udah jelasin maksud gue putusin dia supaya dia nggak terlalu kesakitan, Ta. Kalo dia maksa bertahan sementara hati gue sepenuhnya buat Ivy, apa itu nggak malah bikin dia makin sakit hati. Biar gimana pun, gue pernah sayang sama dia, dan gue nggak mau dia minum racun yang di racik sendiri” “Kenapa makin rumit?” tanya Letta bingung. Kisah percintaan kakaknya jadi serumit yang sekarang. “Udah cerita ke mama?” “Nggak semua hal yang terjadi sama gue harus gue ceritain ke mama, Ta. Lagipula, gue lihat tadi wajah mama capek banget. Dan itu gunanya mama membiasakan kita berdua untuk saling terbuka, karena mama tau pasti ada saatnya kita merasa punya privasi, tapi juga tetap butuh tempat buat cerita” Hembusan nafas Letta terasa begitu hangat. “Yaudah deh, apapun keputusan lo gue harap lo pikirin baik-baik. Soalnya sesama cewek gue bisa rasain pasti sakit banget jadi kak Alena atau kak Ivy kalo lo sampe salah langkah” “Sejak kapan ya, Ta, jalan cerita kita ada unsur romance nya gini” Dimple Gevit muncul, Letta pun ketularan, dia ikut tersenyum geli. “Nggak tau, tiba-tiba aja semua berubah. Padahal setahu gue, ceritanya tuh tentang family bukan romance” "Cerita apa?" "Cerita hidup kita berdua" "Oh, mungkin karena penulisnya tau kalo kita udah nggak terlalu penasaran sama sosok Papa" Letta menghela nafas. "Jangan gitu bang, biar bagaimanapun gue masih pengen ketemu setidaknya sekali sama papa, kalo beliau masih hidup sih" "Gue juga" Gevit tersenyum, dimple di kedua pipinya muncul. “Makasih ya, udah mau deeptalk sama gue malam ini” “Hm..gue tidur sini ya, ngantuk bgt..” gadis itu menguap, Gevit mengangguk dan menarik tubuh Letta agar lebih dekat dengannya. Dalam dekap hangat Gevit, Letta justru membayangkan bahwa yang memeluk dia saat ini adalah sosok papa, bukan kakak. “Apa dekapan papa sehangat dekapan lo bang..” batin Letta. -Tahubulat- Kepada seseorang yang telah mengajarkan apa arti berharap tanpa mendewakan ekspektasi itu sendiri, kapan kau akan mengerti bahwa ada hati yang menunggu kau singgahi sekali lagi. Kepada pemilik rindu yang sedang tersungkur sendirian, tidak apa, segala proses pasti akan mendewasakan. Mengajarkan apa arti rindu yang sesungguhnya. Jika membicarakan rindu, maka tidak akan ada habisnya. Satu halaman pun tak akan cukup menampung torehan tinta si pemilik rindu pada sosok yang tidak akan singgah di hatinya lagi. Tidur juga jadi tidak nyenyak, segala tentangnya dan hari-hari yang kau habiskan bersama kini menjadi film dokumenter yang menyebalkan. Sekaligus menyakitkan. Alena mengerjapkan matanya, dia masih bersembunyi di balik selimut tebalnya. Wajahnya pucat, tubuhnya panas, mungkin dia demam. Semilir angin memasuki kamarnya, melewati jendela kaca yang terbuka lebar, menerbangkan gorden tipis berwarna putih itu.  Kicauan burung menjadi suara pertama yang Alena dengar pagi ini. Mungkin dia tengah menyapa Alena dengan ucapan selamat pagi karena tau gadis itu merasa sepi karena orang yang biasanya mengucapkan selamat pagi kini telah pergi entah kemana.  Jeritan alarm bahkan ia abaikan begitu saja. Alena tengah memikirkan sesuatu. “Apa gue nggak se-worth it itu buat di cintai sama orang? Mama, Gevit.. kenapa?” Kabut hitam mengelilingi Alena, membuatnya buta akan orang-orang yang ada disamping nya selain mereka berdua. Merasa tidak ada yang peduli padanya, merasa tidak ada yang mencintainya, padahal tanpa sadar banyak orang yang menemani dia jalan selama ini. Banyak orang yang sebenarnya perhatian tapi tidak pernah terlihat di matanya, seolah-olah dia adalah orang paling tersakiti di dunia ini. “Sebenernya gue hidup itu buat apa sih?” “Buat indomie di jam dua dini hari? Fak, jam dua gue tidur lah, ngapain bikin indomie” “Buat hal-hal kecil? Misal duduk di WC berjam-jam?” Alena menghela nafas putus aja. “Gue hidup bukan untuk buang air besar doang.” “Buat lagu-lagu kesukaan? s****n, dengerin lagu doang gak bisa bikin gue kenyang.” “Gak ada alasan yang lebih berarti buat gue bertahan hidup” adalah kata-kata orang yang katanya kehilangan harapan, padahal di dalam hati kecilnya dia berharap ada someone special yang datang lalu memeluknya dengan segudang kasih sayang serta mengumbar kata-kata bijak yang makin lama makin terdengar seperti omong kosong. “Gue hidup buat papa? Nggak, papa hidup buat pekerjaannya. Mama? Nggak juga, mama hidup buat uang. Aurin? Nggak, dia hidup buat bersenang-senang. Leo?..” kali ini Alena terdiam. Tatapan matanya masih lurus menatap gorden yang senantiasa masih di terbangkan oleh angin. “Mungkin dia yang jadi alasan buat gue bertahan, tapi hanya beberapa persen. Sisanya gue clueless. Kalo gue mati sekarang, amalan gue belum cukup. Tapi kalo terus hidup, kasihan lengan gue hampir putus gue sayat-sayat terus, bukan nambah amalan justru menambah dosa” Alena hanya butuh teman. Dia butuh seseorang yang mau menemaninya di saat-saat seperti ini. Andai saja dia punya satu orang saja, maka Alena tidak akan pernah berpikir untuk mati. Jika Leo mendengar semua racauan pagi Alena, maka cowok itu akan berpikir bahwa dia tidak cukup berarti untuk Alena. -Tahubulat- Leo memang tidak mendengar racauan Alena, tapi dia bisa merasakan apa yang terjadi dengan gadis itu saat ini. Dan karena itulah seharian dia jadi gelisah, pelajaran pun rasanya seperti dengungan lebah yang tidak penting. Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. “Lo seriusan mau cabut?” tanya Vero memastikan sekali lagi. Pergantian jam, sekitar jam 10 Leo menggendong tas sekolahnya dan bilang ingin cabut.  “Serius lah anying, Alena nggak masuk nih, gue khawatir banget” “Tau darimana dia nggak masuk?” Vero mendongak, “Tuh, cowoknya aja sibuk ngerjain tugas tanpa mikirin dia, terus ngapain lo bingung-bingung?” Leo menggaruk belakang kepalanya. “Alena nggak cukup berharga buat tuh orang, tapi dia berharga banget buat gue. Gue tau segala tentang dia, Ver. Jadi sekarang, mendingan lo bantuin gue buat kabur daripada bacot gak jelas” Vero bangkit dari tempat duduknya, “Duluan gih, gue ambil kunci dulu” “Nah bagus besti” “Kalo gini aja baru lo anggap besti, cuih.” Untuk saat ini Leo tidak ingin diajak bercanda, tanpa basa basi dia langsung melesat pergi ke belakang gerbang, Vero menuju ruang osis untuk mencari kunci gerbang. Meski mantan anggota osis, Vero masih dibiarkan berkeliaran di ruangan itu asal ada tujuan yang jelas. Di jam pergantian mata pelajaran seperti sekarang ini biasanya ruangan kosong. Seraya berjalan ke tempat tujuan, Leo terus mencoba menghubungi Alena. Pesan-pesannya tidak ada yang dibalas, panggilan yang entah sudah keberapa kalinya di abaikan begitu saja.  “Angkat dong, Al..” wajar kalau Leo se-khawatir ini, karena dia Alena sanggup melakukan hal-hal diluar akal manusia normal. Gadis itu menyukai rasa sakit, dan Leo berdoa supaya Alena tidak melakukan aneh-aneh lagi.

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN