Skalla-3

2061 Kata
"LEO!" "Bngsd!" Leo mengumpat karena kaget, cowok berseragam putih abu-abu itu baru saja keluar dari gerbang dan langsung ada yang meneriakan namanya dengan volume mirip toa masjid. Lagian, Leo tuh nggak b***k, di panggil pelan-pelan pasti juga dengar kok. Cowok itu mendengus kala melihat siapa yang baru saja memanggilnya, Alena. Tetangga sebelah yang rese nya minta ampun. Suka mengganggu ketenangannya, suka memalak nya, juga... "Gue nebeng lo, ya?" Yap, juga suka minta tebengan. "Ga ada akhlak emang lo, Al." Leo mematikan mesin motor yang sudah dipanasi selama lima belas menit. Cowok itu memakai jaket hitam berlogo adidas kecil di d**a sebelah kirinya. "Ya, ya? Nebeng lo, ya??" "OGAH! Lo berat, kebanyakan dosa!" "Ya ampun, mulutnya ya, suka bener." Keduanya saling tatap, lantas tertawa. "Emang pacar lo kemana?" "Tadi mau jemput sih, tapi gue bilang nggak usah, mau bareng elo aja" Leo menganga mendengar jawaban yang diberikan oleh Alena dengan begitu santainya. Seakan kalau Leo itu mau terus di tebengi oleh nya, tapi.. memang benar sih, Leo selalu mau di tebengi oleh Alena. Lagipula, Alena kan temannya dan mereka juga satu sekolah. Jadi, apa salahnya? "Emang nya sopir lo kemana?" tanya Leo lagi, mengulurkan helm bogo kepada Alena. Cewek itu memakainya, "Lagi cuti dua hari, dan selama dua hari gue bareng elo." "Halah, orang kalo ada supir juga lo tetep keseringan nebeng gue" Alena hanya meringis, "Tau aja lo" "Uang bensin PP selama 2 hari 500 ribu, gimana?" Alena yang sudah nangkring di atas jog motor Leo kini memajukan wajahnya, jemari yang bebas bergerak mencubit perut cowok itu dengan gemas. "Lo kalo ngomong yang bener aja dong, mendingan gue naik taxi aja deh." "Yaudah naik taxi aja sana." "Le, lo seriusan nih?" Tanpa menjawab, Leo langsung menginjak gigi transmisi nya, lantas sengaja melepas kopling dengan sedikit lebih cepat membuat Alena yang kaget spontan memeluk pinggang cowok itu dengan erat. "Leo k*****t!" maki Alena, jantung nya berdebar-debar saat mendengar tawa Leo yang melebur dengan angin jalanan. Sentuhan tangannya di perut cowok itu juga menimbulkan reaksi, Alena merasa hatinya dipenuhi oleh gelembung. Perasaan macam apa ini? Di tengah perjalanan menuju sekolah, Leo tiba-tiba bertanya kepada Alena. "Gimana sama, Gevit?" "Maksud lo?" "Bukannya semalam kalian pdkt?" Alena tak menjawab pertanyaan Leo barusan, entah kenapa akhir-akhir ini Alena merasa Leo selalu melibatkan nama Gevit dalam setiap pembicaraan mereka. Padahal, Alena tidak menginginkannya. Biarpun Gevit itu cakepnya seperti dewa, tak lantas membuat Alena jatuh cinta. Motor Leo berhenti saat lampu menyala merah. Karena Alena tak kunjung menjawab, Leo akhirnya kembali berbicara. "Jangan bilang lo cuekin Gevit, Al?" Alena mendengus, dia benar-benar muak kalau Leo terus membicarakan Gevit seperti ini, "Lagian kenapa sih dari kemaren lo ngebet banget jodohin gue sama Gevit. Gue udah punya pacar kali." jujur Alena secara terang-terangan. Apa Leo tidak paham dengan statusnya saat ini? Jawaban Alena sedikit banyak mengusik ketenangan hati Leo. Lampu kembali menyala hijau, kendaraan roda dua itu kembali melanjutkan perjalanan menuju BM. Sepanjang perjalanan tak ada pembicaraan lagi di antara mereka berdua, Leo sibuk menyetir sementara Alena sibuk dengan pikirannya. Tak terasa kendaraan roda dua memasuki area parkir, kebetulan Gevit dan Vero tengah nangkring disana. "Widiih, pagi-pagi udah boncengin cewek aja lo, Le." Vero berceletuk menggoda sebari menyenggol lengan Gevit yang hanya balas tersenyum. Sebenarnya, pemandangan seperti ini kerap kali mereka lihat karena Alena memang sering berangkat bersama Leo. Cowok berwajah tampan itu melepaskan helm nya, lantas melemparkan nya ke arah Vero yang dengan sigap langsung menangkap. "Gak usah julid, dasar jomblo!" maki Leo ketus. Gadis yang sedari tadi masih nangkring dengan helm yang belum terlepas dari kepalanya kini turun. Dia melepaskan helmnya, menyugar rambut sejenak lantas menatap ke arah teman-teman Leo dengan tatapan datar. Hanya sepersekian detik, netra sipit milik Alena bersitatap dengan netra Gevit. Alena itu, benar-benar cantik dengan kulitnya yang putih bersih. Pipi sedikit chubby dengan wajah yang tergolong kecil. Selain itu, senyum nya Alena mengandung gula 100%, sudah gitu masih dapat bonus eye smile yang menambah kecantikan gadis itu ketika tersenyum bersamaan dengan matanya yang melengkung. "Thanks, gue duluan, Le." Leo mengangguk sembari menahan senyum saat melihat kedua temannya menatap kepergian Alena tanpa kedip. "Gila tuh cewek, bisa-bisanya secantik itu." puji Vero jujur, Leo menyetujui pujian itu karena visual Alena memang tak bisa diremehkan. "Tapi sayang nya udah taken sama si onoh, temen lo keduluan, Ver." sindir Leo. Gevit yang merasa pun merampas helm yang tengah dipeluk oleh Vero lantas melemparkan benda itu kepada sang pemilik alias Leo. "Bacot ah." Mereka bertiga berjalan menuju kelas, sudah tak heran kalau Gevit dan teman-teman lewat otomatis mata ciwi-ciwi pada jelalatan menatap mereka dengan tatapan memuja. Gevit yang tak suka tebar pesona hanya diam dam melangkah dengan santai, sementara Leo dan Vero kompak sekali, sepanjang koridor bisa sudah lima kali mereka menyugar rambut, 10 kali nge wink serta setiap detik menyunggingkan senyum maut mereka masing-masing. "Wih, adik lo tuh, Ge." Sudah menjadi rahasia umum kalau selama ini Vero menyukai Aletta, hanya saja gadis itu punya pawang segalak dan seposesif Gevit, jadi langkah Vero terhambat. "Gak usah macem-macem apalagi sampe godain adik gue." sinis Gevit melunturkan senyum Vero. Langkah kaki Letta semakin dekat, "Hai, Letta!" sapa Vero, tersenyum manis sekali. Letta hanya membalas senyuman itu dengan anggukan kepala, lantas melanjutkan berjalan. "Sukuriiinnn!!!" Leo dan Gevit kompak menoyor kepala Vero yang baru saja jadi korban kecuekan Aletta. "Laknat kalian." desis Vero melangkah mendahului dua sahabatnya. Seluruh penghuni kelas sudah datang, mereka tengah berdiskusi entah tentang apa. Saat Gevit dan teman-teman masuk ketua kelas mereka, Rangga, memanggil. Gevit mewakili ketiga temannya melangkah mendekat. "Pak Rey tadi tanya ke gue, ada anak baru yang kemungkinan bakal masuk kelas kita. Tapi kuota kelas kita udah penuh." "Yaudah tinggal di rolling ke tingkat dua kan bisa." saran Gevit realistis. Jadi seperti ini sistem sekolah mereka; ada 3 tingkatan (Unggulan, tingkat 2, dan tingkat 3. Tingkat 3 untuk murid yang prestasinya biasa saja tapi mau bekerja keras untuk belajar). 3 tingkatan itu berlaku untuk kelas 10-12. Biasanya setiap tingkatan akan ada 2 kelas yang berisikan masing-masing 30 murid. Tapi itu tidak berlaku untuk kelas Unggulan yang hanya memiliki satu kelas dengan jumlah murid yang sama, 30. Kelas Unggulan untuk kelas 10, bentuknya Leter V. Sementara untuk kelas 11 bentuknya Leter Ô dan kelas 12 bentuknya Leter U. Untuk fasilitas, semua kelas unggulan sama. "Masalahnya ini anak nggak mau kalau nggak masuk kelas unggulan." "Yaudah suruh cari sekolah lain aja, gampang." Rangga meremas rambutnya, menatap Gevit dengan intens. "Gini, bokapnya si anak baru itu jadi salah satu donatur terbesar di sekolahan ini. Nggak ada yang bisa bantah kalau bokap nya udah bilang 'setuju'" "Kenapa bokapnya nggak bangunin sekolah sendiri aja buat anaknya, manja banget." Gevit tak ingin ikut diskusi itu lagi, dia lantas pergi menjauh. Dia juga tak punya solusi untuk diberikan kepada Rangga. Dan sepertinya, menolak pun percuma. Daripada buang-buang tenaga, Gevit memilih untuk menerima saja keputusan terakhirnya. Toh, dia tidak punya jabatan apapun disini. "Bahas apaan sih?" tanya Leo, tapi belum sempat Gevit menjawab ketukan pintu terdengar membuat seluruh penghuni kelas langsung terdiam. Atensi mereka tertuju pada pintu kelas, seorang cowok berdiri disana. "Hai." sapanya dengan senyum mengembang. "Ini kelas 12, unggulan, kan?" Rangga berjalan mendekat ke arah cowok itu, "Iya, bener. Lo anak pindahan itu?" Si cowok mengangguk, Rangga menghela nafas lantas mengajak cowok pindahan itu untuk masuk dan memperkenalkan diri. "Oke teman-teman, keluarga di kelas kita bertambah sekarang. Biarkan dia mengenalkan diri dulu," Rangga menatap cowok yang kira-kira punya tinggi 180 cm itu. "Gue Alfarel Benjamin, kalian bisa panggil gue Alfa. Gue pindahan dari SMA Bina Jakarta, alasan privasi jadi jangan tanya. Wajah gue tampan dan otak gue cemerlang, kalian nggak perlu khawatir soal kemampuan gue." Rangga berdehem, "Kalian bisa kenalan sama Alfa setelah ini, dan lo Al, bisa duduk di samping Vero." Alfa mengangguk, berjalan menuju bangkunya sembari mengedarkan pandangan. Kelas ini sungguh luar biasa, tempat duduknya bahkan berbentuk letter U. Cowok berambut hitam tebal mengkilap itu lagi-lagi tersenyum, dia duduk di bangku kosong yang ada di samping Vero. "Baru aja di omongin, eh, udah main masuk aja" celetuk Vero, mengulurkan tangan. "Vero" "Alfa." Sekarang, deretan itu dipenuhi oleh serbuk berlian. "Kalian habis ngomongin gue ya?" Vero mengangguk, "Hm, katanya ada anak pindahan yang maksa masuk kelas unggulan, padahal kuota disini udah penuh" Alfa tertawa ringan. "Sori ya." Lagi-lagi Vero hanya mengangguk, orang kaya mah bebas, pikir cowok itu. "Nih kenalin temen-temen gue, yang ini Gevit terus yang sampingnya itu Leo." Alfa mengangguk paham, dia nyaman masuk kelas ini. Tidak sia-sia dia menggunakan privilege untuk masuk ke kelas unggulan SMA Bintang Mulia Bandung. Gevit mendengus, “Tau gini ngapain si Rangga nya cinta diskusi segala" -Tahubulat- Kriiinggg..!! Pak Burhan mematikan layar LCD nya saat dering bel istirahat berbunyi, "Baik anak-anak, hari ini tidak ada tugas dari saya untuk kalian. Silahkan istirahat untuk malam ini, karena kesehatan lebih penting dari apapun." tutup pak Burhan yang mendapat jawaban serempak dari anak-anak kelas Unggulan. Setelah guru berusia 53 tahun itu keluar, Leo spontan berdiri untuk meregangkan otot-ototnya yang kaku, bunyi kretek-kretek keluar dari lehernya yang pegal. "Bisa patah nih leher kalo keseringan gue kretek-kretekin." Gevit tak mengindahkan ucapan Leo barusan, dia mengeluarkan ponsel mengecek apakah ada balasan dari Alena atau tidak, nihil. Masih centang satu dari semalam, cowok itu mendesah kecewa. Kenapa begitu sulit untuk mendekati Alena? Yah, bagaimana tidak sulit orang ceweknya aja udah punya pacar. Lagian, Gevit labil banget. Semenit dia mikir buat ngejar Alena, tapi semenit kemudian mikir lagi kalau sampai dia mengejar Alena dan mendapatkan gadis itu maka dia akan di cap sebagai perusak hubungan orang lain. Sekarang Gevit galau parah. Maju salah, mundur sayang banget. "Kantin yuk, perut gue minta di isi mie ayam nya mpok Asih." Vero berdiri, merangkul pundak Leo. Disusul Gevit, tapi langkah kakinya berhenti saat ingat kalau ada manusia baru yang mungkin masih canggung untuk pergi ke kantin sendiri. "Lo mau disini aja atau ikut kita ke kantin?" Alfa menimbang sejenak, lantas mematikan lock screen ipad nya. "Ikut deh." jawab dia, menyusul Gevit dan kawan-kawan. Meski tadi sempat kesal, tapi kekesalan itu tak bertahan lama saat Gevit mengetahui kemampuan otak anak baru tersebut. Pantas saja dia memaksa untuk masuk Unggulan, dan sebenarnya tidak rugi juga. Geng serbuk berlian kini semakin bersinar semenjak ketambahan Alfa yang visualnya juga tak perlu diragukan. Hidung mancung bak perosotan anak TK nya menjadi daya tarik utama seorang Alfarel Benjamin. "Di Jakarta pasti banyak eneng-eneng geulisnya ya, Al?" tanya Leo, random. Cowok itu hanya tersenyum, "Cantik kalo liar mah buat apa?" "Gue suka yang cantik, tapi gue nggak suka yang liar." Vero menimpali tatapan matanya tertuju pada Aletta cs yang kemungkinan juga akan pergi ke kantin. Tumben sekali gadis itu ke kantin kelas dua belas, biasanya jarang sekali. Gevit segera mengusap wajah sahabatnya dengan tak berperikemanusiaan. "Gue ratain tuh mata lo kalo masih lirik-lirik Letta lagi" "Galak bener, ish. Gue cuma natap, Ge. Bukan mesumin dia!" balas Vero tak terima diperlakukan seperti itu oleh Gevit. "Kalo lo punya niatan mesumin dia, gue penggal pala lo" "b*****t!" Tergelak hanya karena lelucon yang sebenarnya tidak lucu sama sekali, kalian mana paham guyonan serbuk berlian ya kan? kembali melanjutkan langkah menuju kantin, keadaan sudah bisa dipastikan selalu ramai, kantin kelas dua belas ada dua tempat untuk menampung siswa siswi kelas dua belas yang ingin mengisi perut mereka. Leo, Vero dan Alfa berjalan ke salah satu meja sementara Gevit berjalan sendirian mendekati Letta dan teman-temannya. "Makan yang banyak" cowok itu mendudukan b****g di kursi, tangannya mengacak rambut gadis cantik itu. "Cuma bertiga, Angel nggak ikut?" tanya Gevit. "Nggak, Kak. Angel sakit jadi nggak masuk hari ini." bukan Letta yang menjawab melainkan Sasha si centil yang cantik. "Hm, yaudah. Kalian makan aja, ntar biar gue yang traktir." setelah mengatakan itu Gevit berjalan menjauh kembali ke peradabannya. Sasha dan Lisa memekik kesenangan. Diam-diam mereka berdoa agar suatu saat nanti diberi jodoh yang seperti Gevit. Tampan, pintar, baik mana royal pula kalau sama cewek. Kedatangan Gevit disambut dengan pertanyaan. "Pacar lo ya?" Gevit tersenyum, "Bukan, dia adik gue." "Oh,.. cantik." Alfa memuji. "Cantik, kan? Idaman gue tuh" Vero langsung menimpali saat melihat tatapan aneh dari Alfa. Jiwa laki-laki nya paham apa maksud tatapan itu. "Haha, bisa aja lo." Alfa hanya membalas seadanya. "Vero tuh sebenernya udah suka dari lama sama Letta, cuma kehalang satu orang ini nih, yang gak pernah percaya sama sahabatnya sendiri" Leo sepertinya berada di kubu Vero, mereka berdua melakukan tos. "Bukan gak percaya, Letta tuh adik gue satu-satunya. Nggak ada jagain dia selain gue disini"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN