Skalla-7

2093 Kata
"Ta!"  Letta yang baru saja keluar kelas menoleh, mendapati Gevit berlari kecil ke arahnya. Di belakang Letta satu persatu muncul, Angel, Lisa dan terakhir Sasha. Perdebatan kecil yang terjadi tadi siang sudah selesai.  "Hari ini lo pulang di jemput Mama, 'kan?" Gadis berkuncir kuda itu mengangguk, tapi tak lama ponselnya bergetar. Panggilan dari Andini masuk, "Halo, Ma?" "..." "Oh, yaudah deh nggak apa-apa, Letta tungguin." "..." "Bye, Ma" Letta kembali memasukan ponsel itu ke dalam saku rok nya, lantas menatap Gevit. "Kata Mama, bakalan jemput telat. Gue disuruh nunggu." "Kalo gitu lo ikut gue ke lapangan aja, ntar nunggu di tribun." kata Gevit akhirnya, dia tak mungkin membiarkan Letta menunggu didepan sekolah sendirian. Letta menyetujui ajakan Gevit, dia menoleh ke arah ketiga sahabatnya. "Kalian duluan aja, see u..!" "Daah, Letta! Duluan, kak" Gevit mengangguk, "Hati-hati, awas di culik om om" Ketiganya hanya tertawa renyah seraya melenggang pergi. Setelah kepergian teman-temannya, Letta dan Gevit juga segera beranjak dari tempat itu. Gevit sudah ditunggu teman-temannya di lapangan. Berjalan beriringan, Letta jadi teringat akan pertemuannya dengan Aurin tadi pagi. Apa iya dia harus menanyakan soal Alena kepada abangnya langsung? "Bang." Panggil Letta, "Hubungan lo sama kak Alena gimana?" Gevit menarik sudut bibirnya, netra nya melirik ke arah Letta yang tengah berjalan disampingnya. "Ya,.. nggak gimana-gimana, kenapa?" Bohong.  Jelas sekali terlihat dari raut wajah Gevit, apalagi tadi Vero sempat bilang kalau Gevit tengah galau berat setelah ditolak oleh Alena. Dan sepertinya cowok itu masih belum ingin menyerah. "Nggak apa-apa juga sih, em, sebenernya.. hari ini banyak banget murid Bintang Mulia yang interogasi gue soal hubungan lo sama kak Alena. Lah, gue kan nggak tau ya, kenapa mereka nggak mau tanya langsung ke elo gitu, Bang." "Hubungan gue sama Alena masih stuck. Lagian, lo tau sendiri dia udah punya doi, tapi kalo boleh jujur gue emang suka sama dia. Gue coba deketin dia, tapi belum ada niatan buat nikung pacarnya kok." "Iya, gue paham, nggak usah dilanjut" Gevit mengusap kepala Letta dengan sayang."Bang Ge inget kak Aurin nggak?" "Ketua cheers itu ya?" Letta menjawab dengan anggukan kepala, "Kenapa sama dia? Lo di ganggu?" "Sebenernya, tadi pagi dia nyamperin gue. Terus maksa gue buat deketin lo sama dia, kak Aurin juga ancam bakal keluarin gue dari club kalo gue nggak nurutin kemauan dia." Letta menjeda ceritanya, mereka berbelok, lapangan basket akhirnya nampak. Disana ada beberapa siswa yang tengah melakukan pemanasan.  "Terus kak Alena datang dan bilang buat apa gue bertahan di club kalo bukan hasil dari kerja keras gue sendiri. Akhirnya, gue milih buat keluar sebelum dikeluarkan." Tangan Gevit mengusap rambut adiknya dengan sayang untuk kedua kalinya, "Sori ya, gara-gara gue lo jadi kehilangan impian lo buat tampil sebagai anggota cheers." Letta  menggeleng, "Gue nggak masalah kok sekarang, lagian ini semua berkat kak Alena yang bikin gue sadar, kalau cheers memang bukan tempat gue karena gue masuk club itu juga bukan karena kemampuan gue, melainkan karena bantuan dari kak Aurin." "Cieee udah dewasa cieeee" goda Gevit. "Tapi kayaknya pas lo main nanti gue nggak nonton, apalagi ada anak cheers tampil. Gue nggak mau dendam sama orang, bang" "Iya, abang paham kok... Alfa!" Dari kejauhan, Alfa yang tengah duduk di tribun menoleh, melambai. Gevit menatap Letta sekali lagi, "Lo duduk sama Alfa gih, gue harus ganti baju dan latihan." Letta hanya mengangguk, dia menuruti perintah Gevit. Berjalan mendekat, gadis itu mencoba mengembangkan senyum meski sedikit canggung. Hubungan mereka ya masih seperti kemarin-kemarin, Alfa tidak ada niatan untuk mendekati Letta. Jadi ya, tidak ada komunikasi yang lebih intens diantara keduanya. "Hai, Kak." sapa Letta Alfa tersenyum lebar dan yakin. "Kok belum pulang, Ta?" "Lagi nunggu jemputan, Kak." "Kenapa nggak bilang? Gue bisa nganterin lo lagi kalo mau." Gadis itu segera menggeleng, nggak usah bikin gue tambah berharap sama lo ya ganteng. Letta membatin, miris. "Nggak usah, Kak. Lagian bentar lagi Mama dateng kok." memberanikan diri menoleh, Letta mengamati wajah Alfa dari samping. Sumpah, hidung nya itu loh, kenapa bisa semancung itu sih? Matanya yang teduh, senyumnya yang manis. Argh! Letta sadar! "Kak Alfa sendiri kenapa belum pulang?" "Gue bosen dirumah nggak ada siapa-siapa. Lebih baik gue disini, nontonin basket abang lo."  'Oh, mungkin keluarganya sibuk kerja' batin Letta, lagi dia ingin bertanya untuk memastikan. Tapi rasanya, tidak sopan. Akhirnya Letta mengurungkan niatnya. Mereka diam, tak berbicara lagi setelah itu. Latihan basket dimulai, tapi baru lima belas menit Letta merasa ponsel yang ada di sakunya bergetar. Itu pasti Andini. Kan, benar. "Mama udah di luar? Oh, yaudah Letta kesana sekarang." panggilan terputus, gadis itu bangkit. "Gue duluan ya, Kak. Mama udah didepan soalnya." "Yaudah, hati-hati ya, Ta." Letta mengangguk, menyunggingkan senyum tipis. Di koridor, netra Letta tak sengaja menangkap siluet seseorang yang dia kenali. "Daniel!" meski usianya terpaut 2 tahun lebih muda, Letta tidak memanggil Daniel dengan sebutan kakak karena cowok itu sendiri yang ingin Letta memanggilnya hanya dengan nama.  Daniel menoleh, "Belum pulang, Ta?" "Ini mau pulang." Letta menatap amplop yang dipegang oleh Daniel, "Amplop apa tuh?" "Oh ini, berkas pertukaran pelajar gue. Kan, bentar lagi mau selesai" "Ih, seriusan?" "Nggak nyangka kan, waktu cepet banget berlalu" Letta mengangguk, mengiyakan. "Kapan-kapan gue boleh dong main ke Jakarta dong, hehe" "Boleh banget, nanti gue ajak ke makam kakak gue yang pernah gue ceritain waktu itu." "Oh, kak Bima ya" Daniel mengangguk, mereka terus melangkah. "Nggak bareng Gevit?" "Nggak, bang Ge lagi latihan basket" "Gile abang lo, Ta. Gue kalo inget pertama kali kena semprot sama abang lo gara-gara minta nomor w******p jadi geli sendiri sekarang" Letta terkekeh, tidak tau kenapa, pribadi Daniel cukup yang menyenangkan membuatnya nyaman berteman dengan cowok itu. Letta tak takut kalau Daniel menaruh hati padanya, karena dia tau Daniel menyukai seorang gadis di Jakarta. Sedikit banyak, Daniel menceritakan sosok gadis bernama Tiara Maharani itu. Tentang rindu yang mungkin akan sulit untuk menjadi temu.  Sepanjang perjalanan mereka terus saja mengobrol, tak sadar sepasang mata sedari tadi menyorot tajam ke arah keduanya. "Gue iri sama mereka yang bisa deket sama lo dengan mudahnya, Ta." -Tahubulat- Musik menjadi pelarian keluarga Skalla saat tengah bosan, menjelang maghrib Gevit baru sampai rumah. Sementara Andini tengah asik menonton drakor di ruang tengah, Letta yang ada di kamarnya sibuk memainkan gitar. Dia tidak pandai, hanya sekedar bisa lantaran pernah di ajari oleh Gevit. Gitar itu pun juga milik abangnya yang dia ambil tanpa izin kepada sang pemilik terlebih dahulu. Nada lagu yourself milik Justin Bieber terdengar, dengan suara seperti cicitan Letta bernyanyi.  'My mama don't like you and she likes everyone And i never like to admit that i was wrong And i've been so caught up in my job, didn't see what's going on But know i know, i'm better sleeping on my own' Letta menggenjreng senar gitarnya lebih keras, lantas melanjutkan menyanyi.  'Cause if you like the way you look that much Oh, baby, you should go and love yourself And if you think that i'm still holdin' on to somethin' You should go and love yourself' Ketukan pintu membuat jemari Letta yang sibuk memainkan gitar terhenti, gadis itu meletakkan sejenak gitarnya dan berjalan untuk membuka pintu kamar. Andini berdiri didepan gadis itu, "Nih, ponsel kamu dari tadi meang meong terus." "Kok meong sih, Ma? Miyawww!" "Ya apalah itu, nih." Oh iya, Letta yang tadi sempat ikut menonton drakor bersama Andini dan sepertinya melupakan benda pipih itu saat kembali ke kamar. Letta menerimanya, "Oh iya, puding di kulkas kamu makan gih." "Iya, Ma." Andini berlalu, Letta kembali menutup pintunya.  Dia melihat ada beberapa panggilan masuk dari Alfa, gadis itu mendial ulang nomor yang tadi menelepon nya. Tak lama suara cowok yang ada di seberang terdengar. "Kak Alfa, ada apa?" "Oh, Nggak ada apa-apa sih, Ta. Gue lagi ada di tempat pecel lele deket rumah lo nih, gue cuma lagi cari temen makan." Bibir Letta berkedut, "Gue kesana." "Oke gue tunggu, sekalian gue pesenin ya." "Iya, Kak." Setelah panggilan terputus Letta segera mencuci wajahnya, menyambar hoodie oversize milik Gevit yang belum ia kembalikan saat meminjam nya kemarin. Kapan lagi Alfa mengajaknya makan, meski hanya di tenda pecel lele. Kesempatan emas tidak akan Letta sia-siakan. Berjalan menuruni anak tangga, dibawah Andini menatap Letta dengan penasaran. "Mau kemana, Ta?" "Pecel lele depan komplek, Ma." "Kamu kan baru selesai makan tadi, laper lagi??" Gadis itu hanya nyengir lebar, mendaratkan sebuah kecupan di pipi Andini, lantas berlari keluar rumah. Berjalan kaki kira-kira membutuhkan waktu sekitar sepuluh menit, Letta menyapukan pandangan, tak lama dia menemukan sosok Alfa yang tengah duduk di dalam tenda sebari menunggu pesanannya. "Kak Alfa." "Letta, cepet banget." "Hehe, iya." "Sendirian aja? Mana Gevit?" Letta duduk di samping Alfa, "Nggak tau, kayaknya tidur. Capek kali habis latihan tadi." netra gadis itu menatap pengunjung warung yang mengantri, "Kak Alfa udah lama ya disini?" "Dua puluh menitan lah. Dan gue baru inget kalo rumah lo kan juga di deket sini." "Kok tau?" "Kan kemarin gue nganterin lo pulang, gimana sih" Letta menggaruk rambutnya seraya nyengir lebar. "Kakak sering makan disini?" "Kadang-kadang, biasanya sih makan dirumah sama bokap. Cuma, hari ini bokap lagi lembur dan gue males makan dirumah sendirian." Dari nada bicara Alfa, Letta  menangkap sesuatu yang aneh. Tapi dia tidak bertanya lebih lagi, gadis itu menghargai privasi seseorang. Apalagi seseorang itu belum terlalu dekat dengannya. "Lo udah punya pacar belum, Ta?" "Eh?" mendapatkan pertanyaan seperti itu membuat Letta cukup kaget, dengan ragu gadis itu menggeleng. "Enggak, semenjak gue putus beberapa tahun lalu gue jadi males pacaran lagi, Kak." "Kalo gue suka sama lo gimana?" Astaga, ini cowok frontal banget sih. Letta kan jadi salah tingkah sendiri. "Ya,.. ya, nggak masalah sih. Suka doang, nggak ada niatan buat macarin, 'kan?" "Polos banget sih, bikin gemes."  -Tahubulat- 'Kalo gue suka sama lo gimana?' "Aaaaaa!!" Letta memekik kegirangan, menutupi wajahnya menggunakan bantal agar jeritannya tidak sampai terdengar dari luar. Bahkan sampai pukul sepuluh malam, gadis itu masih belum bisa tidur lantaran memikirkan ucapan Alfa. "Kak Alfa nggak bercanda kan pas ngomong kayak tadi?" Sejak kapan Letta jadi seperti ini hanya gara-gara cowok? Lupakan soal dulu dia pernah ilfeel, atau bilang gak tertarik dan lain-lain. Karena pada kenyataannya, Letta begitu  menikmati waktu ketika tengah bersama Alfa. "Apa iya gue udah jatuh cinta sama kak Alfa?" Sebuah pesan masuk, ternyata itu pesan dari Alfa. "Kaaaan, ah, kalo jodoh mah gini. Di pikirin aja langsung muncul" Dengan semangat Letta membuka pesan Alfa. Senyum yang sedari tadi menghiasi bibir gadis itu seketika luntur.  'Udah tidur belum, Ta? Just wanted to say, I want to be your friend' 'Lo mau kan jadi temen gue?' "JANGANKAN JADI TEMEN, JADI PACAR AJA GUE MAU KAAAK!!!" "Ta?" Letta mendongak, menatap Gevit yang menyembulkan kepalanya. "Baik-baik aja, kan?" "Hah?" "Gue kira tadi lo kesurupan soalnya teriak-teriak" Gadis itu menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Lantas meringis. "Hehehe, nggak kok. Tadi ada kecoa lewat, bang" "Oh, kirain. Yaudah, tidur sana. Udah malem juga" "Oke, nite abang" Setelah Gevit keluar dari kamar, Letta baru bisa menghela nafas lega. Sangking gemasnya dengan chat Alfa, dia jadi tak sadar kalau sudah berteriak terlalu kencang tadi.  Letta mengetikan balasan untuk Alfa. 'Chill, kak. Gue temenan sama siapapun kok' Entah kenapa kini dia menggalau, akhirnya Letta membuka galerinya, ada beberapa foto disana. Letta ingin mengunggah salah satunya. Akhirnya, gadis itu menemukan satu foto yang menurutnya bagus.  "Kasih caption apa ya enaknya" 'Senja selalu tau kapan dia harus menampakan diri agar bisa dilihat oleh pasang mata yang tepat' Sent. Letta menunggu sejenak, lantas brondongan komentar dan like memenuhi notifikasinya. Gadis itu mengecek satu persatu yang mampir ke lapaknya.  'Si eneng lagi pengen nunjukin wajah cantiknya ke siapa sih?'-Leo 'Mau tidur aja cantik banget'-Vero 'Cieee menggalau nih ye'-Sasha 'Chat grup, Taaaa. Lo harus jelasin ini ke kita'-Lisa 'Mau wajah mulus tanpa pori-pori? Yuk cek Insta kita, Sist'-Olshop nyasar 'Tidur, udah malem.'-Gevit Letta keluar dari apps Insta nya, dia kembali membuka apps w******p disana Lisa dan Sasha sudah menunggu. Hanya mereka berdua karena Letta yakin, Angel pasti sudah tidur.   Perlu di ingat, setiap kerandoman Letta adalah karena Alfa. Hanya karena dia, Alfarel Benjamin. Letta bisa menggila, merasakan debaran hati yang terkira rasanya. Dia seakan merasakan rasa yang sudah lama hilang. Mencintai seseorang dengan begitu membahagiakan. Letta senang, karena dia tak benar-benar mati rasa. Tapi dia juga takut, kalau hatinya akan kembali terluka seperti dulu. Takut mencoba, hanya akan membuat Letta menyesal.  "Lebih baik menyesal karena melakukan, daripada menyesal karena tidak melakukannya sama sekali" itulah yang Letta tanamkan pada dirinya sendiri. Memilih untuk tidak menanggapi obrolan chat teman-temannya, Letta mematikan ponselnya, gadis itu memilih untuk langsung tidur. Gadis itu tidak tau kalau di seberang sana, Alfa pun tengah mengunggah foto dengan caption yang mungkin same vibes dengan miliknya. 'Senja akan selalu datang tanpa kamu tunggu, begitu juga dengan aku"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN