Skalla-6

2230 Kata
Emang dasar nya Gevit malas panas-panasan dengan mengendarai motor menuju rumah Vero, alhasil cowok itu membawa mobil milik Andini. Tadi sudah izin kok, jangan khawatir. Cowok yang saat itu mengenakan sweater coklat masih duduk dengan tenang di dalam mobil, padahal dia sudah sampai ditempat tujuan. Awalnya, Gevit memang ingin pergi ke rumah Leo, tapi sampai sana Leo nya tidak ada. Jadi, Gevit putar arah menuju rumah Vero setelah memastikan cowok itu ada di peradabannya.  "Kira-kira si Leo kripik kentang pergi kemana ya, tumben banget nggak berisik di gc tuh anak" Gevit memandang layar ponselnya, hanya Vero yang  membalas pesan di grup chat Triple Crown.  "Apa iya dia pergi sama Alena" lagi, sebuah pemikiran konyol terlintas. "s****n, muka ganteng gue nggak ada harga dirinya didepan Alena." lagi, cowok itu bermonolog seraya bercermin di kaca mobil. "Kok bisa ya, dia nggak tergoda sama muka ganteng gue ini" Atensi Gevit teralihkan saat nampak seseorang keluar dari balik gerbang hitam, seseorang itu berjalan ke arahnya dan langsung masuk ke dalam mobil.  "Tumben banget lo nyamperin gue kesini?" pertanyaan pertama yang Vero lontarkan untuk Gevit. Biasanya Gevit ogah menjemputnya, soalnya rumah  Vero jauh. Kalau mereka ingin main langsung ketemuan di tempat janjian. "Lagi gabut gue. Tadi nyamperin rumah si keripik kentang, dianya nggak ada" "s****n, keripik kentang banget gak tuh" Vero terkekeh seraya memasang seltbeat nya. "Nggak mampir ke rumah sebelah?" "Siapa? Alena?" beo Gevit yang hanya mendapatkan anggukan kepala dari Vero. "Nggak ah, gue mau move on dari dia, lagian masih banyak cewek yang antri buat jadi pacar gue" "Alaaah, nggak percaya gue sama omongan lo. Omongan Gevit sama dengan dusta" "Gitu banget sama temen sendiri" cibir Gevit. Kendaraan roda empat melaju perlahan dengan kecepatan stabil, yakali Gevit ngebut di jalanan perumahan seperti ini. Entah kemana dia akan membawa Vero pergi hari ini, "lo seriusan, Ge, mau move on dari Alena?" "Ya nggak lah. Gila kali, berjuang aja baru segitu, masa udah mau move on" "Lo kok jadi plin plan gini sih." Vero mendengus, dia kesal karena jawaban Gevit yang labil. Dasar anak muda. "Gue tanya serius sama lo" "Gue cuma bercanda tadi, yakali gue move on padahal berjuang aja belum." kali ini jawaban Gevit bisa dipercaya, tapi Vero sudah terlanjur gondok, cowok itu diam sepanjang perjalanan.  Tadi, dia tengah asik bermain game di kamarnya, tidak ada mendung apalagi hujan lebih-lebih lagi badai, ponselnya menyala dan nama Gevit terpampang disana, dan kejadian selanjutnya adalah Vero langsung menyambar hoodienya lantas turun ke bawah lantaran Gevit sudah menunggunya. "Ver" panggil Gevit sejenak setelah kesunyian menyelimuti perjalanan mereka. "Apaan?" "Lo,.. beneran suka sama Letta?" Mendapatkan pertanyaan seperti itu membuat Vero menoleh, menyipitkan mata mencoba menganalisis sesuatu dari raut wajah Gevit. "Kenapa mendadak lo tanya kayak gitu ke gue? Apa restu lo udah turun?" "Ck. Bukan gitu, gue cuma tanya doang." "Menurut lo sendiri gimana?" "Lo cuma main-main, kan, sama Letta?" Vero tak menjawab lagi, cowok itu hanya tersenyum tipis.  Menjawab pun percuma, Gevit tidak akan paham apa yang sebenarnya Vero rasakan, selama ini mungkin dia terkesan hanya main-main saat mengatakan bahwa dia menyukai Letta. Vero tidak pernah berjuang, dia tidak pernah menunjukan keinginannya untuk serius menjalin hubungan dengan adik sahabatnya itu. Tapi, didalam hati yang paling dalam, Vero benar-benar menyukai Letta. Hanya saja, entahlah. Daripada menunjukan kalau dia menyukai gadis itu, dia lebih memilih untuk stand by saat Letta membutuhkannya.  "Gue nggak tau apa yang akan terjadi kedepannya, gue cuma mau pesen ke elo. Jangan sampai nyesel dikemudian hari. Kalo lo bener-bener suka ke Letta, kejar. Sebelum terlambat" “Kalo gue terlambat, berarti dia bukan jodoh gue, Ge. Gue nggak masalah” "Hidup lo terlalu santai, bruh" "As always" -Tahubulat- Gara-gara teman laknat nya, rumor soal Gevit yang ingin mendekati Alena jadi menyebar. Kini hampir seluruh sekolah tau kalau primadona mereka tengah menyukai seseorang. Dan seseorang yang beruntung itu adalah Alena, gadis yang sudah tidak jomblo lagi. Tentu itu  membuat topik perbincangan yang menarik untuk di gosipkan setiap menitnya.  Ini semua gara-gara Leo yang entah bagaimana bisa keceplosan saat ditanya oleh salah satu teman sekelas mereka. Dan, sialnya yang tanya itu adalah salah satu anggota grup gosip SMA BM. Keadaan itu tentu membuat banyak pihak merasa tidak nyaman, salah satunya adalah Aletta. Sepanjang koridor dia diberondong oleh berbagai pertanyaan, entah dari  teman seangkatan ataupun kakak-kakak kelas yang sengaja menunggu kedatangan Letta. Banyak pro dan kontra yang terjadi. "Ta, beneran ya Gevit suka sama Alena?" "Ta, kok bisa sih? Padahal gue lebih cantik dari Alena." "Ga nyangka, Ta, ternyata selera abang lo yang kayak Alena. Padahal apa bagusnya dia coba." "Tapi mereka pacaran nggak sih, Ta? Bukannya Alena udah punya pacar ya?" "Ganteng doang, sukanya rebut pacar orang" "Itu Gevit beneran suka sama pacar orang? Kok gue jadi ilfeel sama dia." Dan masih banyak lagi pertanyaan yang dilontarkan, Letta sudah  muak. Dia menghentak-hentakan kaki kesal, gadis itu memasuki kelasnya, sepagi ini mood nya sudah dibuat acak-acakan oleh pertanyaan tidak masuk akal seperti itu. Lagian, mereka kan bisa bertanya pada Gevit langsung, toh orang nya juga masih bernafas. "Ta--" "Stop!" Letta mengangkat telapak tangannya saat Sasha hendak melayangkan pertanyaan yang sama. "Gue muak sama pertanyaan tentang bang Ge. Kalo lo penasaran, tanya orangnya langsung!" sembur Letta yang akhirnya bisa melampiaskan kemarahannya. Sasha langsung diam, berteman dengan Letta, dia sudah tau kalau gadis yang ada di depannya kini tengah bad mood. "Gue tuh sebel ya sama mereka, kenapa malah tanya ke gue? Padahal kan tanya ke bang Ge langsung bisa!" kali ini Letta ingin memuntahkan seluruh kekesalannya. Angel menatap sahabatnya dengan penuh empati, punya kakak yang cakepnya masyaallah memang susah. "Udah, Ta, lagian mereka mana berani tanya kak Ge langsung." Lisa menimpali. "Lah, emang dikira bang Ge bakalan gigit mereka apa? Lagian bang Ge kan bukan tipe cowok-cowok cuek yang mengabaikan cewek-cewek itu." Mereka bertiga hanya mengangkat bahu masing-masing.  Percakapan mereka terhenti saat seorang masuk ke dalam kelas Letta, netra mereka berempat menatap seseorang itu tanpa kedip. "Gue mau ngomong sama lo, Ta. Di luar."  Tanpa menunggu Letta, gadis itu melenggang pergi kembali, di tempatnya Letta menghembuskan nafas. "Gila, bakal di eksekusi nih gue kayaknya." gumam dia, "Kalo dalam lima belas menit gue nggak kembali, kalian segera cari gue ya. Takutnya gue keburu wassalam!" "Letta ih! Nggak boleh gitu." Angel yang gemas mendorong bahu Letta pelan membuat sang empu terkekeh. Dia berjalan keluar kelas dengan santai. "Kira-kira, apa yang bakal di lakuin sama kak Aurin ke Letta, ya?" tanya Sasha, khawatir. "Apa kita buntutin mereka aja?" usul Lisa yang langsung mendapatkan gelengan kepala dari Angel dan Sasha. Karena kedua sahabatnya tidak setuju, maka Lisa pun pasrah, menunggu lima belas menit lagi. Langkah kaki Letta melambat saat menuruni anak tangga, Aurin menunggu di bawahnya. "Kak Aurin, mau ngomong soal apa?" meski sudah bisa Letta tebak, dia tetap bertanya untuk membuka percakapan. Aurin menatap adik kelasnya dari bawah hingga ke atas, melipat tangan di depan d**a. "Lo tau, kan, kalo lo bisa masuk ke club cheerleaders berkat gue?" Aletta mengangguk polos. "Dan lo pasti tau kalau didunia ini nggak ada yang gratis, gue tau lo nggak bodoh, Ta. Jadi, kalo lo mau bertahan di club, lo harus bisa buat gue sama Gevit pacaran, apapun caranya." Deg. Deg. Deg. Jantung Letta berdetak lebih cepat, dia jadi ingat saat dulu dia diterima masuk club atas bantuan, Aurin. Dan awalnya Letta mengira kalau kakak kelasnya begitu baik, tapi lama kelamaan Letta jadi tau sifat asli Aurin yang hanya memanfaatkan dia untuk dekat dengan, Gevit. Baru beberapa minggu masuk club, Letta terpaksa memberikan nomor ponsel Gevit ke Aurin dan setelah itu abang nya mogok bicara selama berhari-hari. Kalau kali ini Letta memutuskan untuk membantu Aurin mungkin Gevit tidak akan mau mengakui gadis itu sebagai adik lagi.  "Gimana, Ta?" lamunan  Letta buyar. "Kalo lo nggak bisa posisi lo di club akan tergeser, bahkan nama lo bakal gue coret. Lo bukan bagian dari club Cheerleaders lagi." Letta perang dengan hati dan pikirannya, masuk club cheers adalah impian Letta sejak dulu, dan sekarang dia terancam kehilangan impiannya.  "Buat apa bertahan ditempat yang seharusnya nggak lo tempatin sih, Ta?" Suara itu membuat Letta dan Aurin menoleh, mendapati Alena yang berdiri di anak tangga tengah menatap mereka berdua dengan datar. "Lo masuk club itu bukan karena kemampuan lo sendiri, jadi buat apa?" Letta sekarang merasa dilema.  Alena melenggang pergi begitu saja, kini tinggal lah mereka berdua lagi. "Lo yakin mau lepas posisi lo di club, Ta?" "Terserah kak Aurin mau apa gue nggak peduli. Lagipula, gue nggak mau jahat sama bang Ge!" setelah memantapkan jawabannya, Letta melenggang pergi meninggalkan Aurin "LETTA! TUNGGU!" Jeritan Aurin tak didengarkan lagi oleh Letta. Benar apa kata Alena, kalau bukan karena kemampuan sendiri, untuk apa dipertahankan? -Tahubulat- "Alena!" Alena yang baru saja dari ruang guru menoleh, mendapati Gevit tengah berjalan cepat ke arahnya. Dalam hati, Alena mendesah, dia tidak tuli, dia tau kalau tengah di gosipkan oleh anak-anak Bintang Mulia, katanya Gevit menyukainya.  "Kenapa?" "Gue bantu" tanpa meminta persetujuan dari sang empu, Gevit meraih sebagian tumpukan buku yang tengah Alena bawa. "Kenapa lo ambil buku sebanyak ini sendiri sih? Kayak nggak punya temen aja." "Bukan urusan lo, btw." jawab Alena cuek, mereka kembali berjalan beriringan.  "Gevit," panggil Alena, cowok yang punya visual masyaallah itu menunduk, menatap cewek yang lebih pendek darinya. "Jangan suka sama gue." Langkah kaki Gevit melambat dan akhirnya berhenti, Alena pun turut memelankan langkahnya, dan juga ikut berhenti saat Gevit berhenti. Sepertinya inilah saatnya meluruskan permasalahan yang ada. "Jangan suka sama gue, Ge. Masih banyak cewek-cewek diluaran sana yang lebih baik dari gue dan pantes jadi pacar lo." Gevit masih diam, dia menunggu Alena melanjutkan ucapannya. "Dan satu lagi, gue udah punya pacar. Lo nggak mungkin, kan, jadi orang ketiga?"  Tak bisa menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang dilayangkan oleh Alena, Gevit hanya mampu diam. "Lo paham kan maksud gue?" Kenapa dia harus dipaksa mundur bahkan disaat dia belum benar-benar berjuang? Beginikah rasanya sakit hati karena seorang gadis berusia 18 tahun? Beginikah rasanya ditolak saat belum mengutarakan perasaan? "Salah banget ya, Al, kalo gue suka sama lo?" "Salah, Ge, salah banget." Gevit terkekeh sinis. "Bukannya setiap orang punya hak buat menyukai siapapun? Bahkan ketika rasa sukanya hanya bertepuk sebelah tangan?" "Gue nggak ada waktu buat bahas ini, setidaknya gue udah kasih peringatan ke elo." Alena mengambil alih buku yang sedari tadi dibawa oleh Gevit. "Thanks buat bantuan lo, gue duluan." Lagi-lagi Gevit tak ingin mencegah kepergian Alena, dia hanya bisa menatap gadis itu hingga menghilang di belokan. "Cemen banget sih jadi cowok."  bisikan setan pertama datang, "Soal pelajaran aja kenceng, giliran soal cinta memble." setan kedua mulai memanasi. "Kalian ngapain sih?" Alfa menyela, membuat Leo dan Vero, langsung melakukan tos sembari tertawa saat menyadari wajah kusut Gevit. "Gue lagi nggak mau bercanda"  Leo, Vero, Alfa terdiam di tempatnya saat Gevit berjalan pergi begitu saja. -Tahubulat- Bel baru saja berbunyi, ketiga remaja yang saat ini tengah meregangkan otot-ototnya mulai mendesah lelah. Perut lapar, tujuan utamanya pastilah kantin. Membereskan alat tempur masing-masing, memasukan nya ke dalam laci meja. Angel menoleh ke arah teman sebangkunya, "Udah kali, Ta. Emangnya lo nggak capek apa?" Letta menggeleng singkat, tangan nya masih sibuk menggores tinta di lembaran bukunya. Netra gadis itu tak lepas dari rumus-rumus yang ada di depannya, sementara otaknya sudah tidak perlu dijelaskan lagi, yang pastinya sibuk memikirkan cara tercepat untuk menyelesaikan persoalan yang tengah di garap. "Aduh, Ngel. Lo kayak nggak kenal Letta aja, dia kan maniak banget sama pelajaran." tangan Sasha dengan sengaja menarik bolpoin yang tengah dipegang oleh Letta, membuat gadis itu spontan mendongak.  "Gue lagi nggak mood baku hantam, siniin!" Letta menadahkan tangannya, tapi Sasha tak peduli. Sejujurnya, dia cukup khawatir dengan Letta yang selalu melampiaskan kekesalannya pada rumus-rumus tersebut. Berteman dengan Letta selama hampir dua tahun membuat Sasha tau kalau sahabatnya saat ini masih menahan kekesalan gegara masalah tadi pagi. "Sha, gue serius. Siniin..,"  "Terserah deh, apa gunanya lo punya temen kalo kekesalan cuma lo pendem sendiri, Ta." Sasha meletakkan bolpoin itu tepat didepan Letta dengan sedikit kasar, tanpa mengajak siapapun Sasha keluar kelas. Letta pun tak mau mengambil hati, dia lantas melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda. "Kalian kalau mau pergi, pergi aja. Gue nggak ke kantin dan gue baik-baik aja."  Angel dan Lisa saling melempar tatapan ragu, lalu keduanya kembali menatap Letta. "Kalo gitu kita duluan ya, Ta. Laper soalnya" "Hm." Setelah kepergian ketiga temannya, Letta berhenti menulis. Meletakkan bolpoinnya, gadis itu mendesah frustasi. Letta menyugar rambut panjangnya, tak lama cewek itu menelungkupkan wajahnya pada lipatan tangan. Dia ingin membagi kekesalannya, hanya saja, dia tidak bisa.  Ketukan pintu membuat atensi Letta tercuri, dia mendongak kembali dan menemukan Vero tengah berdiri diambang pintu. Gadis itu tersenyum tipis. "Kak Vero," panggil Letta, Vero mendekat, tangan yang sedari sembunyi dibalik punggung kini mengeluarkan dua buah roti isi kacang, dengan sekotak s**u coklat. "Kebiasaan banget lo, Ta. Kalo waktunya istirahat tuh istirahat." "Lagi males aja, Kak." jemari Letta  meraih kotak s**u, menancapkan sedotan ke lubangnya. "Bang Ge mana?" "Haduh, Ta. Abang lo itu ya, bikin gue sama yang lain gemes." Vero mengadu, "Masa mau deketin Alena aja enggak ada perjuangannya sama sekali." Letta terkekeh, "Yah, namanya juga noob, Kak" Mendengar jawaban itu membuat Vero tertawa, bukan hanya Vero melainkan Letta juga. Meskipun dia tidak bisa bercerita tentang sesak di dadanya, setidaknya sekarang dengan kehadiran Vero membuat mood nya perlahan merangkak naik. "Tapi tadi abang lo habis di tolak sama Alena sih, kayaknya lagi galau berat" Letta tersenyum. "Emang bang Ge beneran suka sama kak Alena ya, Kak?" Vero mengangguk singkat. "Emang cari masalah banget tuh orang"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN