Episode 8

1290 Kata
Episode 8 #Kakak Ipar Keinginan yang semakin gila Kak Gema terus memperhatikan. Sepertinya laki-laki itu tidak sabar ingin mendengar penjelasan dariku yang terpaksa berhenti makan. Sejenak ku hela napas panjang, berpikir cepat alasan apa yang bisa ku katakan. "Apa saat mengigau aku benar-benar mengatakan hal seperti itu?" tanyaku mencari tau. Kak Gema mengangguk mantap. Artinya, dia tidak berbohong soal itu. Aku juga masih mengingatnya dengan jelas. Ah malam itu, kenapa harus kak Gema yang membawakan selimut? "Mimpi hanyalah bunga tidur kak. Seseorang bisa mengatakan apa saja saat dirinya tidak sadar. Sekarang aku malah tidak mengerti, kenapa kakak terus membahas soal itu? Apa mimpiku mengganggu pikiran kakak?" Kak Gema mendekat. Aku meletakan piring di atas meja saat sadar bahasan ini pasti akan berlangsung lama. "Kau benar, mimpimu mengganggu pikiranku. Apa kau tau? Malam itu kau terisak sambil memeluk erat tubuhku. Apa kau tidak akan kepikiran jika kau mengalami hal yang ku alami?" tanya kak Gema. Aku cukup terkejut saat kak Gema menyebut dirinya dengan sebutan 'aku' bukan 'kakak' seperti obrolan kami biasanya. Kak Gema menatap lekat. Dari jarak sedekat ini, kak Gema terlihat lebih mempesona. Wangi parfumnya yang selalu ku rindukan, membuatku ingin menikmatinya lebih lama. Padahal kami tidak bersentuhan, kenapa jantungku sudah berdebar tidak karuan? "Kenapa diam?" tanya kam Gema tanpa melepaskan pandangan. Pun aku melakukan hal yang sama. Menatapnya, tanpa berniat untuk berpaling. "Apa aku bisa mengulanginya?" tanyaku usil. Aku ingin melihat seperti apa reaksi kak Gema. "Mengulangi apa?" tanyanya bingung. "Mengulangi mimpi itu? Jujur aku sudah lupa bahkan aku tidak tau seperti apa rasanya. Kakak bilang aku menangis sambil memeluk kakak. Mungkin kakak tau seperti apa perasaanku karena kakak merasakannya dalam nyata. Berbeda denganku. Bagiku itu cuma mimpi. Tidak ada yang aneh saat seseorang sedang bermimpi. Apa aku boleh mengulanginya?" tanyaku lagi. Kak Gema tersenyum kecil. Penjelasan yang ku katakan mungkin terdengar seperti tantangan. Kali ini, aku ingin tau seperti apa reaksi laki-laki itu. Aku menanti dengan perasaan gugup yang luar biasa. Kakak iparku ini, kenapa aku begitu menginginkannya? "Bagian mana yang ingin kau ulang?" tanya kak Gema. "Semuanya." jawabku yakin. "Entah apa yang ingin kau cari tau dengan mengulang kejadian itu. Tapi, jika kau benar-benar membutuhkan itu untuk mengingat apa yang kau rasakan, kakak akan membantu..." Belum selesai kak Gema bicara, dengan berani, ku tenggelamkan diri dalam pelukannya. Ini kali pertama aku melakukan itu dalam keadaan yang benar-benar sadar. Bukan mimpi, atau sebuah ketidaksengajaan seperti di bioskop tempo hari. "Apa saat itu seperti ini?" tanyaku pelan, nyaris seperti berbisik. Kak Gema tak menjawab. Kesunyian itu malah membuat debaran jantung semakin menjadi. Karena tidak mendapat reaksi, aku terpaksa melepaskan diri. Di luar dugaan, kak Gema mendorong tubuhku hingga rebahan di kursi yang tengah kami duduki. Kursi santai, saksi dimana cerita gila ini dimulai. "Bukan seperti itu, Jihan. Tapi seperti ini." Ujar kak Gema sambil mendekat dan memposisikan tanganku memeluk tubuhnya. Saat jarak kami hanya bersisa beberapa jengkal saja, aku memejamkan mata untuk menghindari tatapannya. "Dalam posisi inilah kau menangis dan mengatakan kakak menyiksamu dalam nyata juga dalam mimpi. Entah apa yang sudah kakak lakukan hingga kau merasa tersiksa. Katakan saja Jihan, jika bisa diperbaiki, kakak akan memperbaikinya untukmu." bisik kak Gema. Aku menahan napas saat aroma mint dari mulutnya dapat ku cium dengan jelas. Ini Gila! Aku benar-benar bisa gila jika terus seperti ini. Satu tangan kak Gema terulur membenahi helaian rambutku yang mengganggu di depan wajah. Astaga ini bukan mimpikan? Aku tidak berani menatap matanya. Tapi yang pasti, aku ingin membawa laki-laki ini dalam pelukan untuk waktu yang lebih lama. Persetan dengan lampu beranda yang temaran. Persetan jika nanti ada yang memergoki dan kami ketahuan. Aku benar-benar ingin memeluk kak Gema lebih lama sampai dia sendiri yang sadar dan melepaskannya. Perlahan, tanganku menarik tubuh kak Gema hingga tak menyisakan jarak. Tak ada penolakan. Aku senang karena kak Gema membiarkanku melakukannya. Dalam posisi ini, dapat ku dengar dengan jelas debaran jantung kami yang kian menjadi. Bukan hanya aku, pun kak Gema merasa gugup dengan suasana ini. "Pelukan erat itu artinya seperti ini kak. Apa aku boleh bertanya?" Kak Gema hanya mengangguk tanpa membuka suara. Meski tubuh kami berpelukan, tapi tangan kak Gema tetap sopan. Laki-laki itu tidak menyentuh sesuatu yang tidak boleh dia sentuh. "Seperti apa perasaan kakak saat itu dan saat ini?" Hening. Kak Gema tidak menjawab. Aku tidak kecewa. Toh dengan posisi ini, aku sudah sangat bahagia. Berada dalam pelukan laki-laki yang ku suka, menurutku kebahagiaan ini sudah sangat sempurna. Setelah tak mendapatkan jawaban dari kak Gema, aku akhirnya kembali buka suara. "Kakak tidak perlu menjawab jika tidak ingin menjawab. Tapi biarkan aku tidur seperti ini. Jujur, aku merindukan kakak. Apa aku juga mengatakan hal gila itu saat tertidur? Malam ini, biarkan semua tetap seperti mimpi. Kakak boleh pergi jika kakak merasa ini gila dan harus dihentikan. Tapi jika kakak menyukainya, tetaplah disini dan anggap saja kita sedang bermimpi." Kak Gema masih diam. Entahlah apa yang ada dipikirkan laki-laki itu. Tak berapa lama, kak Gema membenahi posisinya hingga pelukan kami terlepas. Aku kecewa, iya aku sangat kecewa. Tanpa bicara, kak Gema meninggalkanku sendiri. Ah ternyata cela itu benar-benar tidak ada. Sekarang aku mengerti, tidak ada kemungkinan untuk bersama bagi kami. Tanpa bisa dicegah, air mata membasahi pipi. Kenapa begitu menyakitkan? *** Pagi-pagi sekali, aku sudah berangkat ke kantor dengan wajah kuyu. Bagaimana tidak terlihat seperti itu? Aku tidak bisa tidur semalaman. Bayangan raut wajah kak Gema yang pergi tanpa bicara, terus berputar-putar seolah sedang menghina. Aku tidak boleh bertemu dengannya. Sebisa mungkin, aku harus menghindari kak Gema. Akan sangat memalukan jika kami bertemu saat kejadian semalam masih membekas erat di ingatan. "Kita tidak punya janji keluar? Rasanya sumpek di kantor terus." tanyaku pada Jimmy yang baru sampai. "Ada sih. Tapi nanti, tunggu pak Gema datang." jawab Jimmy. "Pak Gema ikut?" "Biasanya pak Gema selalu ikut kalau meninjau lokasi syuting. Apalagi lokasinya di luar kantor." Aku menghela napas lega. "Kalau begitu kalian saja, aku jaga disini." "Lah katanya mau keluar kantor? Kok tiba-tiba berubah pikiran?" ujar Jimmy bingung. "Kepalaku sedikit pusing. Ku rasa aku hanya harus menghirup sedikit udara segar di atas atap. Kau mau ikut?" Jimmy menggeleng. "Jangan lama-lama. Sebentar lagi pak Gema datang." Aku mengangguk sambil bergegas meninggalkan Jimmy. Karena tau kak Gema akan segera datang, buru-buru ku tinggalkan meja kerja agar tidak berpapasan dengan laki-laki itu. Sesampainya di atap kantor, ku cari posisi yang nyaman untuk menikmati sinar matahari. Pagi ini cuaca tidak terlalu menyengat. Sangat pas untuk berjemur dan memanjakan diri. Sengaja ku tutup mata menghindari silaunya sinar sang surya. Saat sedang asyik berjemur, entah mengapa aku merasa ada seseorang yang sedang berdiri di hadapan. Karena penasaran, pelan-pelan ku beranikan diri membuka mata. Kak Gema? Apa yang dilakukannya disini? Ah dia tidak mungkin nyata. Aku pasti sedang berhalusinasi. Ku tutup kembali mataku untuk mengusir bayangan sosok kak Gema yang menjulang tinggi menghalangi pemandangan. Karena tak kunjung merasakan panas matahari seperti sebelumnya, aku kembali membuka mata. Kak Gema menatap tak berkedip. Pun aku melakukan hal yang sama. Jika dia bisa menghalangi matahari, artinya ini bukanlah halusinasi. Dia benar-benar kak Gema. "Sedang apa kakak disini?" tanyaku basa-basi. Padahal jujur, aku masih sangat malu bertatapan dengan laki-laki itu. "Kau sengaja menghindari kakak?" dia balas bertanya. Aku tersenyum kecut, mencoba menguasai diri dari rasa malu dan tidak berdaya. "Kalau kakak sudah tau, kenapa malah datang kesini?" Alih-alih menjawab, kak Gema malah duduk dan kembali membiarkan kulitku mencium matahari. "Soal kejadian semalam, tolong kita lupakan saja. Kakak akan menganggap kejadian itu sebagai mimpi. Kedepannya, jadilah gadis dewasa dan bisa membedakan mana yang boleh dan tidak boleh kau lakukan Jihan. Semalam kakak masih bisa mentolerir kelakuanmu. Lain kali kakak tidak akan membiarkannya." Aku mematung, tak bergerak juga tak bicara. Mulutku yang biasanya suka mendebat, kini terkunci rapat. Kak Gema sedang membuat benteng antara aku dan dirinya. Tiba-tiba d**a ini seperti dihimpit batu besar. Baru semalam aku merasa sangat bahagia. Kini kebahagiaan itu hancur tak bersisa. Kenapa baru sekarang aku menyesal? Harusnya tidak ku lakukan itu jika kak Gema akan menjauh. Aku ingin menangis, meringis, atas rasa nyeri yang menyayat hati. Kenapa mencintai dalam diam begitu menyesakkan? To be continue...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN