Episode 7

1252 Kata
Episode 7 #Kakak Ipar Haris yang menyenangkan "Buru-buru amat. Sini dulu." ujar Jimmy. Aku terpaksa menghampiri laki-laki kemayu itu sambil mengomel pelan. "Jim, dia itu tipe lelaki yang lebih suka wanita natural. Lagipula kami tidak pacaran, kenapa harus terlihat cantik?" aku menggerutu saat secara paksa Jimmy memoleskan make-up tipis di wajahku. "Tidak pacaran pun kau harus terlihat cantik, Jihan." ujarnya yakin. Aku jadi kesal sendiri. Diantara banyaknya karyawan kantor, kenapa Haris harus menanyakan keberadaan ku pada Jimmy. Jimmy langsung heboh saat melihat Haris. Memang sih Haris itu tampan, tapi bagiku, kak Gema jauh lebih tampan. "Apalagi jika jalan dengan laki-laki setampan itu. Kau bisa minder jika tidak berdandan." omel Jimmy. "Iya iya." jawabku pasrah. Saat Jimmy selesai mendandani wajahku, kak Gema keluar dari ruang kerjanya. "Tumben kau terlihat rapi, memangnya mau kemana?" tanya kak Gema. "Ada laki-laki tampan yang sedang menunggunya di bawah, Pak." jelas Jimmy. Kak Gema menatap sambil mengerutkan kening. Aku cuma mengangkat bahu, malas menjelaskan lebih rinci. "Kau mau jalan dengan Fandy lagi?" Aku menggeleng. "Bukan dia, tapi Haris." "Wah itu kemajuan yang sangat bagus." ujar kak Gema sambil tersenyum lebar. Hatiku tertohok. Ternyata kak Gema senang mendengar kabar itu. Ku pikir kak Gema akan terlihat sedikit sedih dan tidak rela. "Lagipula laki-laki itu sangat tampan. Aku yang bukan wanita saja, sampai ngiler melihatnya. Pokoknya, secara tampilan luar, kalian berdua cocok. Kau cantik dan dia menawan. Perpaduan yang sepadan." seloroh Jimmy. "Baiklah, karena kalian suka, aku akan pergi menemuinya." Jimmy menggeleng. "Yang penting itu perasaanmu, bukan pendapat kami." Kak Gema mengangguk setuju sambil memberi jempol. Sebelum benar-benar menemui Haris, kak Gema menghampiriku dan menggerai rambutku yang semula di kuncir asal-asalan. "Begini lebih cantik." Aku sedikit tersipu saat tanpa sungkan, kak Gema membenahi rambutku dengan jarinya. "Berangkat sana!" usir Jimmy. Aku menurut dan meninggalkan Jimmy dan kak Gema yang masih terus bicara. Bagaimana bisa melupakannya jika kak Gema bersikap manis seperti itu? Ah jika ingat percakapan kak Gema dan kak Nora beberapa malam yang lalu, sepertinya mustahil bagiku untuk masuk dan mencuri hati kak Gema. *** "Jadi yang kemayu tadi itu atasanmu?" tanya Haris saat kami sedang menikmati es kelapa muda di pinggir jalan. Aku menggeleng sambil tertawa kecil. "Dia sekretaris pak Gema, atasan kami. Sepertinya dia menyukaimu." Haris hampir tersedak minumannya saat mendengar ucapanku. "Menyukaiku?" tanya Haris bingung. "Iya, dia bilang kau tampan. Bahkan, Jimmy sengaja mendandani wajahku agar terlihat serasi saat berjalan denganmu." Kali ini Haris tertawa. "Ternyata laki-laki itu punya bakat yang luar biasa." "Ngomong-ngomong, kau tidak punya pacar?" tanyaku mencari tau. Haris menggeleng. "Cewek yang dekat sih, banyak. Tapi yang sudah komitmen untuk pacaran, belum ada. Belum bertemu yang cocok secara tampilan dan obrolan." "Sepertinya kau tipe laki-laki yang berhati-hati. Ada temanku yang rela pacaran dengan 2-3 wanita sekaligus untuk mencari tingkat kecocokan. Tapi kau hanya mengamati tanpa memberi mereka harapan." "Aku tidak suka membuat komitmen jika akhirnya harus berpisah. Kalau memang bertemu yang cocok, lebih baik langsung menikah. Pacaran bisa nanti setelah halal." jawab Haris. "Lalu kenapa kau setuju ikut kencan buta? Ku dengar orang tua kita juga mempersiapkan perjodohan jika kita saling menunjukkan ketertarikan." tanyaku penasaran. Haris menghela napas panjang. "Menikah itu sebuah keharusan. Aku bahagia jika orang tuaku bahagia. Lagipula aku percaya, mereka tidak mungkin memilihkan wanita yang salah." "Kau benar, papa dan mama juga tidak mungkin memilih sembarang laki-laki. Hanya saja, mereka tidak mengerti jika anaknya masih ingin sendiri." Aku tertunduk sambil mengaduk es kelapa muda yang tiba-tiba terasa hambar. "Jangan terlalu dipikirkan, Jihan. Nikmati saja hidupmu dengan cara yang kau suka. Lambat laun orang tua kita akan mengerti kalau tidak semua keinginan mereka harus kita penuhi. Untuk sementara kita jalani saja dulu. Kau boleh mengatakan bosan jika kau tidak ingin kita bertemu lagi. Soal orang tua, biar aku yang cari cara mengatasinya. Ingat, jangan paksakan dirimu." nasihat Haris. Aku terharu mendengarnya. Meski terlihat berandalan, ternyata Haris punya sifat yang hangat dan menyenangkan. Ku rasa, untuk berteman, kami pasti cocok. "Andai aku juga bisa berpikir dewasa sepertimu. Ngomong-ngomong, kau itu PNS kan?" tanyaku mengubah topik pembicaraan. "Iya. Aku lulus 4 tahun yang lalu. Selain itu, aku juga ikut mengurus minimarket milik papa." jawab Haris. "Kau pekerja keras juga ternyata." pujiku tulus. Haris hanya tersenyum simpul sambil mengajakku pulang. Haris itu orangnya sederhana. Cara dia bicara dewasa dan bijaksana. Baru kenal saja, aku sudah merasa betah berteman dengan Haris. *** "Mama kok masak banyak?" tanyaku heran. Saat sampai di rumah, jam sudah menunjukkan pukul setengah enam. Ku lihat, mama dan mbak Sumi sedang sibuk memasak di dapur. "Kakakmu mau menginap lagi. Dia bilang, dia kangen masakan mama. Siapa tau kakakmu sedang hamil." jelas mama. "Perasaan kak Nora baru menginap beberapa hari yang lalu." Mama mendelik saat raut wajahku menunjukkan ekspresi tidak suka. Ya, jika kak Gema dan kak Nora menginap disini, aku terpaksa harus melihat hal-hal yang paling tidak ku suka. Baru juga dibicarakan, orang yang sedang kami bahas tiba dengan banyak belanjaan di tangannya. "Lain kali tidak usah repot-repot seperti ini nak Gema. Kalian sering menginap saja, mama sudah sangat bersyukur." ujar mama sambil mengambil alih belanjaan dari tangan kak Gema. Aku memilih pura-pura tidak peduli dan duduk dengan tenang di kursi meja makan. "Hei bagaimana kencan kalian?" tanya kak Gema penasaran. Mama ikut bergabung setelah mendengar pertanyaan kak Gema. Aku memang tidak mengatakan apapun soal pertemuan kami tadi sore. "Berjalan lancar. Haris orang yang menyenangkan, tidak sulit bagi kami untuk menjadi akrab." Jawabku jujur. Mama tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Apa sudah sebegitu inginnya mama melihatku menikah? Jika melihat raut wajah mama yang sendu, kadang terpikir untuk buru-buru menuntaskan keinginannya. "Makanya kenalan saja dulu. Jangan buru-buru marah dan mengambil keputusan sendiri. Papa tidak mungkin memilihkan calon yang asal-asalan untukmu." celetuk kak Nora. Aku mendesah sebal. Kak Nora memang paling pandai merusak suasana. Jika sudah seperti ini, berarti sudah waktunya sembunyi ke kamar. "Sudahlah Nora, Jihan mau bertemu Haris saja, mama sudah sangat senang." bela mama. "Kalau begitu aku mandi dulu ma. Aku juga sudah makan sore bersama Haris, jadi tidak ikut makan lagi." ucapku sambil meninggalkan ruang makan. Masih dapat ku dengar celotehan manja kak Nora pada mama. Kak Nora memang anak kesayangan mama, aku paham sekali akan hal itu. Entahlah sejak kapan aku merasa mama membeda-bedakan kasih sayangnya pada kami. Setelah kembali ke kamar, aku langsung mandi dan tertidur. Saat terbangun, jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Ah aku paling benci terbangun di malam hari. Kalau sudah terbangun, akan susah tidur lagi. Kepalaku berdenyut karena perut mulai lapar. Tadi sore, aku sengaja berbohong demi menghindari obrolan menjengkelkan di meja makan. Sialan, aku malah terbangun dengan perut keroncongan. Mau tidak mau, aku terpaksa turun ke dapur dan mulai mencampur makanan ke dalam satu wadah dan berencana membawanya ke beranda lantai atas. Saat hendak mengambil minum, aku dikagetkan dengan sosok kak Gema yang berdiri di samping kulkas. "Astaga kakak membuatku kaget." Kak Gema tersenyum simpul mendengar teriakan tertahan yang ku lontarkan. "Siapa suruh kau bertindak seperti pencuri tengah malam begini." ujarnya pelan. Setelah mengambil air dingin dari kulkas, ku tinggalkan kak Gema ke beranda. Siapa sangka laki-laki itu malah mengikuti. "Dia mau apa sih? Apa dia tidak sadar kalau aku sengaja menghindarinya?" Aku menggerutu sambil makan dengan lahap. Kak Gema memperhatikan sembari bersandar ke pagar pembatas. "Apa tadi kau berbohong soal makan bersama Haris? Kelihatannya kau kelaparan sekali." tanya kak Gema. Suara laki-laki itu sangat pelan, seolah kak Gema tidak ingin ada yang memergoki keberadaan kami disini. "Betul sekali." jawabku jujur. "Kenapa? Apa makan di meja yang sama bersama kakak, juga menyiksamu?" Aku melongo. Tak menyangka jika kak Gema berpikir ke arah situ. Tanpa membuka suara, aku menggeleng sebagai pertanda bukan itu alasannya. "Lalu?" tanya kak Gema lagi. "Pokoknya bukan itu alasannya." ucapku cepat. "Aku tidak bertanya soal itu Jihan. Maksudku, apa sekarang kau sudah tidak tersiksa lagi?" Lagi-lagi aku melongo. Bahasan macam apa ini? Kenapa kak Gema tiba-tiba menanyakan hal sensitif seperti itu? Apa kak Gema menyadari kalau aku menyukainya? Astaga! Jika itu benar, apa yang harus ku lakukan? To be continue...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN