Episode 1
#Kakak Ipar
Mimpi atau Nyata?
Aku terbangun saat merasakan hawa dingin yang menembus pori-pori wajah. Cukup kaget setelah menyadari dimana aku menghabiskan malam. Perhatianku tertuju pada selimut tebal yang membungkus tubuh. Jika tidak salah ingat, aku tidak membawa selimut tadi malam.
"Apa yang semalam itu bukan mimpi?"
Aku bermonolog sambil mengingat-ingat. Kalaupun iya, aku akan memilih pura-pura tidak tau. Toh kak Gema tidak mungkin menanyakan. Lagipula, besok sudah harus kembali ke Cirebon. Apa yang mesti ku takutkan saat alam bawah sadar mengatakan kenyataan.
Sialnya, belum sempat kembali ke kamar, kak Gema berjalan menghampiri dengan secangkir coklat panas di tangan. Padahal hari masih terlalu pagi, dia sudah bangun rupanya.
"Apa tidurmu nyenyak?"
Aku meregangkan badan sebelum akhirnya berdiri melipat selimut. Iya, aku sedang mencari kesibukan agar tidak bertatapan dengan matanya.
"Cukup nyenyak."
"Kau tidak penasaran siapa yang memberimu selimut?"
Aku menggeleng dengan tetap membelakangi kak Gema. Kali ini aku harus berbohong untuk menyelamatkan diri. Bisa jadi apa yang terjadi semalam bukanlah mimpi. Jika itu nyata, maka akan sangat memalukan.
"Jika tidak mama, pasti papa. Hanya mereka yang tau kebiasaan tidurku yang buruk. Aku bisa tidur dimana saja dan akan marah saat seseorang memintaku pindah."
"Oh."
Hanya itu yang kak Gema katakan. Aku memilih pergi karena tidak sanggup berlama-lama dengannya. Jika dia bertanya lebih jauh, aku tidak yakin bisa berbohong dengan baik.
Sebelum benar-benar jauh dari pandangannya, kak Gema memanggil namaku. Mau tidak mau aku menoleh untuk menjaga kesopanan. 4 meter, ku rasa itu jarak yang aman untuk menyembunyikan wajahku yang memerah.
"Jihan."
"Iya kak."
"Soal tawaran untuk bekerja di perusahaan kakak, apa kau sudah memikirkannya? Sorry kalau kakak terlalu terburu-buru, tapi sepertinya mama dan papa sudah sepakat untuk memaksamu kembali kesini."
Aku mematung. Jika kembali, akan semakin sulit bagiku melupakan kak Gema. Terlebih jika aku benar-benar bekerja di perusahaannya.
"Mama dan papa tidak bisa memaksakan kehendak begitu saja, kak. Aku punya pilihan untuk sesuatu yang ingin kujalani."
"Mama sakit Jihan."
Lirih suara kak Gema, membuatku mendekat menghampirinya.
"Mama sakit? Sakit apa kak? Sejak kapan?"
Tak sadar tanganku meraih tangannya. Menggenggam erat, padahal itu hanyalah kalimat singkat. Otakku bahkan tidak bisa mencerna, kalau saat itu kak Gema tidak menghindar seperti sebelum-sebelumnya. Dulu sekali, jika tidak sengaja kami dekat dan bersentuhan, kak Gema langsung menjaga jarak. Aku sering tersinggung dan sakit hati. Tapi aku tau, itu dia lakukan untuk menjaga hati kak Nora, istrinya.
"Darah tinggi, sekarang sudah mulai menunjukkan gejala jantung. Kau tau sendiri Jihan, penyakit darah tinggi dan jantung adalah dua kombinasi yang saling beriringan."
Aku menghela napas dalam. Mencerna kalimat demi kalimat yang baru saja ku dengar.
"Kenapa tidak ada yang cerita? Sudah berapa lama kak?"
"Sekitar satu tahun yang lalu. Mereka sengaja merahasiakannya agar kau tidak khawatir."
Aku tersenyum getir. Karena mementingkan diri sendiri, aku memilih menjauh dan pergi. Pada kenyataannya, melarikan diri tidak mengubah apa-apa. Yang ada, aku tidak tau apapun tentang kondisi keluarga.
Tak sadar, kehangatan masih menjalar dari tangan yang menggenggam erat. Begitu menunduk, barulah aku mengetahui itu. Buru-buru ku lepas tangan kak Gema.
"Sorry aku tidak sadar."
Kak Gema hanya tersenyum. Laki-laki yang begitu taat agama, yang biasanya tidak suka menyentuh yang bukan mahramnya, kini menunjukkan hal yang tidak biasa. Mungkin itu imbas karena begitu kaget dengan reaksi tiba-tiba yang ku perlihatkan.
"Kakak mengatakannya agar kau memikirkan alasan yang tepat untuk kembali. Soal pekerjaan, kakak akan mengurus itu untukmu. Jika kau masih ingin menjadi teller, kakak bisa mencarikan relasi."
"Aku akan memikirkan saran kakak dengan baik."
Setelah mengatakannya, aku pamit ke dapur pada kak Gema. Kak Nora dan mama pasti sedang sibuk memasak sesuatu. Aku harus mencari tau sendiri, kenapa tidak ada yang memberi tau soal penyakit yang diderita mama.
***
Kak Gema benar, mama merahasiakan penyakitnya agar aku tidak khawatir. Tadi kami bercerita panjang lebar. Ternyata banyak hal yang dipikirkan wanita paruh baya itu. Bukan hanya memikirkan keadaanku yang tak kunjung menikah, mama juga memikirkan kak Nora yang belum dikaruniai anak.
Kak Nora dan kak Gema memang terbilang sudah cukup lama menikah. Dua tahun, sama seperti lamanya aku pergi dari rumah. Tidak ada yang salah dengan keduanya. Mereka dinyatakan sehat oleh dokter setelah beberapa kali menjalani pemeriksaan.
Besok aku harus kembali ke Cirebon. Tapi itu tidak akan lama. Aku hanya kembali untuk resign dari pekerjaan dan mengepak barang. Sudah ku putuskan akan menetap di Jakarta. Perihal perasaanku pada kak Gema, aku akan mencari cara untuk mengakhirinya.
"Kakakmu mana?"
Suara kak Gema dari arah belakang, mengagetkanku yang tengah duduk menghadap kolam renang. Entah pergi kemana kak Nora, mama, dan Papa. Tadi aku menolak ikut karena takut kelelahan. Besok pagi-pagi sekali aku harus kembali ke Cirebon. Sedang kak Gema, sepertinya dia baru kembali dari rumahnya.
"Kurang tau, kak. Coba kakak telepon."
Kak Gema mengambil posisi duduk di sampingku dengan jarak yang cukup jauh. Aku menguatkan tekad dalam hati untuk tidak menoleh ke arahnya.
"Biarkan saja, nanti juga pulang. Soal pekerjaan, kau sudah mengambil keputusan?"
Aku mengangguk pelan. "Sudah saatnya untuk kembali."
"Begitu lebih baik. Besok kakak yang akan mengantarmu."
Aku menoleh. Beberapa saat tatapan kami bertemu. Baik aku maupun kak Gema, entah mengapa tidak seorang pun mau berpaling.
"Kenapa kakak yang antar?" tanyaku tanpa melepaskan tatapan matanya.
Kak Gema mungkin merasa jengah. Tapi tidak denganku. Aku suka saat pandangan kami bertemu. Anehnya, kali ini kak Gema melakukan hal yang sama. Dia menatapku lama, sebelum akhirnya mengalah dan beralih menatap air di dalam kolam.
"Karena tempat kerja kakak dan Bandara satu arah. Kau tidak mungkin tidak tau alasan sepele itu, Jihan. Atau kau berharap ada alasan lain?" canda kak Gema.
Aku terkekeh melihat senyum lebar yang dia pamerkan. Kak Gema benar-benar manis dan mempesona. Kalian tau Haris Vriza? Wajah kak Gema itu mirip Hariz Vriza dalam versi Dewasa. Tak pernah bosan dipandang dan selalu memberi kesejukan.
"Syukurlah kalau begitu. Aku tidak harus membayar taksi jika kakak bersedia mengantar."
Kak Gema tertawa. Entah apa yang lucu dari kalimat yang baru saja ku ucapkan.
"Wanita mandiri sepertimu ternyata masih memikirkan masalah ongkos taksi. Memangnya berapa gaji yang kau dapatkan setiap bulannya?"
Aku tersenyum kecut. "Jika dibandingkan dengan penghasilan kak Gema, tentu saja tidak seberapa."
"Kakak cuma bertanya, bukan membandingkan Jihan."
Aku pura-pura merajuk. Kembali menatapnya yang tersenyum manis. Sejak kapan kakak iparku berubah menjadi pria yang banyak omong? Cih seolah-olah aku ini sangat mengenalnya. Padahal aku sungguh tidak tau apa-apa tentang kak Gema.
"Hei sepertinya asyik sekali, apa yang kalian bicarakan?"
Kak Nora menghampiri kami dan duduk ditengah-tengah. Sepertinya mereka baru pulang. Entah mengapa aku jadi tidak rela. Apalagi saat kak Gema membenahi rambut kak Nora yang ditiup angin.
"Cuma membahas masalah gaji." jawab kak Gema jujur.
"Eh Jihan tadi kakak ketemu si Fandy. Katanya dia mau main kesini." ujar kak Nora.
Aku menghela napas bosan. Fandy, dia sahabat baikku. Ketimbang disebut sahabat, Fandy lebih tepat jika disebut pengacau. Dia yang playboy dan suka gonta-ganti pacar, sering sekali menempatkan ku pada posisi tidak nyaman.
"Kalau dia datang, katakan saja aku sudah kembali ke Cirebon."
"Gak boleh gitu dong, Jihan. Kalian kan sahabat baik." ujar kak Nora.
Aku mengangkat bahu sambil berlalu. Ya begitulah, aku menjadi wanita cuek dan malas berdebat sejak kehadiran kak Gema. Hanya pada kak Gema aku jadi banyak bicara.
"Sayang, sekali-kali bujuk Jihan agar mau ketemu beberapa rekan bisnis kita. Siapa tau ada yang cocok."
"Biarkan dia menikmati kebebasannya, Nora. Jihan berhak menentukan siapa orang yang ingin dan akan dia temui. Jangan paksa dia."
Masih ku dengar permintaan konyol yang kak Nora sampaikan pada kak Gema. Andai kak Nora tau kalau satu-satunya laki-laki yang ku inginkan adalah kak Gema. Jika dia menawarkan kak Gema untuk ku miliki, aku tidak akan berpikir dua kali untuk menyetujuinya.
Sial! Aku sudah berpikir terlalu jauh. Mulai sekarang aku harus menghapus kak Gema dari kepala. Jika tidak bisa melakukannya, siap-siap saja hati ini terluka
untuk selamanya. Mencintai sampai diri merasa putus asa, apa masih bisa disebut cinta?
To be continue...