Prolog
#Kakak Ipar
Cinta atau Obsesi
Setelah 2 tahun melarikan diri, akhirnya aku harus kembali ke kota ini. Kota yang memberiku sejuta luka dan air mata. Terdengar lebay sih, tapi itulah kenyataannya. Orang yang ku cintai, menikah dengan kakak kandungku sendiri, kak Nora.
Dia Gema Samudra. Laki-laki penuh pesona, yang membuatku terjerat cinta buta. Bukan hanya tampangnya yang rupawan, kak Gema memiliki postur tubuh yang proporsional dan senyum yang menawan. Kak Gema mengelola perusahaan warisan keluarga yang bergerak dalam bidang periklanan. Tak hanya sukses, kak Gema menjadi milyarder di usianya yang masih sangat muda.
Laki-laki yang ingin ku hindari itu, kini berdiri di samping mobilnya dengan tangan terlipat di d**a. Saat melihat kedatanganku, kak Gema langsung menyongsong dan merebut koper yang ku bawa.
"Kakak hampir tidak mengenalimu Jihan. Kau banyak berubah."
Aku tersenyum kecil, mencoba mengusir desiran aneh saat tangan kami tak sengaja bersentuhan. Cih, jika sentuhan ringan seperti itu saja sudah membuat jantungku menggila, apa jadinya jika dipeluk kak Gema?
"Bagaimana pekerjaanmu disana?" tanya kak Gema setelah kami dalam perjalanan menuju rumah.
"Lumayan menyenangkan."
Aku hanya menjawab singkat tanpa menoleh ke arahnya. Melihatku yang terus diam, kak Gema memilih melakukan hal yang sama. Bukan tidak mau bicara, aku takut perasaan ini semakin nyata. Melihat tangannya yang kokoh saat memegang kemudi, nyaris membuatku ingin menyentuh dan meletakkannya di pipi.
"Kau sudah makan?" tanya kak Gema kemudian.
Aku menggeleng pelan. Tak ingin berbohong untuk urusan yang satu itu. Aku lapar, itulah kenyataannya.
"Kalau begitu kita bisa makan dulu." usul kak Gema.
"Boleh juga." jawabku singkat.
Kak Gema memarkirkan mobil di sebuah restoran mewah. Sangat sepadan dengan uang yang ada di kantongnya. Aku meringis menyadari jauhnya perbedaan pendapatan kami.
Kak Gema memilih ruangan yang cukup tersembunyi, bersekat di semua sisi. Aku sedikit kecewa. Padahal diam-diam aku berharap kak Gema akan membawa ke ruang VVIP, hanya kami berdua, tanpa harus dilihat oleh mata lainnya. Aku menggeleng saat pikiran gila lagi-lagi bersarang di kepala.
"Kau kenapa? Apa kepalamu sakit?" tanya kak Gema.
"Bukan apa-apa kak." jawabku dengan muka memerah.
Kak Gema duduk tepat di hadapan. Wajahnya yang bersih dari kumis, membuatku ingin menatapnya lama-lama.
"Kau makin cantik sejak jadi teller Bank, Jihan. Kalian dibekali ilmu tata rias?" tanya kak Gema sembari menunggu pesanan.
"Begitulah, bukankah teller harus cantik untuk membuat costumer betah?"
Kak Gema tertawa. "Itu rumusnya darimana?"
"Lah kan memang harus seperti itu." jawabku yakin.
"Setau kakak teller hanya harus ramah, murah senyum, dan cekatan, dengan begitu costumer betah menjadi nasabah."
Aku mencibir sambil memanyunkan bibir. "Jangan bilang kak Gema sedang menyindir karena aku bukan tipe wanita supel dan menyenangkan?"
Kali ini tawa kak Gema berderai. Aku menikmatinya, menikmati sorot mata kak Gema yang menyipit, menikmati senyumnya yang lebar, terlebih, aku menikmati lesung pipinya yang dalam. Sejak kapan kak Gema yang kalem dan pendiam berubah menjadi kak Gema yang ramah dan banyak bicara?
"Pesanannya sudah datang, kita makan dulu." ujar kak Gema.
Aku mengangguk setuju dan mulai menikmati makanan yang katanya sering dipesan kak Gema. Laki-laki itu makan dengan lahap, tak begitu peduli kalau di hadapannya, ada seorang gadis yang memperhatikan tanpa berkedip.
"Kali ini apa alasannya?" tanyaku saat kami selesai makan.
"Rasanya kakak tidak pantas jika mendahului mama dan papa. Biarkan mereka yang menyampaikan alasan kenapa kau diminta pulang." jelas kak Gema.
Aku meringis. Setiap kali diminta pulang, papa dan mama pasti menginginkan sesuatu. Calon suami misalnya. Ah andai mereka tau jika hatiku sudah terpaut pada kak Gema.
"Apa mereka sudah menentukan calon?" tanyaku hati-hati.
"Sepertinya bukan itu." jawab kak Gema ragu-ragu.
Aku berpikir sejenak. Jika bukan karena calon suami, lalu apa alasan kali ini?
"Kau tidak berniat menetapkan disini lagi?" tanya kak Gema.
Aku menggeleng. "Aku sudah nyaman dengan pekerjaanku disana kak. Lagipula susah mencari pekerjaan di Jakarta."
"Pekerjaan? Kalau kau mau kau bisa bekerja di perusahaan kakak, Jihan. Bagaimana? Atau jika kau masih ingat menjadi teller, kakak bisa carikan kolega untukmu." tawar kak Gema.
Sebenarnya aku tergiur, tapi apa aku sanggup jika harus bertemu tiap hari dengannya?
"Akan ku pikirkan." jawabku singkat.
Kak Gema mengajak pulang setelah cukup lama kami selesai makan. Dalam perjalanan kami kembali memilih diam. Lebih tepatnya, aku pura-pura tidur demi menghindari percakapan yang tidak diinginkan.
***
"Bagaimana kabar kakek dan nenekmu di Cirebon? Apa mereka sehat?" tanya mama saat kami sedang ngobrol santai di ruang tamu.
"Mereka sehat-sehat saja, Ma. Lagipula paman dan bibi menjaga mereka dengan baik."
"Syukurlah, kalau begitu mama tidak khawatir lagi jika memintamu kembali ke Jakarta."
Aku mendesah malas. Jika bahasan itu sudah diulas, rasanya ingin cepat-cepat sembunyi ke kamar.
"Ma aku di Cirebon bukan semata-mata untuk menjaga mereka. Aku kerja, Ma."
Mama tampak kecewa. Disampingnya, papa dan kak Nora mendengarkan dengan seksama. Hanya kak Gema yang terlihat tidak tertarik dengan percakapan kami.
"Papa dan mama sudah tua, Jihan. Kau masih belum berencana menikah?" tanya kak Nora.
"Jangan bercanda, kak. Bukankah kakak tau aku bahkan tidak punya pacar?"
Lagi-lagi mama mendesah kecewa. Raut wajahnya yang sudah keriput, tampak sayu mendengar apa yang ku katakan.
"Bagaimana kalau papa kenalkan dengan anak sahabat papa? Dia sudah PNS dan bekerja di kantor catatan sipil." ujar papa antusias.
"Kapan dan dimana kami harus bertemu?" jawabku mengalah.
Kali ini aku tidak ingin membuat mereka semakin kecewa. Bukankah aku bisa datang dan mengatakan tidak ada kecocokan diantara kami? Itu lebih baik daripada menolak mentah-mentah.
Sekilas tatapanku menoleh pada kak Gema. Laki-laki itu tengah memeriksa ponsel, tak peduli kalau gadis yang diam-diam menyukainya, akan pergi mengikuti kencan buta.
"Nanti papa atur waktu untuk kalian. Kapan kau kembali ke Cirebon?" tanya papa.
"Lusa."
Aku menjawab singkat sebelum meninggalkan mereka ke kamarku di lantai 2. Alih-alih masuk ke kamar, aku malah menikmati malam sambil rebahan di kursi santai. Bulan tampak indah dihiasi kerlipan bintang disekitarnya. Ah andai kisah cintaku seindah itu, tidak mungkin ada kencan buta yang diatur oleh orang tua.
Hari semakin larut, tanpa sadar aku jatuh tertidur. Suara nyanyian binatang malam, membuatku terlelap di pangkuan alam.
"Apa kakak tidak puas sudah menyiksaku dalam nyata? Kenapa sekarang kak Gema harus hadir di mimpi indahku?"
Aku bergumam pelan saat menghirup aroma yang selalu ku rindukan. Rasanya hangat. Tanganku terulur memeluk erat sosok kak Gema yang tak pernah bisa ku lakukan dalam nyata. Mimpi ini ku harap jangan berlalu. Jika mencintai seseorang rasanya sesakit ini, untuk apa jatuh cinta?
To be continue...