Tumpukan Bantal Sofa

1574 Kata
"Udah pulang?" sambut Lintang yang saat ini tengah berjalan menuruni tangga.       Begitu melihat Lintang, Mina beringsut sembunyi di belakang punggung Kian. Karenanya, Lintang curiga. Lintang berusaha melihat siapa seseorang yang sedang bersembunyi itu.       "Itu temen kamu, Yan? Kenapa sembunyi begitu?" bingung Lintang.       Kian sejujurnya juga bingung kenapa Mina tiba - tiba bersembunyi di belakang punggungnya seperti ini. "Min, nggak sopan banget di dalem rumah orang sikap lo kayak gitu!"       "Tapi ...." Mina sebenarnya masih enggan menunjukkan diri. Tapi benar kata Kian. Dengan bersikap seperti ini, Mina sangatlah tidak sopan. Apalagi pada Lintang si Pemilih rumah ini.        Mina akhirnya mengambil satu langkah ke kanan. Berusaha mengontrol mimiknya. Berusaha menciptakan sebuah lengkungan senyum pada Lintang.       "Lhoh, Mina!" seru Lintang.        "S - sore, Mas Lintang!" Mina melambaikan tangan dengan canggung.       Kian menatap Lintang dan Mina secara bergantian. Jadi ... Lintang dan Mina saling mengenal?       "Gimana kabar Mas Lintang?" tanya Mina masih sambil terus menunduk. Mina mengetuk - ngetukkan kedua jari telunjuknya. "M - Mina ... Mina ... Mina kangen sama Mas Lintang!"       Kian semakin menganga lebar. Apa - apaan si Mina ini?        Lintang terkikik menanggapi ucapan Mina. "Mas juga kangen sama Mina. Udah lama banget kamu nggak main ke sini."       "Iya, habisnya nggak boleh ikut sama Mak Lampir!" Bibir Mina mengerucut lucu.       "Sebentar ... sebentar ...!" Kian tidak tahan lagi. Ia benar - benar butuh penjelasan sekarang juga. "Tang, lo sama si Mimin ... saling kenal?"       "Yan, Mina bukan Mimin!" protes Mina segera.       "Oh, iya!" Lintang akhirnya ingat bahwa ada Kian juga di sini. Kian pasti kebingungan karena interaksinya dengan Mina barusan. "Iya, Yan. Mas sama Mina saling kenal."        "Tapi ... gimana bisa?" tanya Kian lagi.       Belum juga Lintang menjawab, Mina malah  menimpali pertanyaan Kian dengan rentetan kata-kata panjang. "Mas Lintang, Kian dari tadi ngeyel kalau ini adalah rumahnya. Padahal ini, kan, rumah Mas Lintang! Katanya dia tinggal di sini. Dia pasti bohong, kan? Usir aja dia, Mas!"       "Sebentar ... sebentar ...!" Lintang melanjutkan langkahnya menuruni tangga. "Kita duduk dulu, yuk!" Lintang mengarahkan dua anak SMA itu untuk duduk bersama di ruang tamu.       Setelah semuanya duduk rapi — Lintang duduk pada single sofa, sementara Kian dan Mina duduk pada sofa panjang, namun dengan jarak yang cukup jauh — Lintang melanjutkan niat untuk meluruskan percekcokan antara Kian dan Mina tadi.        "Pertanyaan siapa dulu yang harus dijawab, nih?" tawar Lintang.       "Gue dulu!"       "Aku dulu, Mas!"       Kian dan Mina menjawab hampir bersamaan.        Kepala Lintang mulai keliyengan. "Ya sudah, kalian suit aja, deh!"        Meskipun terlihat ogah - ogahan, Kian dan Mina tetap melakukan perintah Lintang untuk melakukan suit. Hasilnya ... Mina menang.        Mina tersenyum penuh kemenangan karena pertanyaannya akan dijawab duluan oleh Lintang. Sementara Kian misuh - misuh tanpa suara.       Lintang mengawali jawabannya dengan sebuah senyuman khas, dengan lesung pipit di sudut bibirnya. "Iya, Kian memang tinggal di sini, Mina sayang!"       Mina terlihat tidak terima. "Tapi gimana bisa, Mas? Kayaknya dulu Mas Lintang tinggal sendirian, deh?"       "Iya, dulu memang sendirian. Tapi sekarang nggak. Aku tinggal sama adikku -- Kian."       Mina tercengang. "K - Kian adiknya Mas Lintang?"       "Ya, dia adikku!"       Mina menelisik, memperhatikan wajah Kian dan Lintang bergantian. Berusaha mencari mana bagian yang mirip. Sepertinya ... tidak ada. Lagi pula setahu Mina, dulu Lintang tinggal dip anti asuhan. Jadi, bagaimana bisa punya adik? Dan lagi ... bukannya Kian itu adiknya Dion? Kenapa bisa ganti menjadi adik Lintang?       Mina menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Sekiranya garukan itu sedikit terlalu hebat, sampai - sampai kepangnya yang tadi rapi, kini mencuat ke sana - sini.       "Sekarang giliran pertanyaan Kian, ya!" Lintang berdeham. "Tentu aja aku sama Mina saling kenal ...."       Mina menginterupsi. "Tentu aja gue sama Mas Lintang saling kenal!" Mina mengalihkan pandangan pada Lintang. Ia tersenyum malu - malu. "Saat ini gue sama Mas Lintang, kan, sedang menjalin hubungan khusus." Mina kembali mengetuk - ngetukkan kedua jari telunjuknya.       "Hubungan khusus gundulmu!" ketus Kian. Ia kemudian beralih pada Lintang. "Serius, Tang, jawab! Apa yang dibilang sama Mimin nggak bener, kan? Kalian saling kenal bukan karena ... err ... hubungan khusus?"        "MINA BUKAN MIMIN!" bentak Mina.       Lintang hanya tersenyum menanggapi kehebohan dua remaja itu. "Mas dan Mina saling mengenal karena ... karena Mina ini adalah adiknya Ichal."       "Adiknya Ichal?" ulang Kian. "Adik kandung, Tang?" Kian terlihat tidak percaya.       "Iya, adik kandung."        Kian memutar otaknya, berusaha memadu - madankan apa yang pernah ia alami sebelumnya. Pantas saja dulu saat pertama kali bertemu dengan Ichal, rasanya Kian sudah pernah melihat muka - muka seperti itu sebelumnya.       Jadi ... muka si Cupu inilah yang dimaksud oleh Kian. Ya ... memang ada kemiripan pada wajah Ichal dan Mina. Tapi ... ayolah! Ichal itu flamboyan dan perfeksionis. Ia begitu memperhatikan penampilan. Sementara Mina ... astaga!       Bisa jadi Mina adalah produk gagal dalam keluarga mereka. Kian berusaha menahan tawanya mati - matian. Malang sekali nasib si Mina itu.       "Dulu Mina sering banget ikut Ichal ke sini." Lintang lanjut menjelaskan.       "Iya, sekarang aku juga pengen sering ke sini, Mas. Tapi nggak boleh sama Mak Lampir."       Kian semakin mati - matian menahan tertawa. Ia mengerti sekarang Mak Lampir itu siapa. Dan untuk kali ini saja Kian setuju dengan Mina. Ichal memang mirip dengan Mak Lampir.       "Mas bikinin yang seger - seger dulu, ya. Kalian pasti haus, kan, habis pulang sekolah!" Lintang sudah nyaris beranjak.       "Eh, nggak usah, Mas!" cegah Mina.       "Lhoh, kenapa?" Lintang kebingungan.       "Aku cuman bentar kok di sini. Si Kian juga ntar biar bikin minum sendiri. kebiasaan dia, tuh, suka repotin!" cerocos Mina. "Aku mau minta tolong satu hal aja sama Mas Lintang."        Lintang kembali duduk. "Minta tolong apa?"        Mina tersenyum miring.       Perasaan Kian mulai tak enak.       "Begini lho, Mas. Aku mau ngasih tahu apa sebabnya aku bisa ngintil Kian ke mari."       Lintang menaikkan sebelah alis. "Memangnya kenapa?"       Mina melirik Kian. Kali ini ia akan menang lagi. Itu artinya, Kian sudah kalah telak darinya dalam hal apa pun — kecuali kemampuan otak dalam akademis.       Kasihan Kian. Ia sudah pasrah pada nasib yang menurutnya semakin malang saja hari demi hari. Kian menyender lemas pada sandaran sofa.       "Mas Lintang tahu sendiri, kan, aku itu adalah murid yang sangat rajin belajar."        Lintang mengangguk. "Mina emang rajin banget belajar," pujinya.       Mina ikut mengangguk. "Dan Mas Lintang juga tahu sendiri ...." Mina cemberut sedih. "Meskipun aku udah rajin belajar, tapi aku tetep aja bego. Nilaiku nggak pernah bagus. Mak lampir selalu marahin aku tiap habis terima rapot!"       "Mina pinter kok! Pinter itu nggak melulu harus dalam hal akademis. Mina harus ngerti itu," hibur Lintang.      "Iya, sih. Aku emang pinter dalam segala hal kecuali akademis. Sayangnya, Mas. Dalam hidup pelajar, akademis itu penting banget, lho. Rasanya malu diejekin mulu gara - gara bego." Mina melirik Kian sengit. "Untuk itu lah, Mas, aku minta tolong sama Kian buat ngajarin aku. Semacam les privat gitu. Tapi, Mas ... masak Kian nggak mau aku mintain tolong!" Mina memasang wajah sedih yang dibuat - buat.       Kian sudah tak berkutik lagi dalam duduknya. Tubuhnya terasa semakin lemas saja. Mau dikatakan apa lagi? Ia memang sudah kalah telak dari Mina. Karena Kian tidak mungkin akan menolak permintaan tolong itu lagi.       Karena Mina sudah memperalat Lintang, menyabotase Lintang untuk mengaspirasikan permintaan tolong terselubung made in Mina.       "Yan ...." Baru juga Lintang bicara satu kata.       "Iya, Tang, iya!" jawab Kian singkat. Kian tak pernah menyangka. Hanya karena memakan satu kotak berisi telur gulung, ia akan terjerumus dalam takdir yang semengerikan ini.       "Nah, gitu dong! Itu baru namanya adek Mas yang baik!" Lintang mengacungkan jempol.       Mina ikut - ikutan mengacungkan jempol pada Kian. Yang bersangkutan memilih menjatuhkan dirinya, tenggelam di antara tumpukan bantal sofa.       ~~~~~ TM: ROLL EGG - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~        Masya Allah Tabarakallah.        Halo semuanya. Ketemu lagi di cerita saya. Kali ini judulnya Murmuring. Mau tahu kenapa dikasih judul Murmuring? Ikutin terus ceritanya, ya.         Oh iya, selain cerita ini saya punya cerita lain -- yang semuanya sudah komplit -- di akun Dreame / Innovel saya ini.   Mereka adalah:          1. LUA Lounge [ Komplit ]                   2. Behind That Face [ Komplit ]              3. Nami And The Gangsters ( Sequel LUA Lounge ) [ Komplit ]              4. The Gone Twin [ Komplit ]         5. My Sick Partner [ Komplit ]        6. Tokyo Banana [ Komplit ]                7. Melahirkan Anak Setan [ Komplit ]         8. Youtuber Sekarat, Author Gila [ Komplit ]          9. Asmara Samara [ Komplit ]        10. Murmuring [ On - Going ]        11. Genderuwo Ganteng [ On - Going ]        12. Theatre Musical: Roll Egg [ On - Going ]        13. In Memoriam My Dear Husband [ On - Going ]        14. Billionaire Brothers Love Me [ On - Going ]         Jangan lupa pencet love tanda hati warna ungu.       Cukup 1 kali aja ya pencetnya.    Terima kasih. Selamat membaca.         -- T B C --          
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN