Bab 3. Adam

1123 Kata
Infinite Club Dentuman suara musik yang dimainkan oleh DJ menyambut kedatanganku. Setelah hampir satu pekan aku tidak mengunjungi klub malam ini, akhirnya sekali lagi aku menginjakkan kakiku di sini. Perasaan itu aneh sekali karena pikiranku kembali mengingat kejadian memalukan itu dan berhasil membuatku juga kehilangan Bryan, sahabatku. Hal ini masih menjadi satu pertanyaan. “Di mana mereka?” ucapku sambil melihat kanan dan kiri untuk mencari keberadaan Naira, pengacara cantik yang baru saja memulai tugasnya tadi pagi. Seseorang menepuk pundakku dari arah belakang, membuat aku berbalik badan dan aku melihat Naira bersama rekan sejawatnya sedang menatapku heran. “Dokter Adam, ngapain kesini?” Naira bertanya padaku. Aku mengacuhkan pertanyaannya karena sibuk menormalkan detakan jantungku sendiri yang sepertinya sedang bekerja di luar nalar sekarang. “Dokter—” “Panggil aku Adam saja.” Dengan cepat aku menyela ucapannya. Lantas, aku tarik gadis cantik itu menuju ke satu tempat yang agak jauh dari tatapan para pengunjung lainnya. “Kamu kenapa nekat banget datang ke tempat seperti ini, Naira?” Aku lemparkan pertanyaan setelah kami berada cukup jauh dari dari lantai dansa. “Aku ingin mencari petunjuk yang bisa memihakmu,” jawab Naira ringan. “Naira, dengerin aku! Miranda itu bukan wanita sembarangan dan aku minta padamu agar berhenti menyelidikinya.” Aku sangat berharap agar Naira mau mendengarkanku karena aku tidak mau gadis cantik itu disakiti. Kehilangan Bryan saja sudah cukup membuat aku pusing. Jangan sampai Naira juga mendapatkan akhir yang sama seperti Bryan. Ini semua karena aku yakin jika kehilangan Bryan pasti ada hubungannya dengan kasus yang saat ini sedang menjeratku. “Adam, aku sama Belly, juga Pak Rustam, cuma punya waktu dua hari untuk membuktikan kamu tidak bersalah dan jika kami gagal—” “Maka rumah sakit akan memecatku, hm?” Kupegang kedua sisi wajah cantik itu dan memintanya untuk menatap mataku. “Percaya padaku, mereka tidak akan pernah bisa memecatku dari jabatanku saat ini,” ucapku meyakinkan Naira, tetapi gadis itu menggeleng cepat. “Itu sama saja kita tunduk pada sebuah kejahatan, aku tidak mau itu terjadi. Meskipun nyawaku jadi taruhannya!” lugas Naira tanpa ragu sedikit pun. Aku mengerti, sebagai penegak hukum yang sangat menjunjung tinggi nilai keadilan, pasti sangat sulit buat Naira tunduk pada sebuah kejahatan. Aku bisa melihat semangatnya yang berkoar-koar dari kilatan matanya, tetapi ini bukan saat yang tepat. “Bagaimana jika aku benar melakukan pelecehan seperti yang dituduh? Apa kamu masih mau membelaku, hm?” Kutatap wajahnya yang tidak menunjukkan ekspresi apa pun. “Jadi kamu benar melakukan pelecehan?” “Aku bilang ‘bagaimana jika aku benar melakukannya'!” balasku. Aku lihat Naira menggeleng pelan dan menepis kedua tanganku, lantas pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Aku kira dia sudah percaya sama semua omonganku barusan jika aku benar melakukan pelecehan itu. Lebih baik begini, lebih baik Naira percaya jika aku benar bersalah, dengan begitu aku bisa melindunginya. ‘Maaf Naira,’ batinku dalam diam sambil memperhatikan punggung Naira yang sudah menjauh dariku. Entah mengapa, pertama kali Naira mendatangi ruangan praktikku, aku merasa tidak asing dengan gadis cantik itu. Mungkin terdengar sedikit aneh, tetapi aku nyaman berada dekat dengannya meski baru pertama kali bertemu. “Aku juga harus pergi dari sini,” gumamku dan mulai mengatur langkah menuju arah pintu keluar. Tanpa sengaja, aku menangkap satu sosok yang begitu mencurigakan. Penasaran dengan kelakuan anehnya, aku akhirnya memutuskan membuntuti pria yang mengenakan hoodie hitam itu. Hingga ia keluar dan aku menyadari jika sosok mencurigakan itu sedang membuntut Naira dan Belly. “Naira!!” panggilku dengan lantang. Di saat Naira membalikkan tubuhnya mengahadapku, sosok mencurigakan itu lantas menukar arahnya dan berlalu melewatiku dengan menarik hoodie untuk menutupi wajahnya. “Ada apa?” Naira mengerutkan dahinya tidak mengerti dengan tindakanku yang sepertinya sedang mencemaskannya. “Belly, kamu pulang sendiri saja, Naira aman bersamaku!” perintahku seenaknya pada teman satu kantor Naira. Tidak membantah maupun bertanya, Belly mengangguk kecil, “Naira, aku duluan, ya!” pamitnya pada Naira. “Kamu tinggal di mana, Nai?” Aku menanyakan tempat tinggalnya setelah Belly menjauh. “Aku ngontrak di sini,” ucapnya sambil menunjukkan alamat kontrakannya padaku. Ternyata Naira tinggal di daerah di Kemayoran, aku tidak bisa membiarkannya pulang malam ini. Itu bisa berbahaya sekali melihat seseorang yang membuntutinya tadi dan membuatku meragukan keamanannya jika tinggal sendiri. “Ayo!” Kutarik pergelangan tangannya menuju pelataran parkir. Setelah melabuhkan b****g dengan aman di dalam mobil aku, mulai menyalakan mesin dan perlahan meninggalkan pekarangan klub malam itu. “Malam ini kau harus berpindah ke penthouse-ku,” perintahku pada Naira sambil sesekali aku melirik kaca spion sudut pandang belakang. “Maaf?! Kenapa aku harus berpindah ke penthouse-mu?” Naira bertanya dengan nada kurang senang. Aku mengerti kekhawatirannya itu. “Tenang, kamu akan menempati unit di hadapan unit hunianku, jadi kamu tidak usah cemas jika kamu berpikir aku akan melecehkanmu.” Di saat Naira ingin membalas ucapanku, ponselku bergetar dan ada panggilan masuk. Lantas tanganku menerima panggilan itu lewat earphone wireless yang aku kenakan setiap kali aku berkendara. “Halo?" “Dok! Ke rumah sakit sekarang, Dok! IGD saat ini dipenuhi oleh korban kecelakaan beruntun! keadaan darurat sekali!.” Aku lantas mematikan sambungan dan menukar arah mobil menuju ke rumah sakit tempat aku praktik. “Adam! Kamu mau menangani pasien?” Naira menatap tidak percaya padaku dan aku hanya bisa mengangguk kecil sebagai jawaban. “Kamu tidak bisa menangani pasien, Adam! Kamu sekarang sedang dalam penangguhan pekerjaan! Jangan lupakan itu!” Naira memperingatkanku pada kondisiku saat ini dan tidak pernah melupakan itu. “Apakah menangani pasien sebuah dosa?” balik aku bertanya padanya. “Adam, jika kasus yang menjerat mu saat ini benar adalah sebuah jebakan. Musuhmu akan mencari cara agar kamu tidak bisa praktik selamanya dengan melaporkan tindakan yang melanggar fase penangguhan pekerjaan! Kamu mau?!” Jelas Naira. “Kamu mau surat izin praktik kamu dicabut?” Naira menekan dan mengancamku dengan sebuah fakta yang bagaikan momok bagi para tenaga medis yang melakukan pelanggaran. “Naira, kamu tau kenapa aku ingin menjadi seorang dokter? Itu karena aku mau menyelamatkan banyak orang tanpa mengira latar belakang mereka. Jika aku tidak diizinkan untuk melakukan pekerjaanku. Lebih baik surat izin praktik aku dicabut saja!” Aku kesal. Bukan kepada Naira, tetapi lebih kepada kesal dengan kondisi aku saat ini yang terbatas untuk melaksanakan kewajibanku sebagai seorang dokter yang harus mengutamakan pasien. “Adam, maaf tapi—” “Naira, aku tau kamu mencemaskanku, tapi aku berjanji sama kamu. Aku tidak akan menyentuh pasien dan hanya memberikan perintah agar dokter konsulen di sana bisa menggantikanku,” janjiku pada Naira. Dan sepertinya Naira lelah adu argumen denganku sehingga aku melihat gadis itu mengangguk kecil. “Kamu harus menepati omongan-mu! Jangan menambah berat kasus ini!” ucapnya kemudian. ‘Maaf Naira,’ kalimat itu hanya bisa aku gaungkan di dalam hatiku saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN