Meisya senang begitu mendapatkan bonus dari dosennya atas project yang mereka kerjakan. Nafkah yang diberi Mario selama ini lebih dari cukup, namun tentu beda rasanya jika dia bisa menghasilkan uang sendiri.
Meisya sedang memikirkan beberapa hal yang akan dia lakukan untuk ke depannya. Meisya ingin membuka usaha. Di samping itu, dia juga membuka diri jika ada tawaran dari orang-orang atau dosennya untuk suatu hal yang bisa dikerjakan olehnya. Meisya duduk di meja rias dengan sebuah ponsel di tangannya dan beberapa peralatan sketsa di depannya. Adya sudah tidur lebih awal, jadi dia bisa melakukan sesuatu yang dari tadi ada di dalam pikirannya.
Saat ini, Meisya tengah mengecek jumlah tabungan yang dia miliki sejak menikah dengan Mario. Dia memang selalu menyisihkan uang untuk ditabungkan untuk rencana masa depan keluarga dan juga tabungan pribadinya sendiri, serta tabungan pendidikan untuk Adya. Yang dicek Meisya saat ini adalah bentuk nafkah khusus dari Mario untuknya. Suaminya itu memberikan nafkah kepada Meisya 2 kali dalam sebulan, yaitu nafkah keluarga yang digunakan Meisya untuk keperluan sehari-hari dan juga Adya, lalu nafkah kebutuhan yang Mario khusus berikan untuk kebutuhan pribadi istrinya, semisal untuk perawatan, berbelanja dan sebagainya. Syukur lah Meisya mempunyai suami yang berada dan lebih dari mampu untuk membiayai kehidupannya dengan sang anak. Sedangkan ada banyak suami di luar sana yang berpenghasilan lebih dari cukup, tapi tak peduli dengan kebutuhan istri.
Sudut bibir Meisya mengembang begitu melihat nominal yang tertera pada layar ponselnya. Ada sekitar 250 juta rupiah. Nominal yang sangat besar bagi Meisya. Dia tidak pernah mengecek rekening yang dibuatnya tanpa sepengetahuan suaminya itu selama ini. Baru kali ini dia melakukannya.
Dari ponselnya, pandangan Meisya beralih pada gambar sketsa yang berada di atas meja. Bermula dari keisengan mengisi waktu senggang di saat hamil hingga saat ini, Meisya bisa mencoba untuk menggambar desain baju. Walau menurutnya sketsa yang dibuatnya masih sangat biasa, Meisya jadi berniat untuk membuka usaha butik sederhana hasil rancangannya sendiri. Semoga saja bisa terwujud.
Apa gue sewa ruko biasa dulu aja kali, ya?
Jemari tangan Meisya mulai membuka tanda browser pada ponselnya untuk melihat-lihat harga sewa ruko.
"Lagi ngapain, Sayang?"
Meisya sontak menoleh ketika merasakan pelukan pada lehernya dari belakang dengan kecupan di kepalanya. Dia menutup halaman browser di ponselnya dan memutar bangku tempat duduknya agar menghadap kepada suaminya.
"Udah pulang aja? Katanya lembur."
Mario mengecup bibir istrinya itu sekilas. "Udah kangen sama kamu. Nggak fokus kerja. Bawaannya pengen cepat pulang aja ketemu istri cantik aku."
Meisya mencibir. Sudah biasa digombali oleh suaminya.
"Mau makan atau mau aku siapin air buat mandi dulu?"
"Mau makan."
"Oke. Aku siapin dulu."
Mario menahan lengan Meisya ketika istrinya itu hendak beranjak pergi. Dia menatap istrinya itu dengan tatapan nakal.
"Mau makan kamu maksudnya, Sayang... "
Meisya menjitak pelan kening suaminya itu. "Otaknya m***m mulu! Kembali kayak dulu lagi, hmm?"
Mario terkekeh.
"m***m sama istri sendiri nggak apa-apa, 'kan? Cuma sama kamu doang aku begini."
***
Hubungan Meisya dan Mario semakin hari tambah harmonis. Setiap harinya, rasa cinta yang dimiliki Mario untuk Meisya juga kian bertambah. Apa lagi mereka juga mempunyai buah hati bukti cinta mereka berdua. Bukan Mario saja yang mengaku kalau sudah menyukai Meisya dari dulu, istrinya itu juga sudah tak malu lagi mengakuinya.
Dulu memang Meisya merasa sedih, kesal dan marah di saat Mario menjadikannya b***k seks lelaki itu. Di sisi lain, dia beberapa kali merasa terbawa perasaan ketika Mario memperlakukannya secara lembut. Walau dia tahunya waktu itu Mario melakukan hal tersebut padanya tanpa rasa, Meisya tetap saja kadang merasa getaran di dalam hatinya. Meisya sadar jika dirinya menyukai Mario dari dulu, namun dia menampiknya karena rasa kesalnya pada lelaki itu. Ditambah lagi dengan status lelaki itu sebagai kekasih dari sahabatnya sendiri--Pelangi. Makanya, Meisya sama sekali tidak pernah berharap kepada Mario. Lagi pula, jika dia berharap, dia hanya akan mendapatkan luka. Mario sama sekali tak meliriknya waktu dulu. Mario hanya akan menatapnya ketika mereka berada di atas ranjang.
Mario berjanji pada dirinya sendiri untuk tak lagi menyakiti hati perempuan yang begitu dicintainya itu. Butuh waktu lama bagi Mario untuk bisa berada dalam kondisi seperti saat ini--hidup berumah tangga yang sesungguhnya. Dengan Meisya yang tak bersikap dingin lagi kepadanya. Mario tak akan menyia-nyiakan semua ini mengingat bagaimana proses perjuangannya untuk meraih hati sang istri yang sempat dilukainya sebelum mereka menikah.
Ada hal lain juga yang membuat Mario senang saat ini. Tepat seminggu setelah pulang honeymoon, Mario therapi dan 2 minggu setelahnya, Mario sudah bisa berjalan tanpa menggunakan kruk lagi. Mario lega. Awalnya dia mengira akan menggunakan alat bantu itu selama bertahun-tahun. Ternyata, belum cukup 2 tahun, Mario sudah bisa melepaskannya. Mario berterima kasih kepada sang istri yang telah menemani dan tak meninggalkannya walau keadaannya tak kunjung membaik pasca kecelakaan.
***
"Ada bunyi bel kayaknya, aku buka pintu dulu," ujar Mario kepada Meisya. Mereka berdua sedang berada di ruang keluarga dengan Adya yang tertidur di depan TV usai bermain dengan Mario.
"Biar aku aja."
"Bi, tolong pindahin Adya ke kamar, ya! Kamar bermain aja, terus tolong temenin tidur di sana," ujar Meisya sebelum beranjak kepada baby sitter yang baru saja keluar dari kamar di dekat dapur.
Meisya meminta baby sitter-nya untuk memindahkan Adya ke kamar karena dia masih ingin berbicara dengan Mario. Meisya ingin menyampaikan niatnya yang ingin membuka usaha butik kepada suaminya itu.
Ketika Meisya membuka pintu rumahnya, dia mendapati seorang perempuan yang tengah menggendong seorang bayi. Kening Meisya berkerut. Meisya rasanya pernah melihat perempuan itu, tapi lupa entah di mana.
"Apa ini rumahnya Mario?" tanya perempuan itu kepada Meisya.
"Iya. Mbak siapa?"
Perempuan itu mengulurkan tangannya. "Kenalin, gue Sonya, mantan pacarnya Mario. Umm, sepertinya kita pernah bertemu?"
Meisya langsung ingat ketika perempuan itu menyebutkan namanya. Tak butuh lama baginya untuk mengingat nama itu kembali. Bagaimana tidak? Nama perempuan itu beberapa kali disebut oleh Mario dulu.
"Siapa yang dateng, Yang?" Mario menyusul Meisya ke depan pintu karena istrinya itu tak kunjung kembali ke ruang keluarga. Seketika, matanya membola melihat perempuan yang tengah berdiri di hadapan mereka.
"Ngapain lo ke sini?" tanyanya ketus. Sudah lama dia memutuskan komunikasi dengan perempuan yang bernama Sonya itu.
"Ini, mau anterin bayi ketemu papanya."
"Maksud lo apa?" tanya Mario dengan mata menyipit.
"Bayi ini anak kita, Yo. Lo nggak lupa sama apa yang sering kita lakuin, bukan?"
Meisya dan Mario sama-sama terkejut mendengarnya. Apalagi Meisya, pikirannya sudah negatif terhadap Mario. Apa suaminya itu masih belum berubah?
"Sya, aku bisa jelasin," ucap Mario sembari memegang lengan Meisya. Ekspresi wajah istrinya itu sulit untuk diartikan. Mario takut, khawatir Meisya akan terpengaruh dengan ucapan Sonya. Tidak, Mario tidak mau Meisya sampai meninggalkannya gara-gara kehadiran Sonya dan bayi itu.