"Dengan hati-hati mereka berusaha untuk menyelidikinya."
*****
Steven pun akhirnya mau ikut Papinya untuk mencari keberadaan asal manusia kanibal itu. Harry dan Steven mengatakan itu kepada istrinya lebih dulu.
"Mi, Papi sama Steven pergi dulu ya," ucap Harry kepada Istrinya yang sedang menyusui anak mereka. Estel yang berada di sampingnya langsung saja turun Dan berdiri di hadapan Papinya.
"Estel mau ikut, Pi."
"Estel kali ini Papi enggak bisa ajak kamu dulu. Papi harus pergi sama Kakak kamu. Jadi, kamu di sini harus nurut sama, Mami dulu."
"Tapi, Pi biasanya Papi ajak Estel kenapa sekarang kakak. Apa karena aku kemarin yang nyaris—"
Harry dengan cepat memotong ucapan Estel. Ketika ingat itu rasanya sudah membuat Harry hampir lagi kehilangan anaknya. Untung saja Harry langsung membawa pulang anaknya dan mengurusnya. Walaupun hanya sedikit cakaran, tetap saja. Kalau dibiarkan terlalu lama racunnya bisa menyebar dan bisa berujung kepada kematian. Itulah yang Harry simpulkan. Untung saja dia juga menemukan tanaman yang memang bisa membantu sedikit demi sedikit Luka dari monster itu. Sekarang dia hanya perlu mencari tahu lebih untuk bisa menghancurkan monster itu.
"Kamu tidak perlu ikut, Estel Papi yang akan pergi dengan Kakak kamu. Kalau waktunya kamu yang ikut pasti Papi akan ajak. Lebih baik kamu belajar dengan Mami saja. Dan bantu Mami untuk jaga adik," jelas Harry tegas. Estel pun menunduk. Ketika Papinya sudah berkata demikian Estel hanya bisa menurut tidak ada yang bisa dia bantah dari pada Papinya marah.
"Angel, kamu jaga Estel jangan sampai lengah dengan anak ini."
"Aku akan melakukan yang terbaik. Kamu hati-hati ya. Dunia luar terlalu berbahaya."
"Aku akan selalu hati-hati jadi kamu juga harus hati-hati ya." Angelina mengangguk. Steven dan Harry pun kemudian ke luar. Membuka pintu atas mereka yang lumayan kuat. Pintu itu memang sudah dirancang Harry sedemikian rupa agar mereka aman di rumah bawah tanah itu. Hanya itu tempat perlindungan mereka saat ini.
"Stev, kamu bawa alat ini," ucap Steven memberikan sebuah peluit yang entah apa gunanya.
"Untuk apa, Pi?" tanya Steven lagi.
"Papi pernah mencoba dengan alat ini. Jika monster itu sangat dekat gunakan ini letakkan di telinganya. Tepat ditelinga. Mungkin ini belum bisa berfungsi jika monster itu datang lebih dari satu. Tapi, intinya kita harus tetap berjaga kamu paham," jelas Harry dengan serius.
"Paham, Pi. Kalau begitu kenapa kita tidak menyediakan ini yang banyak?"
"Tidak. Papi masih mencari cara yang lain agar dapat dengan mudah menghancurkan mereka." Steven mengangguk setuju. Mereka berjalan dengan kaki yang tidak menggunakan sendal. Sering kali kali.mereka tertusuk paku, beling ataupun duri tapi sakitnya tidak terlalu dari pada mereka harus menghadapi monster menyeramkan itu.
Mereka sampai di belakang rumah tadi. Tempat di mana Steven dan Maminya akan mencuci piring, "Di mana? Kata kamu tadi ada di sini." Steven menggelengkan kepalanya.
"Bukan di sini, Pi. Tadi aku lihat mereka itu ada di belakang rumah sana. Waktu aku ambil alat timba mereka ada 3 orang. Walaupun ada satu orang yang tadi hampir ke sini," ucap Steven lagi.
Mereka berbicara sangat pelan. Tidak mungkin mereka berbicara sangat kencang apalagi saat ini mereka sedang diancam Oleh dua makhluk berbahaya sekaligus. Satu monster Dan satu lagi manusia kanibal.
"Yaudah ayo kita cari ke sana." Steven mengiyakkan kemudian mereka berjalan lagi.
Sampai di sana mereka melihat lagi, ternyata tidak ada siapapun. Hany ada semak-semak yang bergoyang tertiup angin. "Tidak ada juga. Apa mereka sudah pergi?"
"Entahlah, Pi. Yang pasti aku melihat mereka tadi di sana." Tunjuk Steven ke arah sana. Tapi, ternyata tidak ada apapun di sana.
"Yaudah waktu it kamu lihat mereka lagi di mana?" tanya Harry.
"Sewaktu kita cari ikan, Pi. Mereka ada di jalan arah menuju sana. Teringat itu, saat Paman Werd dimakan oleh manusia itu." Harry mengelus kepala anaknya. Lalu, dia menggandeng anaknya untuk ke sana.
"Pi, kalau ada gimana?" tanya Steven menahan mereka untuk pergi.
"Steven tenang aja. Papi, akan tetap menjaga kamu. Kamu percaya 'kan sama Papi." Steven mengangguk. Mereka pun berjalan menyusuri hutan-hutan pelantara yang banyak sekali rumput ilalang yang tinggi. Sebenarnya dunia mereka semakin berbahaya. Steven takut kalau manusia kanibal itu muncul. Mereka tidak tampak mengerikan, mereka tetaplah manusia walaupun dengan wajah yang aneh. Tapi, orang tidak akan menyangka kalau mereka manusia kanibal.
"Pi suara itu," ucap Steven berbisik. Suara itu asalnya dari monster yang biasanya. Biasanya monster itu akan berbunyi setelah melahap mangsanya. Dan itu artinya monster itu tidak jauh dari tempatnya berada. Karena suara itupun tidak jauh.
"Kamu tenang. Kita sudah melewati banyak rintangan. Kita sudah tahu cara menjaga jadi kamu jangan panik," ucap Harry menggegam tangan anaknya. Dia memastikan kanan kirinya aman dan tetap berjalan dengan pelan.
"Pi suaranya lebih dekat," ucap Steven lagi. Keringat sudah menetes was-was monster itu muncul di hadapannya.
"Everything gonna be alright," ucap Papinya meyakinkan Steven. Steven anak laki-laki pertama seharusnya dia menjadi pemberani tapi setiap bersama Papinya dia merasa takut, takut kalau Papinya yang menjadi korban.
Mereka tiba-tiba terkejut kala semak-semak yang berada di depannya. Mereka mundur perlahan-lahan. Jantung Steven sudah berdetak sangat kencang. Tapi, mereka tetap berjalan mundur.
Hingga Akhirnya.....
Srek....
Seseorang dengan darah mengalir dari pelipisnya. Harry menyembunyikan Steven di belakang tubuhnya. "Pi, aku takut," bisik Steven di menutup matanya di belakang punggung Papinya.
"Tenang, Steven kamu enggak papa kok. Di sini ada Papi."
"Tolong...."
"Kamu siapa," ucap Harry dengan suara pelan. Dia masih harus menjaga jarak dengan orang itu. Kita tidak tahu siapa dia dan jangan mudah percaya juga. Apalagi sedang dalam kondisi seperti ini.
"Tolong saya," ucap orang itu.
"Anak saya...." Wanita itu sambil menunjuk ke arah semak-semak sana. Harry mengerutkan keningnya.
"Anak saya ... Anak saya...." Harry mendekat. Harry pun memilih mendekat untuk menenangkan wanita itu. Kalau wanita itu semakin berisik yang ada monster itu malah ke sini.
"Tolong anak saya...."
"Tenang, Ibu tenang ada apa? Saya bisa membantu asal Ibu jangan berisik. Yang ada nanti kita jadi mangsa selanjutnya." Harry berjalan pelan ke arah Ibu itu. Steven sudah berusaha untuk mencegah tapi tetap saja Papinya malah semakin menghampiri wanita itu.
"Pi, jangan udah kita pergi aja ayo," ucap Steven menarik baju Papinya.
"Tenang Kita harus membantu, Stev."
"Tapi, bagaimana kalau malah itu jebakan. Ayo kita pergi saja," ucap Steven lagi.
"Percaya saja ayo, Stev."
"Tolong anak saya di sana. Di sana anak saya diterkam monster," ucap Ibu itu menangis agak keras. Kalau terus menerus wanita itu menangis yang ada monster itu malah datang dan menghabiskan mereka semua.
"Tolong buruan anak saya."
"Ibu tenang. Kalau semakin berisik yang ada monster itu makin datang."
"Saya enggak peduli. Pokoknya anak saya enggak ada saya juga harus mati."
"Pi, takut."
"Saya akan teriak. Saya enggak peduli harus mati. Saya ingin bersama anak saya."
"Pa ayo pergi. Suara monster itu sudah terdengar ke sini. Ayo, Pa." Steven terus menarik tangan Papinya untuk pergi. Harry pun langsung menggendong anaknya kala monster besar dengan tubuh yang menyeramkan langsung menerjang wanita itu. Untung saja langkah Harry cepat. Dia langsung bersembunyi di balik pohon, menutup kepala anaknya erat. Harry terengah-engah.
Harry melihat ke arah belakang. Terlihat wanita itu sudah tercabik-cabik. Jantungnya berdetak begitu cepat. Jangan sampai, mereka terlihat.
....
Lima menit kemudian setelah wanita habis dimakan monster itu dengan tidak tersisa. Mereka ke luar. "Steven kalau melihat wanita tadi dengan tubuh yang tersisa kamu tidak perlu panik ya."
"Pi, takut...." Steven masih belum mau untuk melihat ke arah depan. Harry tetap menggandeng anaknya.
Bau anyir dari darah manusia yang telah dimangsa monster itupun tercium di hidung Steven, "Pi itu...."
"Salah dia sendiri, Stev. Kita sudah ingin menyelamatkan tapi dia malah memilih mengakhiri hidupnya. Sudah ayo kita pergi. Kita cari lagi tempat manusia-manusia itu," ucap Harry menggadeng Steven untuk membawanya pergi.
Di tengah jalan dia menemukan lagi tulang yang tersisa serta darah yang masih bau anyir. Sepertinya monster itu baru memangsa manusia lagi entah siapa. Atau anak dari Ibu tadi.
"Pi itu ada tulang lagi," ucap Steven kepada Papinya menunjuk ke arah yang tadi sudah dilihat oleh Harry.
"Iya, sudah biarkan saja. Stev, kita mah cari ke sungai yang biasa kita cari ikan dulu? Sepertinya kita bisa menunggu di sana. Lagipun, kamu tidak tahu kan asal manusia aneh itu?" tanya Harry lagi.
"Tidak, Pi. Yasudah kita ke sana saja." Harry mengangguk. Kemudian mereka pun segera untuk menuju ke sungai saja. Siapa tahu dengan menunggu di sana mereka datang dan Harry bisa mengikuti mereka.
......
Sampai di sungai hanya terdengar suara air yang kencang. Di sini kita bisa berbicara layaknya sebelum kejadian ini semua. Tadinya, Harry berfikir untuk membawa keluarganya untuk tinggal di dekat sini saja. Tapi, terlalu berbahaya. Aliran sungai di sini sangat kencang tidak menutup kemungkinan saat banjir air akan membludak.
"Kamu bertemu seseorang yang katanya Paman Werd di sini 'kan?" tanya Harry lagi.
"Iya, sewaktu aku mencari ikan dia memanggil ku dengan bising. Aku kira di sini akan terdengar monster itu dan membuatku mati karenanya. Tapi, ternyata malah aku yang membuatnya mati."
"Bukan kamu yang membuatnya mati tapi memang sudah takdirnya."
"Seandainya dia tidak membantuku tidak mungkin dia mati, Pi. Aku cuma membuatnya mati secara sia-sia. Dia tidak kenal kepadaku tapi dia membantuku. Bukankah terlihat egois?"
"Tidak, mungkin dia berfikir kamu masih punya keluarga. Dia tahu 'kan kalau kamu tinggal bersama keluarga."
"Tahu, Pi," jawab Steven lagi.
"Terus di mana keluarganya?" tanya Harry lagi. Kalau laki-laki itu membantunya itu artinya dia juga akan dicari oleh keluarganya bukan?
"Dia dan keluarganya sudah mati lebih dulu. Dia bahkan berjanji dengan istrinya untuk tetap bertahan dalam keadaan apapun tapi dia malah menolongku bagaimana janjinya dengan istrinya, Pi? Apakah aku jadi seorang pembunuh?"
"Tidak sayang. Kamu bukan pembunuh. Keluarganya sudah mati. Dia frustasi tidak ada yang bisa bersamanya. Bahkan kita tidak tahu di saat seperti ini siapa saja makhluk yang masih bertahan. Mereka pasti sibuk menyelamatkan dirinya dan keluarganya. Apabila mereka kehilangan semuanya, pasti pilihannya ada dua bertahan dengan kesendirian atau lebih memilih mengakhiri sendiri atau mengorbankan dirinya untuk orang lain untuk tetap hidup. Dan Paman Werd mu itu memilih untuk mengorbankan dirinya untuk orang lain. Mungkin dia merasa dia sudah tidak bersama siapapun di sini jadi untuk apa dia hidup," jelas Harry. Itu hanyalah pemikiran dari Harry. Sisanya dia juga tidak tahu mengapa laki-laki itu baru kenal tapi sudah mengorbankan dirinya sendiri untuk menyelamatkan Steven.
"Steven selalu merasa bersalah, Pi. Hanya tombak ini yang Paman Werd berikan. Hanya tongkat ini yang beliau katakan untuk selalu menyimpannya."
"Nah, kalau begitu kamu harus simpan ini dengan baik. Mumgkin Paman Werd mu melihat dari sana," ucap Harry menunjuk ke arah langit untuk menghibur anaknya, "Lalu dia bahagia sudah tidak merasa kesepian lagi di sini," lanjut Harry.
"Tapi, sampai kapan kita harus ada dikondisi seperti ini. Kita tidak tahu berapa jumlah monster tersebut apalagi manusia kanibal itu." Harry terdiam dia juga tidak tahu kapan ini semua berakhir. Tapi, dia sedang mencari cara kalau monster itu pasti bisa untuk dimusnahkan.
"Tidak tahu, Stev. Tapi, kamu tenang saja selama Papi dan Mami ada kita semua akan saling menjaga satu sama lain."
"Bahkan saat Violine terterkam sama tidak ada dari kita yang membantu malah diam membatu. Padahal, Violine berteriak meminta tolong." Harry menutup matanya. Ya, dia juga ingat waktu anak keduanya meninggal. Mereka semua tidak bisa membantu padahal bisa saja, Harry mengalihkan monster itu. Tapi, mereka semua malah membatu.
"Tapi, setidaknya Kakakmu di sana lebih bahagia dan aman dari pada di sini. Jadi, kita ambil saja sisi positifnya, Stev." Steven menghela napasnya. Dia melihat lagi ke arah belakang, dia tidak boleh lengah. Takut, kalau mereka.asyik dengan pembicaraan mereka manusia itu sudah datang dan malah membuat kegaduhan dengan menerkam Steven dan Harry di sana.
"Lama sekali. Apa kita cari tempat yang lain aja?" tanya Harry lagi.
"Seharusnya mereka sudah berada di sini. Waktu itu saat aku dan Paman Werd sudah pulang di saat seperti ini dan berjalan belum terlalu jauh mereka datang. Dan menghabisi Paman Werd. Harry mengangguk-angguk kepalanya. Dia sungguh penasaran, kenapa manusia kanibal itu juga ada di tempat seperti ini di tengah munculnya monster-monster. Dia harus menyelesaikan satu persatu kalau monster sangat sulit untuk di hancurkan maka dia akan menghancurkan manusia kanibal itu. Dia akan membuat keluarganya aman bagaimana pun caranya. Semoga saja manusia kanibal itu sama seperti dirinya atau tidak terlalu besar sehingga Harry bisa membunuhnya.
.....