"Entah semua merasakan atau hanya salah satunya."
*****
Anjing yang talinya dipegang oleh Steven tiba-tiba melarikan diri. Dia mengendus-ngendus seperti mencari sesuatu. Steven mencoba mengambil Anjing itu tapi Anjing itu cepat sekali perginya.
"Stev talinya diinjek aja," ucap Harry. Steven mengangguk lantas menginjak Tali itu. Sudah diinjak tali itu malah terlepas dan Anjing mereka kabur.
"Yah Anjingnya kabur, Pi."
"Yaudah biarin aja." Harry menjawab dengan santai. Lagian kalau sudah kabur mau diapain lagi.
"Iya," jawab Steven. Mereka berjalan lagi agak menjauh terasa sudah sangat jauh mereka jalan. Harry merasa ini saat yang tepat untuk mencoba alat mereka.
"Papi akan coba alat ini di sini. Papi rasa di sini udah jauh."
"Tunggu, Om. Saya menyarankan jangan di sini. Di sana ada sungai, di sana ada jurang. Kalau situasi darurat takut nanti kita lari menyebar dan malah jatuh ke jurang atau sungai itu. Bukankah lebih baik kita mencoba alat ini di tempat lapang. Yang ada tempat persembunyiaan untuk kita. Jadi saya rasa di sini enggak aman." Harry melihat kanan-kiri yang ditunjuk oleh Joe. Apa kata Joe benar juga. Kalau situasi darurat yang ada malah membahayakan untuk mereka.
"Berarti kita jalan lagi, dong?" tanya Estel.
"Ya, Estel mau tidak mau kita harus jalan lagi."
"Tuan apa sebaiknya kita tidak istirahat dulu. Hari sudah semakin malam. Besok kita lanjutkan lagi, tapi ini hanya saran saja kalau kita mau Jalan lagi tidak apa." Lili merasa tenaganya sudah sangat lelah. Joe melihat raut wajah Lili sudah pucat.
"Em, kayaknya kita istirahat dulu ya, Om di sini." Joe pun sependapat dengan Lili. Dari pada kita melanjutkan perjalanan tapi malah kita yang tidak vit percuma.
....
"Hoiii ... Ada monster tidak jauh dari tempat kita. Cepat sembunyi atau jangan menimbulkan suara apapun." Angelina yang mendengarnya pun terkejut. Bukan hanya Angelina mereka yakin semuanya.
"Di mana?" tanya salah satu.
"Di turunan bawah bukit. Tadi, aku sedang mencari makanan tempat di sana sudah kacau. Entah siapa korban malang yang tewas Oleh monster itu. Mending kita masuk semua ke dalam." Angelina langsung menghampiri laki-laki itu.
"Di mana? Saya mau lihat ke sana."
"Jangan, Bu di sana sangat bahaya. Mending Ibu sama anak Ibu buruan masuk ke dalam. Kita mau ambil barang-barang buat jaga-jaga."
"Tapi, keluarga saya lagi ada di luar semua. Saya mau lihat kalau itu bukan keluarga saya."
"Bu udah tenang saya yakin keluarga Ibu baik-baik aja di luar sana. Ayo masuk ke dalam." Mereka pun terpaksa menarik Angelina bersama anaknya.
Gorge dan istrinya yang melihat pun menghampiri Angelina membantu perempuan itu untuk masuk ke dalam, "Riska kamu bujuk Angelina untuk masuk saya yang akan bawa anaknya."
"Iya, Gorge." Mereka pun langsung menghampiri Angelina yang meminta untuk menyusul keluarganya.
"Angelin, ayo masuk dulu. Suami kamu pasti enggak papa. Ayo buruan masuk."
"Enggak, Gorge. Aku mau ikut suami ku aja. Kalau suamiku pergi aku bakal ikut pergi untuk apa aku di sini sedangkan keluargaku mati."
"Angel. Dengerin belum tentu mereka mati. Kalau kamu mati mereka tidak sama saja percuma. Mending ayo masuk dulu. Kalau kamu mati, kasian anak kamu yang bayi. Ayo buruan masuk." Angelina pun mau tidak mau luluh karena kasihan dengan bayinya. Semua orang berpencar masih untuk membawa masuk alat yang bisa mereka gunakan.
Dulu pernah ada kejadian saat monster itu pada akhirnya tidak pergi dan berdiam diri tidak jauh dari desa terpencil mereka. Mereka harus sangat hati-hati dalam mengambil sesuatu takut nanti memunculkan suara dan terdengar.
Angelina sudah masuk ke dalam. Anaknya masih dibawa oleh Gorge, hanya tangisan pelan yang berusaha Angelina tahan. Dia tidak mau kalau orang-orang ternganggu dengan tangisannya. Sedangkan yang lain malah melihat Angelin iba.
"Angel, anak kamu kayaknya Haus." Angelina menoleh melihat bayinya yang digendong Gorge. Dia mengambil alih anaknya. Dan menyusui anaknya.
Angelina melihat raut wajah anaknya. Dia merasa kasihan dengan Evelin. Evelin telah berjuang sejauh ini. Anaknya ini sangat kuat selama di dalam peti saat mereka bawa pun anaknya tetap hidup. Sunggu Tuhan menghadirkan anak yang kuat saat bersamanya. Semoga saja anaknya yang lain yang sedang bersama Papinya pun mereka kuat.
"Angel, kamu enggak usah mikirin yang lain-lain. Udah kamu berdoa saja saya yakin mereka baik-baik saja."
"Tapi, gimana kalau yang dikatakan mereka benar, Ris. Kalau mangsa monster itu suami dan anak-anak saya." Riska mengelus punggung Angelina.
"Tuhan bersama mereka, Angel. Kamu harus yakin suami kamu akan kembali."
Angelina tidak bisa berfikir jernih bahkan dia tidak tahu suaminya akan kembali atau tidak. Baru sehari ditinggal tapi perasaannya sudah Berkecamuk rasanya.
"Kamu enggak ngerti perasaan saya."
"Kata siapa, Angel? Saya ngerti perasaan kamu. Bukan kamu saja. Saya pun pernah kehilangan anak. Bahkan tiga anak saya meninggal karena monster itu. Betapa menyesalnya saya sebagai orang tua yang tidak bisa menjaga mereka."
"Meninggal? Karena monster itu?" tanya Angelina lagi dengan wajah sembabnya.
"Ya. Anak saya meninggal karena monster itu. Saya dan suami saya enggak bisa nyelamatin mereka. Perasaan saya hancur bertahun-tahun. Makanya saya melarang suami saya ikut bersama kamu. Karena saya sudah tidak memiliki siapapun di sini." Angelina terdiam ternyata tidak hanya dirinya saja yang merasakan kehilangan Violine tapi banyak juga korban lainnya. Tapi, Angelina merasa dia yang selalu jadi orang paling sedih. Padahal, kenyataannya selalu ada orang lain yang lebih menderita.
"Anak kamu meninggal kapan?"
"Saat monster itu muncul. Saya sedang berada di rumah saya yang lain. Sedangkan anak-anak saya berada di rumah. Saat saya kembali hanya ada tulang belulang dan darah yang sudah mengering."
"Tapi, kamu enggak lihat jasad anak kamu?" Riska menggelengkan kepalanya. Memang benar dia tidak melihat jenazah anaknya. Lalu, Angelina bertanya lagi kenapa tahu kalau yang mati itu anak kamu.
"Terus kok kamu bisa tahu kalau mereka anak-anak kamu."
"Orang-orang yang bilang, Angel. Saat monster itu datang anak-anak saya malah berteriak dan akhirnya mereka habis dimakan oleh monster itu."
"Maaf, aku ngerti perasaan kamu. Anak ku juga meninggal dimangsa monster itu. Tapi, saya hanya bisa mengikhlaskan walaupun kejadian itu sudah sangat lama."
"Mungkin mereka lebih aman di sana dari pada kita yang selalu merasa takut di sini. Monster itu bisa saja menyerang kita kapan saja. Hanya tinggal melihat siapa saja orang yang akan bertahan." Angelina mengangguk, benar kata Riska. Ini semacam seleksi alam. Manusia yang kuatlah yang mampu bertahan hingga akhir.
.....
Di malam yang dingin dan gelap ini mereka beristirahat di pinggir sungai. Cahaya satu-satunya hanya berasal dari Bulan di atas.
"Kak Violine kayaknya lagi lihatin kita dari sana, Pi," ucap Estel yang tidur di tangan Papinya.
"Iya mungkin, Papi juga kangen banget sama Kakak kamu." Harry kadang masih suka merasa menyesal telah membiarkan anaknya pergi lebih dulu. Tapi, satu sisi dia berfikir kalau anaknya lebih baik pergi dari pada hidup di zaman yang berbahaya ini.
"Iya, Pi. Aturan dulu Estel aja yang pergi. Dunia ini terlalu kejam, Pi. Harry takut tinggal di sini sebenernya." Estel masuk ke pelukan Papinya. Mereka hanya tidur beralaskan daun-daun. Dan tas yang dijadikan bantalan.
"Hush kamu enggak boleh kayak gitu. Kamu seharusnya beruntung masih selamat dan ikut sama Papi, Mami. Kamu enggak boleh kayak gitu lagi ya." Estel mengangguk. Dia menguap dan semakin mengantuk setelah Maminya mengelus kepalanya. Steven sudah tertidur setelah mereka makan tadi. Makin lama Estel pun tertidur begitupun dengan Harry.
"Li kamu udah tidur?" tanya Joe yang membelakangi Lili.
"Belum," jawab Lili. Mendengar jawaban dari Joe, terdengar kresek daun. Joe bangkit dan duduk dari tidurnya.
Lili menengok ke arah Joe yang agak jauh dengannya, "Ngapain kamu malah bangun, Joe?" tanya Lili.
"Enggak papa. Aku belum bisa tidur aja." Lili pun bangkit dan ikut duduk bersama Joe.
"Kamu nyesel ya ikut aku sama keluarga Tuan Harry?" tanya Lili lagi. Kalau bukan karena ucapannya kemarin mungkin Joe sebenarnya tidak akan ikut bersamanya.
"Enggak. Ngapain juga aku harus nyesel. Malah seneng aja bisa ikut percobaan Om Harry. Jadi, aku enggak muter-muter sama temenku enggak jelas gitu. Dari dulu emang aku pengen banget bisa musnahin monster itu tapi cara yang selalu aku susun gagal. Hingga membuat aku nyerah aja lah," ucap Joe. Lili pun mengangguk.
"Dulu kamu ngelakuin kayak gini juga sama temen-temen kamu?"
"Enggak. Kita dulu nyerang monster itu rame-rame tapi sayang monster itu lebih kuat ternyata."
"Iyalah, kamu aneh aja. Apalagi alat yang kamu gunain seadanya."
"Nah iya bener. Waktu mereka dateng jumlahnya ada sekitar sepuluh atau lebih padahal jumlah kita dulu banyak. Tapi, tetep aja kalah."
Lili yang mendengarnya malah ngeri sendiri, dia belum pernah melihat monster itu sampai sepuluh atau lebih. Paling mentok ada tiga itupun Lili udah hampir ingin mati rasanya. "Serem banget sebanyak itu dan kalian nyerang monster itu?"
"Iya. Makanya bodoh banget ya kita. Yaudah deh kita enggak mau lagi nyerang monster itu udah nyerah dari pada banyak korban." Lili pun mengangguk. Dia menguap karena merasakan ngantuk yang menyerangnya.
"Kamu ngantuk, Li?"
"Iyanih, Joe. Aku tidur duluan ya. Aku capek banget. Takut besok kesiangan malah." Joe pun mengangguk.
"Oke selamat tidur, Li." Senyum tipis mengukir sudut bibir Lili.
.....
"Pi bangun, Pi," ucap Steven mengguncang pelan bahu Papinya. Adiknya masih tertidur.
"Ehmm....."
"Bangun, Pi. Kita sarapan terus lanjut jalan lagi yuk."
"Iya, kamu bangunin yang lain ya. Adek kamu juga."
"Iya, Pi," jawab Steven. Steven membangunkan Lili dan juga Joe lebih dulu. Estel biarlah belakangan karena pasti adiknya itu susah bangun.
Setelah semua bangun. Lili membuka tas mereka yang berisi makanan. Untung makanan yang mereka bawa masih sisa cuma tinggal makanan terakhir saja. Mereka bawa umbi-umbian rebus saja.
"Setelah ini kita langsung berangkat lagi ya. Perjalanan kita masih jauh sebenernya," ucap Harry. Mereka pun mengangguk.
Beberapa saat setelah makan, semuanya membereskan barang-barangnya dan mulai jalan lagi. Saat perjalanan, mereka Anjing mereka yang kemarin kabur datang lagi menghampiri mereka sambil menggonggong.
"Shutt ... Diam." Harry langsung menutup mulut Anjing itu. Ada tanda-tanda suara monster itu. Harry mengintrupsikan mereka semua untuk tenang dan menunduk.
Setelah keadaan sedikit tenang, mereka langsung saja berdiri lagi. Anjing tersebut ingin lari lagi. Tapi, seakan Anjing itu memberikan tanda untuk mereka ikut.
"Pi, kayaknya Anjing itu nyuruh kita ikutin deh," ucap Steven. Harry pun merasakan hal yang sama.
"Udahlah, Pi enggak usah ngapain si. Udah ayo kita berangkat lagi. Udah capek jalan ini butuh berapa lama lagi buat kita sampe," jawab Estel.
"Estel tapi siapa tahu ada petunjuk dari Anjing itu."
"Ck. Kak petunjuk apaan lagi sih. Udah ah enggak usah ngayal. Ayo buruan jalan lagi, Pi ke sana." Estel menarik Papinya lagi. Untuk berjalan berlawanan dengan Anjing itu.
"Pi...."
"Udah, Stev kita enggak bisa buang-buang waktu lagi. Kita harus cepetan coba alat ini dan pulang ke rumah. Nanti, Mami kamu khawatir sama kita." Steven menghembuskan napas pasrah. Dia juga sudah lelah. Tapi, melihat Anjing itu yang memberikan tanda sesuatu membuatnya penasaran.
"Ayo, Stev kita pergi." Lili menaruh tangannya di pundak Steven yang lebih pendek darinya. Steven sudah dianggap seperti adiknya sendiri.
"Iya, Li." Steven dengan raut wajah tidak ikhlas pun akhirnya tetap berjalan lagi mengikuti Papinya.
"Om perjalanan kita kayaknya enggak sampe-sampe."
"Memang, Joe. Saya juga sudah ingin mencoba alat itu. Jadi, saya tahu kemampuan alat itu. Sayangnya di tempat kita kemarin saya enggak boleh tes di sana. Jadi, saya enggak tahu kelemahannya apa." Joe mengangguk paham. Kalau Harry menyetel di sana ya sudah pasti mereka semua dalam bahaya.
"Iya, Om. Soalnya mereka mungkin udah terlalu banyak trauma jadi enggak mau nyoba-nyoba lagi yang cuma bikin bahaya."
"Iya, saya paham, Joe." Joe pun mengangguk. Perjalanan mereka diselingi dengan keheningan lagi.
......
Di sisi lain, seseorang yang memang sedang mengikuti keluarga Harry itu pun panik saat Anjing itu ingin memberitahu keberadaannya, "Sial, memang Anjing itu. Awas aja dengan Anjing itu."
Seseorang itu sudah panik. Saat keluarga Joe sudah pergi, Anjing itu langsung Octa tangkap. "Anjing sialan. Lo harusnya enggak bikin gue hampir ketahuan. Mending lo sekarang mati aja." Seseorang itu menutup mulut Anjing itu dulu agar membuatnya tidak berisik. Anjing Itu meronta tapi seseorang itu tidak melepaskannya.
Orang tersebut langsung memutar kepala Anjing tersebut hingga terdengar suara....
Krek....
Seketika Anjing tersebut pun mati di tangan orang yang tidak dikenal itu. Anjing itupun langsung terkapar. Orang itu mencongkel mata Anjing itu.
"Ew...." Darah muncrat dari mata Anjing itu. Orang tersebut malah tersenyum senang. Terdengar suara bahagia dari orang tersebut.
"Nahkan kamu mending ke alam lain aja dari pada ganggu rencana saya." Seseorang itu bangkit dengan membawa dua mata Anjing tersebut. Setelah itu dia mengikuti keluarga Harry lagi. Tidak ada yang tahu siapa orang yang mengikutinya itu.
.....