Bab 9

1329 Kata
Aku merasa jijik melihat pemandangan di bawah sana -- halaman rumah. Irma begitu merendahkan dirinya, memeluk lengan Adit meski sudah ditolak berkali-kali. Yang membuatku semakin bingung adalah, kenapa Adit tidak meninggalkan Irma saja? Apa dia suka disentuh oleh wanita seksi seperti Irma? Entah kenapa, aku sedikit takut. Bagaimana jika benar Adit menyukai Irma? Mungkin saja hanya karena aku ada, ia tidak menunjukkan ketertarikannya itu. Entahlah. Suara dering ponsel terdengar. Aku meninggalkan tontonan yang menyakiti hati itu lalu bergegas menuju nakas. Nama 'Anin' tertulis. Tumben sekali. "Assalamualaikum." Aku menyapa setelah menggeser icon hijau ke samping. Sedikit meringis karena nyeri ini sangat menyiksa. Bahkan walau disentuh sedikit. "Wa alaikumussalam, Nissa. Hua! Nissa...!" Suara cemprengnya mengagetkanku, memaksa untuk menjauhkan sedikit layar dari telinga. "Pelan-pelan aja, Nin," ringisku. Apa kabar telinga? Semoga tidak ada yang rusak. "Ada apa? Tumben nelpon." Entah kenapa, aku masih penasaran dengan Adit dan Irma. Apa yang mereka lakukan sekarang? Dengan ponsel menempel di telinga, aku kembali ke jendela. Mereka sudah tidak ada, juga mobil Adit. Mereka keluar. Kadang, aku iri. Kedekatan Irma dan Adit melebihi teman biasa. Ya, memang Adit sedikit menolak. Tapi jika diajak keluar, ia tidak pernah menolak. Aku sendiri tidak pernah ia ajak keluar, kecuali jika ada Naura yang memaksa Adit. Menyedihkan bukan? "Nissa, kamu denger aku, gak, sih?" "Eh, iya, Nin?" "Aku udah nikah sama Ustaz Fadil, Nis! Aku udah nikah! Astaga, berasa mimpi tau, gak!" Otakku loading. Entah karena masih memikirkan Adit, atau terkejut dengan kabar Anin. "Menikah? Kapan?" Tidak dapat ditahan lagi, aku memekik. "Kemarin." "Kemarin?" Aku mengulang dengan kebingungan. "Kenapa nggak undang aku?" "Maaf. Soalnya itu kan dadakan." Lalu Anin terkekeh. "Nanti, kamu sama Adit datang aja pas resepsi Bulan depan. Oke?" "O-oke." Kenapa rasanya berat, ya? Aku sudah mengikhlaskan Ustaz Fadil, kan? *** Sebuah goncangan ringan di bagian bahu berhasil membuatku keluar dari alam mimpi. Dari jarak sekitar tiga puluh senti, Adit terlihat, dengan sedikit tarikan di ujung bibirnya membentuk senyuman. Terlihat menawan. "Ayo, sholat! Masih bisa, kan?" Aku mengangguk mengiyakan. Jangan hanya karena sakit sepele seperti ini, amalan dengan pahala besar seperti tahajud harus ditinggalkan. Aku beringsut turun dari tempat tidur. Mendekati Adit yang sibuk menggelar sajadah di ubin putih. la sudah siap dengan baju koko dan sarungnya. Penampilannya itu berhasil membuat fokusku tak bisa teralihkan darinya. "Kenapa? Tidak bisa berwudu? Harus saya yang ambilkan?" Tersentak, aku menunduk setelah mendengar ucapan datar darinya. Ternyata, dia masih belum berubah sepenuhnya. Tapi, tak apa. Melihat sikapnya hari ini memberikan sebuah rasa hangat di dalam d**a. Pada segumpal daging bernama hati. Aku bahagia. Setelah berwudu, aku masih tetap setia di dalam kamar mandi beberapa saat. Melatih otot-otot rahang untuk bergerak aktif. Alhamdulillah, mulai membaik. Setidaknya aku bisa sedikit membuka mulut untuk sekadar berbicara. Aku membuka pintu kamar mandi. Terdiam sesaat saat lantunan merdu surah ar-Rahman yang dibawakan Adit begitu menyejukkan hati. Tidak pernah menyangka jika suara datar tanpa intonasi yang sering keluar dari bibir tipisnya itu begitu merdu. Tidak bosan didengar. "Nissa, mau sholat, tidak?" Aku kembali pada kenyataan. Bingung sendiri, aku terpukau pada suaranya, bacaannya, atau ... orangnya? Menunduk, aku menghampirinya. Memakai mukena, lalu bersiap. Menjadi makmum pada imam yang dipilihkan Allah. Selepas salat tahajud dan membaca beberapa ayat alquran, masih tersisa sepuluh menit sebelum subuh. Aku bergerak mendekatinya. Meraih punggung tangan yang menjadi sumber rida Allah padaku, lalu menciumnya. "Adit...." Aku memanggil. Hanya gumaman rendah sebagai balasan darinya. "Anin sama Ustaz Fadil... udah nikah." Bibir Adit yang semula bergerak entah mengatakan apa, tiba-tiba terdiam. "Siapa bilang?" tanyanya, ikut terkejut. Sepertinya dia juga baru tahu. "Anin." Aku melanjutkan, "Resepsinya bulan depan, kita bisa datang?" Tidak tahu kenapa, Adit malah menatapku dengan pandangan aneh. Kepalanya kemudian mengangguk ringan. Tak acuh lagi. Aku mundur hendak menjauh darinya. Namun, tanganku digenggam hangat Aku tertegun, juga bingung. Dia tersenyum. Hangat. "Kenapa?" tanyaku. Dia menggeleng dua kali. Lalu melepaskan tangannya. "Pergilah." *** Weekend kali ini disambut dengan bahagia oleh Naura. Sembari memotong sayuran, dia terus mengoceh tentang tempat liburan yang pas. "Kalau Kak Nissa, punya rencana ke mana?" Sedikit kaget karena dia mendadak bertanya padaku. "Aku? Terserah. Di rumah saja, nggak masalah," jawabku. "Ya ... Kakak. Sekali-kali semangat dong kalau weekend kayak gini. Apalagi nanti Kak Adit juga kan libur, kita bisa liburan bareng." Tidak bisa menjawab apa pun, aku memilih terdiam. "Kak Nissa coba panggil Kak Adit, biar kita diskusiin ini. Masakannya tinggal ini, kan? Biar aku yang nyelesaiin," usulnya. Aku mengangguk, kemudian membersihkan tangan. Namun, aku terhenti di ruang tengah karena menemukan sosok Adit yang menuruni tangga. Pakaiannya tampak santai: kaus hitam polos dan celana training senada. Di telinganya sudah menempel sebuah ponsel. Sepertinya menelpon, entah siapa. "Dit, sarapan dulu, yuk," ajakku, sambil memamerkan senyuman tipis. Adit mengangguk. "Sebentar, Irma. Nanti saya jemput. Kamu siap-siap." Irma? Jadi dia bicara dengan Irma barusan? Mereka merencanakan untuk keluar bersama? Kenapa rasanya sakit di dalam d**a ini? Aku sampai harus menggigit bibir dalam, dengan kepala tertunduk. Mencoba untuk menyembunyikan kesedihan. Namun, gagal. Setelah Adit pergi lebih dahulu, setetes cairan bening yang tadi mulai berkumpul di iris akhirnya terjatuh ke pipi. Aku segera menghapusnya, lalu menerbitkan senyuman. Senyuman pedih. "NISSA!" Mata yang semula terpejam, harus terbuka lagi karena mendengar teriakan Adit di luar kamar. Aku mendengkus sekali, lalu menyibak selimut dengan kesal. Malas sebenarnya bertemu dengan Adit, setelah insiden tadi pagi. Dia menolak liburan bersama Naura demi Irma. Menyebalkan. "Tidak perlu teriak-teriak!" bentakku sesaat setelah membuka pintu. Tak jauh dari pintu kamarnya, Adit berbalik padaku. Kemudian tergesa menghampiriku. "Kenapa di sini? Kenapa tidak di kamar?" Dia bertanya. "Ini kamarku." Dia terdiam. "Kamar saya, kamar kamu. Mulai sekarang." "Aku males, Dit. Mau sendiri." Tidak perlu menunggu dia untuk memberikan tanggapan, aku langsung menutup pintu dengan kasar. Aku lelah Adit. Kadang dia bersikap sangat lembut, membuat debar di dalam d**a terasa sangat menyenangkan. Namun sekarang, dia malah menghancurkan rasa bahagia itu dengan sikapnya yang terlalu dekat dengan Irma. Dan tindakanku sekarang, ini membalas perbuatan Adit. Aku ingin dia merasakan lelah yang sama. Lelah atas sesuatu yang tidak pasti. *** Pagi. Suara air keran menyala terdengar dari dapur saat aku hendak masuk untuk memasak. Mungkin Naura. Aku mengangkat bahu sekilas, kemudian melangkah masuk. "Adit?" Aku memekik, melihat punggung tegap itu yang berdiri di depan tumpukan piring kotor. Memang semalam, aku tidak membersihkan dapur sebelum tidur. Malas. "Kenapa kaget begitu? Saya masih manusia, kan?" Tidak ingin menanggapi, aku hendak berputar kembali ke kamar. Namun, sentuhan dingin di pergelangan tangan menghentikan langkah. "Kenapa marah?" Dia bertanya, setelah aku memutar menghadap padanya. "Aku nggak marah. Cuman lagi capek doang. Mau istirahat." "Okey," ujarnya kemudian. Dia melepas tangannya yang basah, lalu berdiri terpaku. Dasar tidak peka! Keesokannya, aku masih sama. Malah semakin enggan keluar dari kamar, jika seandainya bukan Naura yang memanggil. Saat tiba di ruang makan, semuanya sudah tersaji. Sedikit rasa bersalah di dalam hati, karena tahu Adit yang mengurus semuanya saat ini. Sementara aku hanya bersantai dengan rasa malas ini. Sungguh, melihat kedekatan Adit dan Irma membuat tubuhku malas bergerak. Kami bertiga makan dalam diam, sesekali hanya Naura yang berceletuk. Dia curhat mengenai perutnya yang sudah sangat membesar, sulit untuk disembunyikan lagi. Adit memutuskan untuk meliburkan Naura, setidaknya sampai dia melahirkan. Naura marah, berhenti makan dan menuju kamarnya. Saat ingin menyusul. Adit menahanku. Kemudian menyodorkan sebuah map lagi. Entahlah, aku merasa trauma dengan map. Tidak tahu perjanjian apalagi yang dia inginkan. "Buka!" pintanya saat aku hanya memandangi benda itu. Tanganku gemetar membuka map tersebut. "Su --surat cerai ...?" Suaraku tak kalah bergetar dari tangan. Aku menatap Adit, yang dibalas dengan tak acuh. Sakit terasa sangat di dalam d**a. Terasa diremas kuat oleh sakit yang tak kasat mata. "Ya." Adit menjawab dengan tenang. "Ta --tapi ini belum satu tahun?" Kabar ini terlalu mengejutkan, hingga saliva yang mengaliri tenggorokan sangat sulit ditelan. "Kenapa? Bukannya kamu lelah dengan pernikahan ini? Mari kita selesaikan dengan baik-baik." "Adit .... " Sekali lagi, aku memanggil lirih. Menyadari mata semakin panas karena membendung cairan yang ingin membanjiri wajah, aku segera meletakkan map itu di atas meja. Kemudian segera beranjak pergi. Untuk bisa menangis, berteriak, atau bunuh diri di kamar. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN