Siang ini terasa jauh lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Naura tidak lagi bersembunyi setelah tiga hari pulang dari rumah sakit. Dari balik jendela kamar, aku memperhatikan dia yang tengah duduk di kursi taman membaca sebuah n****+.
Semua kewajiban selesai dilakukan, kecuali memasak. Aku bergegas menuju dapur untuk menyelesaikan tugas tersebut.
Namun, suara lengkingan dari luar rumah menghentikan langkahku yang akan mencapai ambang pintu dapur. Otak bekerja cepat.
Naura dalam bahaya!
Sepasang kaki ini terhenti, di jarak sekitar dua puluh meter dari sepasang manusia di dekat kursi sana. Naura tengah memberontak dalam pelukan seseorang. Lelaki berjaket hitam itu terus mengucapkan kata maaf.
Aku tidak bisa melihat ini terlalu lama. Naura menjerit, terlihat kesakitan dalam dekapan lelaki itu. Aku bergerak cepat, melepaskan keduanya sekuat tenaga berlindung di belakang tubuh.
"Pergi dari sini!" Aku berteriak, meluapkan amarah yang menggebu di dalam d**a. Lelaki di hadapan bergeming. Pandangannya hanya tertuju ke belakang tubuh.
"Naura ...." Lelaki itu bergumam pelan.
"Aku bilang pergi!" Maju selangkah, aku mendorong tubuhnya secara kasar.
"Kamu diam, bodoh!" Sekali gerakan tangan, tubuhku tersungkur.
Aku meringis, merasakan perih di kedua telapak tangan. Saat hendak berdiri, lelaki itu ikut terbanting, tepat di sampingku, menggeram kesakitan.
Menilik ke arah Naura, aku mendapati Adit berdiri di sampingnya. Kedua tangan mengepal di samping tubuhnya.
Semua ketegangan dalam wajah Adit mulai berkurang saat memeluk adiknya, mencium berkali-kali kening Naura.
Membisikkan kata-kata penenang. Rasanya aneh, dalam d**a ini.
Aku bergerak berdiri.
"Nissa, bawa Naura masuk." Adit memberikan perintah.
Aku mengangguk, mengiyakan permintaannya itu.
Aku tidak berani berbalik saat suara pukulan dan kesakitan terdengar. Memejamkan mata, aku menguatkan diri untuk tetap berjalan lurus memasuki rumah. Jangan bergerak sedikit pun untuk membantu lelaki tadi.
Tapi . rasanya aneh. Aku tidak tega, membayangkan dia
kesakitan.
"Kamu masuk, Nau!" Aku berbisik padanya. Beberapa kali usapan lembut kuberikan di lengannya, menguatkan wanita itu untuk tetap terlihat kuat. Anggukan darinya cukup menjadi jawaban.
Berlari. Aku menghampiri keduanya. Adit masih memukul secara babi buta, tidak peduli dengan teriakanku untuk menghentikannya.
Sakit. Aku merasakan nyeri di dalam hati ini saat melihat wajah penuh luka dari lelaki itu. Apalagi melihatnya tidak mampu lagi berdiri tegak jika seandainya Adit tidak mencengkeram kuat kerah baju lelaki itu.
"Adit berhenti!" Kembali aku berteriak. Tak acuh.
Aku tergugah. Membisikkan bismillah, aku maju. Berdiri di samping lelaki itu hendak melerai. Saat ingin berteriak, tetapi sebuah pukulan mengenai sudut bibir kanan.
Aku jatuh
Gelap
***
"Kak Adit, Kak Nissa udah sadar!"
Aku mengerjap. Lalu menemukan wajah Adit tepat di "Sudah sadar?" tanyanya. "Bodoh!" la memaki dengan
depan mata.
keras. Garis-garis wajahnya menegang, menampakkan aura datar menyeramkan.
"Kak Naura terlihat menggoyangkan lengan kakaknya. Mungkin mencegah agar Adit tidak melampiaskan kekesalan padaku.
Ya, memang benar aku salah telah membela lelaki tadi. Namun, jiwa ini tidak bisa berhenti khawatir setiap kali lelaki tadi berteriak kesakitan. Aku tidak tahan.
"Kamu bodoh, Nissa! Benar-benar bodoh!" la tidak peduli dengan adiknya yang berusaha menarik tubuhnya. Terus, Adit memaki kesal. "Kenapa bela lelaki itu, hah? Lihat, Nissa! Lihat apa yang saya lakukan sama kamu!"
Aku tidak menyalahkan dia atas kelumpuhan mulut ini terbuka. Tidak apa, karena itu bukan sepenuhnya salah Adit. Aku tidak peduli jika nantinya tidak bisa berbicara lagi karena bibir ini bahkan tidak mampu terbuka lagi karena rasa nyeri yang melanda.
Adit menggeram. Kasar. Rambutnya yang sudah berantakan, dijambak oleh tangannya sendiri. la keluar kamar, membanting pintu hingga menghasilkan suara keras.
"Maafin kak Adit, ya?" Naura tersenyum. la menyentuh punggung tangan dengan lembut. Sedikit lega. Setidaknya Naura tidak seburuk tadi.
Kupaksakan bibir ini sedikit terangkat.
Hening.
Naura terlihat bingung. Terbukti dari lirikan mata dan gerakan mulutnya yang terbuka, lalu tertutup.
"Kak Nissa ...." la memanggil, lalu mengambil jeda selama beberapa detik. "Jangan tinggalin kak Adit, ya? Apa pun yang terjadi ke depannya. Jangan dengar ucapan kak Adit yang bilang kalau dia menikahi Kakak cuman setahun."
Kenapa ia malah membahas ini. Aku menatapnya penuh kebingungan. Naura mengalihkan wajah ke arah lain. Tangannya maju ke arah nakas, mengambil sebuah baskom. Dengan telaten ia meremas handuk yang basah. Meletakkan benda hangat itu di sudut bibir yang terluka.
Seandainya bisa sedikit bicara, aku ingin menanyakan maksudnya. Sayangnya tidak bisa. Aku membiarkannya. Pandanganku tertuju ke arah jendela yang terbuka lebar.
***
Berdiri di dekat jendela adalah sebuah kebiasaan sedari dulu. Setelah salat isya, aku bergeming memperhatikan kegelapan. Tidak ada yang menarik. Hanya ada sedikit ketenangan saat wajah ini disapa oleh dinginnya udara malam. Meski aku harus membalut tubuh dengan selimut tebal agar tidak terlalu kedinginan. Tubuhku begitu rentan dengan itu.
Namun, aku tidak sanggup jika harus menggunakan selimut. Sebagai gantinya, tubuh ini hanya dibalut jaket tebal berwarna cokelat.
Semakin larut, dingin semakin menyiksa. Aku masih enggan beranjak. Rekaan adegan semenjak tinggal di rumah ini terus berputar. Satu demi satu. Secara asal. Kepala ini mulai pening dibuatnya.
"Nissa!"
Aku berbalik. Kedamaian yang semula terasa kini berubah drastis menjadi rasa takut saat wajahnya masih sama seperti siang tadi. Bahkan kali ini berkali-kali lipat lebih menakutkan.
"Sudah saya bilang, jangan biarkan diri kamu tersiksa karena dingin. Tidur!" la mendorong pelan tubuhku. Adit menutup jendela. Kasar. Tanpa peduli jika kaca bening itu bisa pecah karena tindakannya itu.
Seharusnya hal yang aku lakukan adalah mengindahkan perintahnya. Namun, setelah berbaring di tempat itu hampir enam jam, tubuh ini terasa pegal. Tidak memiliki nafsu sedikit pun untuk menyentuh ranjang dengan bed cover putih itu.
"Tidur, Nissa!" Adit mengulang perintahnya.
Aku memaksakan bibir ini terbuka, agar bisa menjelaskan perasaan saat ini. Namun, rasa sakit langsung menyerang saat baru saja ingin mengeluarkan suara. Aku mengutuk hal ini. Aku menunduk menghindari aura penguasa darinya. "Masih sakit?"
Aku tergemap saat tubuh besarnya menjulang di hadapan. Diikuti sentuhan halus di sudut bibir bekas pukulan Adit tadi. Ia tidak main-main saat melayangkan tinju pada sang lawan. Apa kabar lelaki tadi? Semoga tidak ada tulangnya yang patah.
Aku menggeleng. Lalu mengeratkan jaket di tubuh. Masih menunduk karena belum berani menatap Adit. Saat itulah, pandanganku tertuju pada tangan yang diperban secara asal. Warna merah menghiasi perban putih itu.
Aku menyentuhnya, menatap penuh rasa bersalah. "Tidak apa." Adit menarik tangannya. "Sekarang tidurlah."
Aku menggeleng. Memaksakan kembali bibir terbuka. Nyeri disertai kram. "Tidak bisa ." Suara kecil pun keluar. Aku meringis.
Oh ayolah, jangan memaksaku untuk kembali ke tempat itu, atau tubuh ini akan kram esok pagi.
Terkesiap, saat tiba-tiba aku merasa melayang. Secara otomatis melingkarkan tangan di leher Adit yang semena mena menggendongku.
"Tidak ada alasan. Tidur!"
Haha! Aku tertawa dalam hati. Sifat diktator tidak menghilang dari dirinya meski nada suaranya mulai lembut.
Perlahan, penuh kehati-hatian ia meletakkan tubuhku di atas tempat tidur. Tiga detik setelah mendarat dengan baik, Adit belum mengubah posisinya. Dari jarak lima senti yang memisahkan wajah kami, dapat terasa embusan napasnya menerpa kulit wajah. Jantung di dalam d**a mulai bereaksi aneh.
"Maaf untuk ini." Tangan dibalut perban itu menyentuh sudut bibir. Ada kehangatan di dalam d**a. Hati mengembang, senang. Pandanganku hanya tertuju pada matanya yang begitu fokus ke arah bekas luka yang ia berikan.
"Jangan pernah melakukan kebodohan itu lagi, Nissa." Suaranya penuh penekanan. "Jangan membawa dirimu dalam bahaya."
Bibirku terbuka, untuk mengatakan bahwa ini bukan masalah besar. Melihat penyesalan begitu dalam di kedua matanya membuatku tidak tega.
Rasa hangat menyergap saat benda kenyal menempel di bibir. Aku terkesiap saat Adit tetiba menghapus semua jarak di antara kami. Tangan yang masih setia di pundaknya, meremas kuat bahu keras itu untuk melampiaskan keterkejutan.
Awalnya diam, lalu bergerak pelan, menekan. Aku ikut meremas kuat bahunya. Bingung harus memberikan respon apa. Lalu berakhir dengan pasrah akan perlakuannya. Dadaku bergejolak oleh rasa baru yang menghinggapi. Otak semakin lamban saat gerakannya mulai cepat.
"Ssh!" Aku meringis saat ia menekan bekas luka.
"Nissa?" Adit menjauhkan wajahnya. Garis-garis wajahnya terlihat tegang. Raut khawatir tak luput dari sana. "Maaf."
Ada kekosongan yang terasa saat ia berdiri tegak. Sementara jantung masih berdebar kencang di dalam d**a. Aku mengatur napas beberapa kali, lalu melotot. Tubuhku masih menegang.
"Naura akan tidur di sini."
Aku menggeleng mendengar ucapannya. Jangan ganggu
Naura saat dia mulai tenang!
Adit melangkah keluar. Meninggalkanku sendiri penuh
kebingungan. Sekitar lima menit, pintu kembali terbuka. Ia datang membawa sebuah buku dan pulpen di tangan.
"Jika butuh sesuatu, tulis saja di sini." Adit meletakkan benda yang ia bawa di atas nakas. Bergerak ia memutari tempat tidur lalu berbaring dengan tenang.
"Jangan segan membangunkan saya kalau kamu perlu sesuatu."
Hening. Tidak ada lagi kata-kata yang mengisi kekosongan di antara kami. Mungkin dia sudah terlelap, sementara aku masih sibuk berdiskusi dengan pikiran.
Sedari tadi, aku dapat merasakan sesuatu.
Setiap kalimat yang keluar dari Adit, terasa amat banyak. Penuh perhatian. Menghangatkan hati di dalam sini. Jantung mulai berdegup keras.
Rasanya aneh ... apalagi setelah kejadian beberapa menit yang lalu.
Hey, tunggu! Apa yang dia lakukan tadi di bibirku? Dia ... menciumku?
***