02-I MISS YOU

1373 Kata
Happy reading Sudah 2 hari ini Annelise tak bisa menghubungi tunangannya. Gadis itu tampak kesal karena tak ada kabar sama sekali dari Bisma. Nomor laki-laki itu selalu di luar jangkauan jika dihubungi. Pesannya melalui email pun tak kunjung mendapat balasan, membuat Annelise uring-uringan seharian ini. Di balik rasa kesalnya, ia lebih khawatir jika sesuatu terjadi pada prianya. Dengan kaki menghentak ke tanah dan raut masam, Annelise berjalan meninggalkan gedung kampusnya. Seharian mengikuti mata kuliah dengan keadaan hati yang tidak baik sangat menguras energinya. Brukk Annelise tersentak ketika bahunya tersenggol seseorang dari belakang. Seperti sengaja. Gadis itu menoleh untuk melihat si pelaku. "Kau melamun, ya?" Dio, teman sekelasnya memukul punggungnya dengan cukup keras hingga gadis itu meringis sembari mengusap bahunya. "Cih, kau kasar sekali pada perempuan!" ujar Annelise sinis. "Siapa suruh berjalan di tempat umum sembari melamun? Memangnya ini jalanan nenek moyangmu?" sungut Dio pura-pura tak terima. "Aku sedang sangat sangat sangat kesal tahu!" Annelise semakin melipat wajahnya dongkol. "Kesal kenapa, sayangku?" Dio merangkul bahu Annelise santai sembari berjalan menuju halte bus. "Tunanganku-" Srett Bugh "Hei!" Annelise memekik ketika tiba-tiba ada yang menarik Dio darinya lalu membuat Dio tersungkur karena tonjokannya. Annelise mendekati Dio dan mencoba membantunya bangun. "Hidungmu berdarah." Annelise merasakan dirinya ditarik ke belakang dengan kasar. "Apa yang kau... Bisma?" Annelise menajamkan penglihatannya melihat siapa yang sedang mencekal lengannya. Bisma melepaskan Annelise kemudian kembali menerjang tubuh Dio dan memberinya beberapa pukulan lagi. "Bisma, hentikan!!" Annelise memekik seraya menarik tubuh Bisma agar melepaskan Dio. Akhirnya Bisma membiarkan tubuhnya tertarik mundur oleh Annelise setelah cukup puas memberi pelajaran pada orang yang berani menyentuh miliknya. Bisma menatap Dio yang sudah terluka parah dengan penuh peringatan kemudian menarik Annelise menjauh dan masuk ke mobilnya yang terparkir di pinggir jalan. Bisma ikut masuk ke mobilnya dengan membanting pintu. Pria itu segera melajukan mobilnya meninggalkan area kampus Annelise dan kerumunan di sana. Annelise menggigiti bibir bawahnya gusar. Hening. Bisma berdecak kesal dan menepikan mobilnya di depan minimarket. "Oh, sialan." Ia mengepalkan tangannya di atas kemudi. Berusaha meredam emosinya yang meluap-luap. "What the fuck." Berulang kali Bisma mengembuskan napasnya kasar. Sejenak hening kembali menguasai mobil ketika Bisma membuang pandangannya keluar jendela. "Ka-kapan kamu kembali?" Annelise mengisi ketegangan di antara mereka dengan memberanikan diri untuk bertanya. Jemarinya saling bertaut takut. "Aku ingin sekali merasakan pelukanmu ketika tiba di sini, Annelise. Aku sangat merindukanmu. Nyaris mati saat aku berperang melawan kerinduan ini sendiri di sana. Tapi apa sekarang? Apa yang baru saja kulihat? Begitukah caramu berteman setiap harinya? Seorang pria merangkul bahu teman wanitanya dengan kepala yang sangat dekat kau pikir itu wajar? Annelise, ayolah. Ini bukan Amerika. Kau tahu bagaimana aku menjagamu dari pria lain selama ini-" "Bisma." Annelise memotong karena tak tahan dipojokkan oleh tunangannya. "Aku ingin memberimu kejutan dan kau malah mengejutkanku." "Bisakah kau mendengar penjelasanku? Apa kamu ingin menjadi Bisma yang egois lagi seperti dulu?" tanya Annelise lirih. Bisma mendesah berat. "Bicaralah."  "Pertama, aku minta maaf. Aku mengaku salah karena membiarkan Dio merangkulku. Dio memang begitu orangnya. Dia sangat dekat dengan semua teman di kelas. Tapi aku bersumpah itu pertama kalinya Dio merangkulku. Yang kedua, aku juga sangat kesal karena dua hari ini tidak ada kabar darimu. Yang ketiga, bisakah aku memelukmu dulu-" Sebelum kalimat Annelise tuntas, Bisma sudah menarik gadis itu ke dalam dekapannya. Annelise ikut memeluk Bisma penuh rindu. Menyandarkan kepalanya di d**a bidang sang pujaan hati. "Aku merindukanmu," bisiknya haru. Air matanya perlahan menetes dan membasahi kemeja yang Bisma kenakan. Pelukannya mengerat, Annelise meluapkan kerinduannya di sana. "Aku juga sangat merindukanmu, Annelise. Sampai sakit rasanya saat harus menahan diri untuk menemuimu." Bisma mengeratkan pelukan mereka saat Annelise semakin menangis. "Maaf membuatmu takut. Maafkan aku, Baby." Annelise perlahan merenggangkan pelukan mereka dan menatap pria itu. "Kamu tidak akan pergi lagi, kan?" Itu harapan sederhana dari Annelise. Mereka tidak akan berjauhan lagi hingga saling curiga. "Tentu saja." Bisma tersenyum, mengusap lembut air mata Annelise agar wajah cantik tunangannya semakin cantik karena bersih dari air mata. "Kalaupun aku pergi, aku akan bersamamu, Annelise. Ayo menikah." "Huh?" Annelise terkejut menatap Bisma. Ia tak percaya Bisma bisa mengatakan hal seserius ini dalam keadaan seperti ini. Bukankah mereka belum siap mengingat setiap pertengkaran mereka hanya karena hal sepele? "Kenapa? Kita sudah bertunangan, Annelise." Bisma menangkup wajah Annelise dengan tatapan meyakinkan. "Apa itu tidak terlalu cepat?" tanya Annelise memastikan. "Tidak, ini yang terbaik. Ayo ke rumahmu. Aku akan bicara pada orang tuamu. Minggu depan orang tuaku akan datang ke Indonesia untuk melamarmu." "Bisma." "Kau tahu sekali kalau kamu tidak bisa menolaknya, Baby." Annelise terdiam menatap Bisma. "Annelise." "Ba-bagaimana dengan Daddy-mu?" "Aku sudah menyelesaikan urusanku di Amerika, jadi Daddy pasti merestui kita." "Bisma, kenapa kamu tidak mengerti juga?" tanya Annelise pelan. "Mengerti apa?" "Tidakkah kamu merasa Daddy-mu selalu menghalangi hubungan kita? Kita..." "Kenapa kau membahas itu lagi?" Ada nada jengah di sana. Bisma selalu berakhir kesal jika Annelise mengungkit masalah ini. "Hanya itu penghalang hubungan kita. Restu Daddy-mu. Setiap kali kita akan lebih serius, pasti Daddy-mu memberi syarat-" "Annelise, itu bukan syarat. Aku memang diberi tugas oleh Dad agar lebih dewasa dan mampu hidup lebih baik. Karena menikah berarti aku menambah tanggung jawabku. Dad ingin aku jadi pemimpin rumah tangga yang matang dan-" "Kau naif sekali," ucap Annelise lirih. "Aku merasakannya. Daddy-mu tidak menyukaiku." "Daddy tak punya alasan untuk tidak menyukaimu. Ayolah, kita bukan remaja kemarin sore lagi, Baby," ujar Bisma sedikit geram. "Saat kita akan bertunangan dulu, Daddy mengirimmu ke Bali selama 6 bulan. Dan saat kamu bilang akan melamarku, Daddy mengirimmu ke Amerika selama 2 tahun. Bisma-" "Lalu apa kamu ingin kita selalu seperti ini? Hubungan yang tidak serius? Kamu tidak ingin lebih serius denganku?" "Kau tahu bukan itu maksudku, Bisma." Bisma terdiam dan menyandarkan punggungnya dengan memejamkan matanya yang lelah. Annelise meraih jemari Bisma untuk ia genggam. "Setidaknya sampai aku merasa Daddy-mu tak keberatan atas hubungan kita." Bisma menghembuskan napasnya kasar dan tanpa menoleh berucap, "Karena itu hanya perasaanmu saja. Itu alasanmu saja agar tidak terikat denganku lebih serius." "Bisma, kita bertunangan," ucap Annelise cepat. Batinnya bergumam, dengan pertunangan saja Annelise merasa tercekik tepat di lehernya, bukan terikat cincin di jari manisnya oleh semua sifat over protective Bisma. Apa lagi saat mereka menikah nanti. Semua yang ada pada Annelise adalah hak Bisma. Annelise tak akan bisa berkutik. Apakah Annelise siap kehilangan kebebasannya sepenuhnya? Ya, dia mencintai Bisma. Sangat. Tapi Annelise ingin setidaknya Bisma bisa lebih mengerti dirinya dulu. Dua hari Bisma tak bisa ia hubungi dan tiba-tiba hari ini ia datang ke kampusnya dan meninggalkan memar di wajah temannya yang hanya merangkulnya tanpa bertanya dulu apa hubungan mereka. Annelise yakin Bisma tahu mereka hanya berteman, tapi dengan tanpa rasa bersalah dan angkuhnya Bisma menumpahkan semua kesalahan ada pada pihak Annelise. Annelise benar-benar belum siap jika cincin pertunangan mereka berganti menjadi cincin pernikahan. Annelise akan berpikir berulang kali atas ini. Menikah dengan Bisma berarti menyerahkan segalanya pada Bisma. Raga, hati dan apa pun yang ia punya. Termasuk kebebasan yang memang mulai Bisma renggut sejak mereka terikat komitmen sederhana. Annelise pernah mencoba bicara baik-baik pada Bisma tentang apa yang kurang ia sukai dari sifat Bisma yang selalu over protective itu. Tapi saat itu Bisma langsung meledak dan berteriak bahwa ini untuk kebaikannya. Bisma hanya berusaha menjaganya dengan baik. Annelise tak yakin Bisma bisa membedakan menggenggam tangannya dengan merantai lehernya. "Bulan depan. Jika kau menolak, minggu depan kau pasti sudah menjadi istriku karena kau akan hamil terlebih dulu." Annelise tercengang mendengar ucapan Bisma baru saja. Ia tak menyangka Bisma juga akan mengancamnya seperti ini. Ralat! Bisma tak pernah mengancam. Tolak saja dan kau pasti akan membuktikan sendiri ucapannya. Bukan Annelise tak ingin menikah dengan pria yang ia cintai, tapi belum. Annelise ingin Bisma sedikit berubah dulu, mengurangi sifat gila padanya dan Annelise akan dengan senang hati menikah dengannya. Dari ekor matanya, Bisma melihat Annelise mengangguk pelan. Bisma menghembuskan napasnya lega dan mulai tersenyum saat menoleh padanya. "Terima kasih." Bisma mengusap belakang kepala Annelise dengan lembut. Annelise mengangkat wajahnya pada Bisma lalu mengangguk pelan. Pada akhirnya Annelise tak akan bisa memilih walau ia sempat diberi pilihan. "Ingin makan apa hari ini?" Bisma mulai kembali menjalankan mobilnya. Annelise tersenyum. "Aku kemarin mendapat rekomendasi dari Vanya ada sebuah restoran Jepang baru buka di sekitar apartemennya. Mau mencoba?" Annelise sangat tahu jika Bisma tak suka jawaban terserah. Chapter 2 meluncur. Jangan lupa vote dan komen yak
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN