03-Worried

1326 Kata
Happy reading Annelise berjalan malas menuju pintu apartemennya yang baru saja berbunyi belnya. Ia melihat seorang kurir memberikan sebuah paket padanya dan ia segera menandatanganinya. Annelise membawa kotak berwarna merah itu masuk. Ia meletakkan kotak berukuran cukup besar itu di meja makan lalu membukanya. Sebuah gaun berwarna merah menyala dengan sepatu berhak yang begitu tinggi di atasnya dengan warna senada. Annelise mengambil sebuah note kecil berwarna merah muda dan langsung membacanya. 'Aku akan menjemputmu jam setengah 7, Baby.' -Bisma- Annelise tersenyum membacanya kemudian meletakkan note itu di meja. Dengan antusias ia mengeluarkan sepatu dengan bagian atas terdapat tali yang melintang dan bagian bawah juga belakangnya bertabur permata. Annelise langsung duduk di kursi dan mencobanya. Pilihan barang Bisma untuknya memang selalu pas. Annelise berlari kecil menuju kamarnya untuk mengambil ponsel dan duduk di tepi ranjang. Gadis itu memotret kaki jenjangnya dengan heels yang menghiasi. Setelah itu ia mengirimkan gambarnya pada Bisma. 'Aku menyukainya. Terima kasih.' Tak lama ada pesan balasan dari Bisma. 'Kau yang terbaik.' Annelise merona dengan kalimat sederhana dari Bisma. Beruntung ia sedang sendiri jadi Annelise tak perlu repot menyembunyikan rasa tersipunya ini. Annelise mendekap ponselnya dan kembali berlari kecil untuk mencoba gaunnya. "Akh!!" Brukk Prakk Rintihan terus keluar dari mulut gadis itu kala kakinya terkilir karena tak berhati-hati menggunakan sepatu setinggi itu. Mengenaskannya lagi, ponselnya ikut jatuh hingga layarnya retak cukup parah dan saat Annelise meraihnya ternyata ponselnya mati. Annelise melepaskan heels-nya dengan rintihan yang tak kunjung reda. Merasakan nyeri di pergelangan kakinya yang terlihat memerah bahkan ia ingin menangis saking sakitnya. Bagaimana Annelise bisa meminta bantuan orang lain saat ponselnya bernasib lebih buruk darinya itu? Gadis itu merintih lagi. Annelise menarik kursi meja makan yang tak jauh darinya kemudian menggunakan benda itu untuk bangkit. "Ahh, sakit sekali," ucapnya tak jadi berdiri. Baiklah, jika tak ada yang berkunjung ke apartemennya hari ini, berarti Annelise harus ada di sana setidaknya sampai Bisma datang jam 7 nanti. * * * Pria itu tersenyum melihat pesan gambar dari kekasihnya. 'Aku menyukainya. Terima kasih' "Kakinya saja sudah membuatku amat merindukannya," gumamnya tersenyum kecil. Bisma menyesap kopinya walau ini masih sangat pagi. Pria itu akan segera ke kantor setelah menghabiskan secangkir kopi. Bisma pun membalas pesannya. 'Kau yang terbaik.' Bisma tersenyum lagi, mengusap gambar kaki Annelise yang tertopang high heels pilihannya. Bisma telah menyiapkan tempat untuk acara makan malamnya dengan Annelise nanti seminggu lalu. Bisma akan terus memanjakan tunangannya itu agar acara pernikahan mereka semakin spesial nantinya. Bisma akan membuat Annelise melayang dengan segala perilakunya. Anggap saja Bisma sedang menebus waktunya yang 2 tahun ini berkurang bersama sang pujaan hati. Pernikahan mereka yang kurang dari 3 minggu lagi membuat Bisma semakin tak sabar dengan waktu. Jika boleh, Bisma ingin memutar waktu hingga ke 3 minggu ke depan agar ia bisa segera memiliki Annelise seutuhnya. 'Bagaimana dengan gaunnya?' Bisma kembali mengirim pesan pada Annelise karena ia tadi berpikir akan segera mendapat gambar Annelise dengan gaun merah pemberiannya. Tapi 15 menit berlalu tanpa balasan gadis itu. Bisma harus segera berangkat ke kantor. Tapi ia ingin melihat Annelise nya dulu mengenakan gaun itu. Bisma mengernyit dan melihat jam di ponselnya. Biasanya Annelise akan terus membawa ponselnya saat ia sedang berbalas pesan dengan Bisma. Karena Bisma tak suka pesannya diabaikan. Jam segini bukan waktu Annelise mandi. Annelise akan mandi sekitar satu setengah jam lagi jika ia punya jadwal kuliah pagi hari ini. Bisma pun menghubungi nomor Annelise. Tak tersambung. Bisma menahan napasnya sejenak kala jantungnya berdetak dengan cepat. Perasaannya tak karuan. Ia khawatir pada gadisnya itu. Mematikan ponsel bukanlah gaya Annelise. Bisma akan sangat marah jika sampai tahu Annelise mematikan ponselnya dan ia tak bisa memastikan keadaan Annelise. Bisma menghubungi seseorang. "Annelise keluar dari apartemen?" "Belum, Tuan. Setelah kurir tadi datang, nona Annelise belum terlihat lagi." "Aku akan ke sana." Bisma menyambar jasnya dan segera berlari keluar dari rumah untuk pergi menemui Annelise. Tak peduli pada jadwalnya yang akan dimulai pukul 6 nanti. * * * Tanpa mengetuk pintu, Bisma memasukkan password pada pintu apartemen Annelise dan masuk begitu saja. Hal pertama yang ia lihat adalah Annelise yang duduk bersandar di kaki kursi dengan memijit kakinya dan kini gadis itu mendongak menatapnya karena sadar seseorang masuk ke apartemennya. "Baby, what happened with you?" tanya Bisma kemudian berlari menghampiri Annelise dan menyingkirkan tangan Annelise yang masih memegangi pergelangan kakinya. "Jangan menyentuhnya begitu, kau tidak tahu bagaimana menyembuhkannya!" ucap Bisma sedikit tinggi melihat kaki Annelise sudah membengkak biru. "Sakit, Bis," adu Annelise nyaris menangis. Bisma mendongak, menatap Annelise dan mencium keningnya sekilas untuk sedikit menenangkannya. Pria itu meraih lengan Annelise agar mengalung di lehernya lalu mengangkat gadis itu ke kamar. Annelise sempat meringis saat kakinya diangkat walau lukanya tak tersentuh secara langsung. Annelise menenggelamkan wajahnya di d**a Bisma agar tak sampai menangis. Bisma menatapnya miris lalu meletakkannya di atas ranjang dengan hati-hati. Lagi-lagi Annelise meringis saat kakinya menyentuh kasur. Pasti sakit sekali. pikir Bisma. Bisma mengambil ponselnya dan menghubungi dokter untuk segera datang. Tanpa menyebutkan alamatnya, dokter itu sudah hapal apartemen Annelise karena Bisma sering memanggilnya ke sana saat Annelise tampak kurang sehat. Bahkan pernah dokter itu datang kes ana saat Annelise dan Bisma sedang bertelepon dan Annelise tiba-tiba bersin. Padahal Annelise hanya bersin biasa tapi Bisma mengira Annelise terserang flu. Bisma kembali duduk di tepi ranjang Annelise dan memperhatikan lukanya. "Yang pertama, kenapa tiba-tiba ponselmu mati dan bukannya menghubungiku untuk segera datang-" "Pons-" "Jangan membiasakan diri memotong ucapanku, Annelise. Kau lupa itu?" "Maafkan aku." Annelise menunduk, mengaku salah. "Yang kedua, seharusnya lukanya tak sebengkak ini, bukan? Kau menggunakan tanganmu sembarangan dan semakin memperparahnya," Bisma menjeda sedikit lalu menatap Annelise yang masih menunduk, mengangkat dagu gadisnya dengan jari telunjuk juga Ibu jarinya dengan lembut, "berapa kali aku bilang jangan berlarian ketika sedang menggunakan high heels? Aku tahu kamu pandai menggunakannya. Aku tahu kamu biasa mengenakannya. Ini memang pertama kalinya terjadi. Tapi Annelise, bisakah kau mendengarku dan membuat dirimu selalu baik-baik saja? Jika kamu tidak berlarian, pasti hal ini takkan terjadi, bukan? jantungku nyaris berhenti setiap hal buruk terjadi padamu." Bisma dan Annelise masih saling menatap dengan dalam. Pancaran mata keduanya berbeda. Bisma menatapnya khawatir dan sendu. Sedangkan mata Annelise mengatakan maaf juga penyesalan yang sangat dalam di sana. "Kau bisa menjawabnya sekarang," titah Bisma setelah merasa cukup memberikan ceramah gratis pada tunangannya. "Maafkan aku." Kalimat pertama yang meluncur itu membuat Bisma membuang napasnya sedikit lega karena Annelise tahu kesalahannya dan berharap hal ini tidak akan terulang lagi. "Ponselku ikut jatuh hingga mati jadi aku tidak bisa menghubungimu. Aku hanya mencoba sedikit meringankan sakitnya dengan sedikit menekan bagian atasnya tapi aku tidak tahu jika itu justru berbahaya. Percayalah, ini sakit sekali." Kalimat Annelise melirih di bagian akhirnya. "Maafkan aku. Aku tidak bermaksud tidak mendengar ucapanmu. Aku begitu antusias saat mengirimkan gambarnya padamu. Dan aku tak sadar jika aku sedang berlarian. Maafkan aku. Aku takkan mengulanginya." Annelise kembali menunduk. "Aku tidak menyangka bisa jatuh seperti tadi. Maafkan aku, Bisma." Annelise menggigit bibir bawahnya setelah penjelasannya berakhir. Ia takut Bisma akan marah karena kecerobohannya. Bisma mengusap kepala Annelise lalu mengangguk pelan. "Tidak apa-apa, maafkan aku yang hampir membentakmu di saat kamu kesakitan seperti ini." Annelise mengulum senyum manis pada Bisma. "Aku mengerti kamu sangat khawatir tadi." Bisma beralih mengusap pipi Annelise. "Dokter akan segera datang." "Aku... merusak acara kita malam ini." "Baby, jangan pikirkan itu. Kau hanya perlu harus cepat sembuh." Annelise mengangguk. "Kamu bisa berangkat sekarang. Dokter akan memberitahumu keadaanku nanti melalui telepon. Jangan khawatir." "Bisa kau mengulanginya? Apa yang ada di kepalamu sebenarnya, Annelise? Kaupikir bisakah aku meninggalkanmu di saat seperti ini? Aku akan jadi pria paling b******k jika melakukannya." "Aku tidak apa-apa—" "Tidak apa-apa itu tidak akan keluar dari mulut dokter nanti saat memeriksamu." Annelise menghembuskan napasnya pelan. Keras kepala Bisma memang tak bisa ditandingi. Bisma mengusap pipi Annelise lagi. "Sakit sekali, bukan?" Annelise mendongak, menatap manik khawatir itu yang tiba-tiba menatapnya sangat dalam. Annelise mengangguk kecil. "Ingin sarapan apa? Aku akan memesankannya." "Sesuatu dengan kentang. Aku menginginkannya." Bisma mengangguk dengan senyum menawan kemudian menghubungi seseorang dengan ponselnya.  Tinggalkan vote dan komentar gengs
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN