"Selamat Pagi Mbak Ara, ini ada kiriman paket buat Mbak Ara," lapor Cici salah satu pegawai di butik Ara.
"Dari siapa, Ci?" tanya Ara, tanpa menghentikan kegiatannya dalam membuat sketsa gaun malam.
"Mbak Ara bisa lihat sendiri, saya tidak berhak membaca ini," ucap Cici sopan.
Cici meletakkan sebuah paket dalam kotak yang cukup besar di atas meja, samping Ara membuat sketsa gaun. Karena merasa penasaran akhirnya Ara menghentikan kegiatannya, dan membuka kotak di sampingnya.
"Dari siapa, ya, kira-kira ini?'' gumam Ara, dan masih bisa di dengar Cici pegawainya.
Cici tidak lantas langsung beranjak pergi, karena saat ini ia bertugas membersihkan ruangan Ara. Panggilan 'Mbak' memang sengaja Ara pinta, karena ia tidak mau di panggil Nona.
Setelah paketan itu terbuka, terlihat berbagai jenis cokelat lezat dan mahal terdapat di dalam kotak. Ara langsung tersenyum ceria, bagaimana bisa seseorang yang mengirimkan cokelat saat ini tahu kesukaannya.
"Kira-kira siapa pengirimnya, dan kenapa dia bisa tahu kalau aku suka sama namanya cokelat,'' lagi-lagi Ara bergumam, dengan ekspresi bahagia seperti anak kecil.
Ara dengan cepat membuka kartu ucapan berwarna pink, yang sengaja diletakkan di atas cokelat. Kemudian ia mulai membaca satu per satu kalimat di dalam kartu itu.
Dear : Princess Ara.
Apa kamu masih mengingatku, seorang pangeran yang kamu tabrak dengan kereta kencanamu malam itu? Semoga saja kamu masih mengingatnya, karena aku sendiri tidak bisa melupakanmu.
Benjolan di dahiku juga sudah hilang, jadi kamu tidak perlu lagi merasa khawatir. Apa kamu sudah ingat, siapa aku? Kalau sudah ingat, berarti saat ini wajahku telah menari-nari dipeluk matamu 'kan. (Reza menyematkan emoticon tertawa)
Semoga hadiah kecil dariku, bisa membuat harimu menyenangkan. Oh, iya, apakah kita bisa bertemu. Kalau kamu mau, aku akan sangat senang sekali.
Reza Fahreza.
Tanpa sadar, Ara menggumamkan nama Reza cukup keras. Cici yang tengah membersihkan ruangan Bos-nya itu langsung menoleh, sekaligus merasa penasaran. Kenapa Bos-nya terlihat bahagia.
"Mas Reza ....!"
"Ah, kirain dia sudah melupakan aku. Tapi, nyatanya dia masih mengingatku. Padahal beberapa hari ini karena tidak ada kabar darinya, kupikir dia telah lupa padaku."
"Melihat paket ini, dengan berisikan banyak macam cokelat kesukaanku dia masih mengingat dan mencari tahu semua tentang diriku," Ara berbicara sendiri, seraya melihat-lihat cokelat di dalam kotak sesekali ia mengangkatnya.
Cici merasa senang, akhirnya Bos-nya menyebut nama pria. Ia yakin, kalau pria yang ia sebut tadi adalah pria spesial di dalam hati Bos-nya.
"Wah ... bau-bau orang yang lagi kasmaran, nih, kapan-kapan kenalin sama kami, dong, Mbak Ara," goda Cici.
Godaan dari karyawannya, seketika membuat Ara salah tingkah. Ia masih belum terlalu dekat dengan Reza, jadi ia tidak akan bisa banyak bicara tentang pria itu.
Karena tidak ingin semakin mendapatkan godaan dari Cici, akhirnya Ara memberikan separuh cokelat di dalam paket itu ke Cici untuk di bagikan pada karyawan lainnya.
"Iih, kamu ini."
"Ini, bawa keluar dan kamu boleh makan," usir Ara halus, dengan memberikan Cici cokelat.
"Tapi, Mbak Ara belum jawab pertanyaan saya tadi. Sekarang jawab, ya, saya janji tidak akan menyebarkan pada teman-teman yang lain. Saya akan menyimpannya dalam hati, karena saya juga merasa senang melihat Mbak Ara mulai jatuh cinta," ucap Cici, dengan posisi masih berdiri di samping Ara.
Cici tidak mau beranjak keluar, padahal Ara telah memintanya pergi.
"Apa kamu masih di sini, Ci? Baiklah, besok kamu tidak perlu datang ke burukku lagi," ancam Ara, karena Cici tidak mau menurut.
"Ii--iya, saya akan keluar," takut Cici dengan sedikit berlari keluar kantor Ara.
Sepeninggal Cici, Ara membuka salah satu cokelat pemberian Reza kemudian memakannya. Entah mengapa, saat ini ketika ia makan cokelat dari Reza rasa cokelat itu beribu-ribu nikmat. Berbeda dengan cokelat yang pernah ia makan selama ini.
'Rasanya enak sekali, kenapa cokelat ini berbeda sama yang dibelikan Papa, ya?' monolog Ara, seraya menikmati cokelat di tangannya.
***
Ara masih berkutat dengan sketsa gaun malam yang ia buat dari tadi, hingga tanpa sadar ia melupakan jam makan siangnya.
Cici dan teman-temannya berniat makan siang dahulu, tapi Cici tidak lantas langsung pergi seperti temannya yang lain. Ia menuju ruang kantor Ara, kemudian mengingatkan wanita cantik itu untuk makan siang.
'Pasti Mbak Ara akan melupakan jam makan siangnya, kalau tidak di ingatin pasti Mbak Ara terus membuat sketsa gaun,' gumam Cici, setelah itu ia mengetuk pintu kantor Ara.
Tok! Tok!
Mendengar ketukan pintu, Ara menyahut tapi tangannya tidak berhenti meneruskan sketsa di hadapannya.
"Masuk!"
"Mbak Ara ... ini sudah jam makan siang, lho, jangan lupa makan siang," Cici mengingatkan.
"Iya, terimakasih sudah diingatkan Ci."
"Sama-sama, saya pergi dulu," pamit Cici, berniat menyusul teman-temannya makan di warung dekat butik Ara.
"Iya."
Pintu pun tertutup kembali, sesaat Ara langsung merasakan suasana kantornya begitu sunyi. Ia pun menaruh pensil, kemudian meregangkan otot di tangannya.
"Ah, lelah sekali. Perutku juga sangat lapar, makan cokelat tidak membuatku kenyang. Lebih baik aku keluar, dan pergi cari makanan enak dulu."
"Makan soto ayam kampung, dengan sambal yang pedas dan kuahnya panas, uh, sepertinya enak sekali," batin Ara, tidak lama ia mengambil tas selempangnya kemudian pergi ke warung soto langganannya dan Sintia sahabatnya.
Setelah keluar dari butik, Ara lupa kalau hari ini ia di antar oleh supir. Sekarang supirnya sedang pulang, dan akan menjemputnya di sore hari.
'Aahh ... kenapa Mang Edi harus pulang, di saat perutku sedang lapar seperti ini? Sekarang aku harus cari taksi,' gerutu Ara dengan memegangi perutnya yang lapar.
Hampir menunggu lima menit, akhirnya ada taksi yang lewat. Tanpa membuang waktu Ara menyetop taksi itu, begitu taksi berhenti ia langsung masuk ke dalam.
"Pak kita ke alamat ini, ya," ucap Ara setelah memberikan kartu alamat pada supir taksi.
"Baik, Non."
Taksi pun melaju dengan sedikit kecepatan, hanya membutuhkan waktu sepuluh menit akhirnya taksi yang ditumpangi Ara berhenti di depan warung soto ayam cukup terkenal di daerah Jakarta.
"Ini uangnya, Pak, terima kasih," Ara memberikan uang lima puluh ribuan, kemudian ia langsung turun.
"Sama-sama ... ini, Non, kembalinya," jawab supir taksi.
"Buat Bapak saja, ya," Ara berucap dengan senyum tulusnya.
"Terima kasih banyak, Non," senang supir taksi, saat ia mendapatkan rejeki lebih.
"Sama-sama, Pak."
Ara melangkah pergi, meninggalkan taksi yang masih terparkir di tempat tadi. Sang supir paruh baya itu terus saja memandangi punggung Ara, hingga gadis mungil itu menghilang di balik pintu. Kemudian supir taksi pun pergi, mencari penumpang lagi.
***
Di dalam warung
Terlihat begitu ramai pengunjung, hingga Ara harus mencari tempat duduk yang kosong. Saat ia akan melangkah ke belakang, tiba-tiba ia mendengar suara yang cukup ia kenali.
"Ara! Ara! Sini ...."
Panggil seseorang, tidak lain adalah Sintia Salsabila sahabat Ara. Merasa dipanggil Ara langsung menoleh ke sumber suara, dan melihat sahabatnya tengah duduk dengan seorang pria.
"Sintia ... kamu di sini juga, dengan siapa?" tanya Ara dengan menghampiri sahabatnya.
"A--aku ...."
"Sendirian, tadi, tapi mau makan ketemu temanku di sini," jawab Sintia gugup, karena tidak ingin Ara tahu kalau dia memiliki kekasih.
Pria di hadapan Sintia menatap kekasihnya dengan tatapan tanya, dia hanya diam dan mengikuti apa yang diucapkan Sintia pada Ara.
"Kenalin, dia Aldi, teman baikku," sambung Sintia memperkenalkan Aldi sebagai teman pada Ara.
"Ara."
"Aldi."
Setelah Ara dan Aldi berkenalan, Ara duduk di samping Sintia. Tapi, Ara tidak tahu jika aura di antara kedua kekasih itu mulai memanas. Karena Aldi merasa tidak dihargai sebagai kekasih.
"Sepertinya aku masih ada urusan, jadi aku pergi dulu," pamit Aldi dengan nada datar.
Sintia paham dengan apa yang dirasakan kekasihnya Aldi, tapi saat ini ia tidak ingin Ara sahabatnya tahu kalau selama ini Sintia sering bergonta-ganti pacar. Sintia ingin terlihat lugu, dan seperti gadis baik-baik di hadapan sahabatnya, dan orang tua Ara.
Aldi langsung berlalu pergi, tanpa menyentuh makanan yang baru saja di sajikan oleh pemilik warung soto. Karena tidak ingin hubungan percintaannya berakhir dengan Aldi, Sintia berinisiatif mengejar kekasihnya.
"Ara aku ke depan sebentar, ya, aku lupa memberitahu sesuatu pada temanku tadi," ucap Sintia dengan terburu, tanpa mendengar jawaban Ara.
"Iya."
Di depan warung, tepatnya di area parkiran motor. Aldi langsung terburu menaiki motor metiknya, Sintia yang baru saja keluar dari dalam warung langsung menghampiri kekasihnya dan meminta Aldi mendengar penjelasannya terlebih dahulu.
"Aldi tunggu!"
"Jangan pergi dulu, dengerin penjelasanku, ya," bujuk Sintia, seraya memegang lengan Aldi yang bersiap pergi.
"Kenapa?! Kenapa kamu menahanku untuk pergi, bukankah tadi kamu memperkenalkan aku dengan temanmu itu aku adalah teman!!"
"Jadi, selama ini hubungan kita tidak berarti apa-apa buatmu. Bagus, kamu telah membuatku kecewa Sintia. Kupikir kamu bisa berubah menjadi wanita yang baik, tapi nyatanya kamu sama. Kamu masih menjadi wanita egois, dan hanya memikirkan perasaanmu sendiri," marah Aldi, ketika mengingat Sintia dahulunya memang suka mempermainkan perasaan pria, apalagi pria sepertinya yang tulus mencintainya.
"Bukan seperti itu, Aldi. Aku hanya tidak mau Ara tahu kalau selama ini aku sudah memiliki kekasih, sebab selama ini aku bilang sama dia dan orang tuanya kalau aku itu mau fokus mencari pekerjaan dan mengejar impianku agar jadi wanita sukses."
"Ara selalu melihatku seperti gadis baik-baik, yang tidak pernah pacaran dan datang ke diskotik. Tapi, nyatanya kamu tahu sendiri aku seperti apa. Dunia malam sudah menjadi hal biasa buatku, datang ke diskotik, minum, berjoget dan b******u dengan pria yang dekat denganku juga bukan tabu lagi buatku," jelas Sintia
Aldi semakin heran dengan pemikiran Sintia, yang menyembunyikan keburukan dirinya di belakang Ara sahabat baik Sintia.
"Terus, kamu pikir dengan menyembunyikan semua dari sahabatmu itu apa kamu menjamin suatu saat dia tidak akan tahu begitu?"
"Bangkai yang ditutupi rapat sekalipun, pasti akan tercium juga. Aku yakin, sahabat baikmu itu pasti akan tahu bagaimana kelakuanmu selama ini. Jadi saranku, sebelum sahabatmu tahu dari orang lain dan kecewa padamu. Lebih baik kamu katakan siapa dirimu sebenarnya, dan untuk hubungan kita lebih baik kita akhiri sampai di sini," putus Aldi.
Sintia yang telah berusaha menjelaskan, dan berakhir malah diputusin sama Aldi. Bukannya ia sedih ketika hubungannya berakhir, yang ada ia malah senang. Bahkan, ia dengan kata-kata kasarnya ia bisa memiliki kekasih jauh lebih dari Aldi.
"Oke, kita putus! Aku juga sudah muak denganmu, padahal tadinya aku mau memberikanmu kesempatan agar kamu mengerti posisiku. Tapi, aku salah kamu lebih memilih memutuskan hubungan kita."
"Ingat Aldi, aku bisa saja mendapatkan pria yang jauh lebih tampan, kaya dan jauh lebih segalanya darimu, camkan itu! Saat itu kamu pasti akan menyesal, setelah melepaskan wanita cantik seperti diriku," sombong Sintia.
Ucapan Sintia seketika membuat Aldi tersenyum remeh, dan malah ia lega karena telah melepaskan wanita sombong seperti Sintia.
"Iya ... kamu memang cantik fisikmu saja, Sintia. Tapi, hatimu busuk. Aku saat ini bukan mencari wanita yang cantik fisiknya saja, sekarang aku mencari wanita cantik hati dan akhlaknya. Aku lega, karena aku bisa mengucapkan kalimat putus tadi. Dengan begitu aku tidak pernah menyesal melepaskan wanita seperti dirimu, Sintia," sanggah Aldi, dengan sedikit menyindir Sintia. Kemudian ia mulai melajukan motornya, meskipun tidak memungkiri perasaannya kalau ia juga sedih karena kegagalan cintanya.
Sintia menatap Aldi berlalu pergi dengan tatapan kesal, karena selama ini ia yang selalu memutuskan hubungannya dengan pria. Tapi, kali ini ia yang diputuskan oleh pria.
'Lihat saja nanti kamu Aldi, kamu pasti akan menyesal karena telah melepaskan diriku,' monolog Sintia, dengan dendamnya.
Begitu motor Aldi sudah tidak terlihat, Sintia mengendalikan dirinya agar terlihat biasa di hadapan Ara sahabatnya. Setelah tenang, Sintia bergegas ke dalam menuju tempat duduk yang ia duduki tadi dimana ada Ara juga di situ.
'Aku tidak mau sampai Ara melihat wajahku yang terlihat kacau, meskipun aku tidak sedih karena Aldi memutuskan hubungan kami. Tapi, rasa kesal dan dendam dalam diri ini, ingin sekali membuat dia menyesal telah melepaskan aku,' batin Sintia.
Sesaat Sintia mengatur pernafasan, dan membenahi wajah dan rambutnya. Ia ingin terlihat seperti gadis polos, dihadapan Ara. Dengan begitu, ia akan selalu mendapatkan apa yang ia mau dari Ara. Selain uang, tempat tinggal dan juga makanan selalu ia dapatkan dengan mudah dari Ara dan Bu Nara Mama Ara.
"Hai, melamun saja," Sintia mengagetkan Ara yang baru saja menerima telepon dari seseorang.
"Ahh ... kamu ngagetin saja, Sintia," Ara memukul kecil lengan sahabatnya, tapi ekspresi wajahnya tidak bisa menutupi kalau saat ini ia sedang bahagia.
Sintia merasa ada yang berbeda dari Ara sahabatnya, ia melihat wajah Ara lebih bersinar. Ia pun mulai penasaran, ada hal baik apa hingga sahabatnya itu bisa sebahagia sekarang.
"Sepertinya kamu sedang bahagia, Ara?"
"Ada hal baik apa, hingga kamu bisa mengeluarkan ekspresi indah seperti ini," tanya Sintia dengan bujuk halusnya.
Sebab Sintia akan selalu iri, dengan apa pun yang dimiliki oleh Ara. Ia sering merasa kalau Ara itu tidak pantas mendapatkan semua kebahagiaan, baik dari orang tua Ara maupun orang-orang terdekat Ara. Seharusnya ia merasa kalau dirinya yang lebih pantas untuk mendapatkan semua itu.
Mendengar itu, Ara langsung menoleh ke arah Sintia seraya membingkai wajahnya sendiri. Ara pun tidak menyadari, jika nama Reza bisa membuat pengaruh banyak pada dirinya. Ia pun tidak sabar untuk menceritakan tentang pertemuaanya dengan Reza, pria telah mencuri hatinya.
Ara tidak tahu, jika wanita dihadapannya akan menjadi duri dalam hubungannya kelak Reza pria yang saat ini telah mencuri hatinya.
Bersambung