6. Curhat dengan Sahabat

2413 Kata
"Benarkah? Apa sangat terlihat sekali?" tanya Ara masih dengan membingkai wajahnya. "Iya, kamu terlihat bahagia hari ini. Jadi, wajahmu bersinar, seperti mentari pagi hari," jawab Sintia, dengan menyuapkan makanan soto ke dalam mulutnya. Sintia merupakan sahabat baiknya, dan Ara tidak akan menyembunyikan apapun itu dari sahabatnya. Terutama cinta pertamanya, ia ingin Sintia menjadi orang kedua setelah Mamanya yang tahu. Padahal malam itu, Pak Nathan juga tahu di mana putri kesayangannya mulai jatuh cinta. "Sintia, aku mau kasih tahu sesuatu sama kamu. Tapi, kamu jangan kaget, ya," Ara memperingatkan. Sintia mendengar peringatan itu hanya menganggukkan kepalanya, dan ia lebih fokus menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Sedangkan makanan Ara di hadapannya, malah terabaikan. Padahal tadi, sebelum ke warung soto Ara mengeluh sangat lapar. "Oke, aku akan mulai cerita." "Aku bahagia, karena aku sedang jatuh cinta sama seorang pria tampan dan dia seperti pangeran dalam dongeng tampan sekali," ucap Ara cepat. Degh! "Uhuk ... uhuk!" Sintia seketika terbatuk-batuk mendengar jika sahabat paling polos seperti Ara bilang kalau saat ini sedang jatuh cinta, seperti mimpi buatnya mendengar itu. Mengingat Ara selalu malu, jika berdekatan dengan pria manapun. "Apa! Ulangi sekali lagi? Apa aku tidak salah dengar, kalau kamu sedang jatuh cinta Ara?" tanya Sintia beruntun begitu reda batuknya, setelah minum es teh pemberian Ara. Kemudian ia meminta Ara mengulangi kalimat tadi, yang diucapkan sahabatnya karena ia tidak percaya. Ara melihat sahabatnya tiba-tiba terbatuk, langsung memberi es teh dan kini tangan kanannya masih mengurut lembut punggung Sintia. Tidak mau sahabatnya penasaran, Ara mengulangi kalimatnya tadi. Meskipun ucapannya kali ini tidak seheboh awal ia cerita, tapi senyuman di wajahnya tidak memudar. "Aku bahagia karena karena aku sedang jatuh cinta, Sintia. Ya, akhirnya hatiku berdebar setelah bertemu pria itu. Pria yang telah mencuri hati, dan juga cinta pertamaku," ucap Ara tenang, tapi syarat makna di dalamnya. "Si--siapa, pria yang bisa membuatmu jatuh cinta Ara? Katakan, bolehkah aku mengenal dan melihat seperti apa wajah pria itu?" "Pria yang mampu membuat seorang Tiara Cahyani Wiraguna jatuh cinta pada pandangan pertama," penasaran Sintia. Ara tersenyum kecil, karena ia tidak menaruh curiga apa pun pada Sintia. Ia selalu jujur, dan terbuka akan isi hatinya pada Sintia. Karena ia menganggap Sintia bukan sekadar sahabat saja, tapi ia menganggap Sintia layaknya keluarga sendiri. Mengingat Sintia sudah tidak memili seorang Ibu, hanya Ayah itupun sangat membenci Sintia. Melihat kehidupan Sintia yang sulit, dan tidak memiliki sanak saudara membuat hati Ara tercubit. Makanya Ara tidak menganggap Sintia orang lain, melainkan keluarga. "Ada seorang pria yang menurutku cukup mapan, dan dewasa kalau dilihat dari penampilannya ketika kami bertemu." "Maaf, untuk kali ini aku hanya bisa bercerita tentang dia seperti itu. Sebab kami masih dalam pendekatan, dan belum ada ikatan di antara kami. Jika nanti, kalau kami sudah dalam tahapan menjalin hubungan aku akan memperkenalkan dia padamu," jawab Ara lembut. Sintia mendengar itu semakin penasaran, seperti apa wajah pria yang telah berhasil meluluhkan hati Ara. Apalagi bisa membuat Ara jatuh cinta pada pandangan pertama. 'Aku tidak tahu seperti apa wajah pria itu, tapi aku tidak mau Ara mendapatkan kebahagiaannya sendiri. Aku akan berada di tengah-tengahnya, dan ikut merasakan kebahagiaan itu. Dengan cara merebut pria itu dari Ara, tentu saja dengan menjalin kasih secara diam-diam di belakang Ara,' batin Sintia dengan kelicikannya. Ara yang melihat Sintia melamun, menggoyang-goyangkan telapak tangannya hingga sahabatnya itu tersadar kembali. "Sintia, apa kamu mendengar ucapanku tadi? Kenapa kamu malah melamun, dan tidak mau menanggapi apa yang kukatakan tadi?" tanya Ara dengan ekspresi cemberut. "Hehe ... maafkan aku, tadi aku sempat melamun. Aku senang, mendengar kamu mulai jatuh cinta pada seorang pria. Padahal selama ini kamu begitu menutup hatimu pada pria manapun, kupikir kamu tidak akan pernah merasakan namanya jatuh cinta. Tapi, aku salah, sekarang aku mendengar sendiri kalau sahabatku ini sedang jatuh cinta," bohong Sintia dalam setiap kalimatnya. Nyatanya, Sintia sama sekali tidak menyukai kalau Ara bahagia. Karena ia merasa iri, dengan semua apapun yang dimiliki Ara selama ini. "Syukurlah, kupikir kamu tidak mendengar lagi apa yang kukatakan. Jadi, kesal sendiri 'kan? Kalau kamu tidak mendengar apa yang kukatakan lagi," kekeh Ara. "Haha ... iya, juga, ya." Ara dan Sintia tertawa, kemudian mereka berdua melanjutkan acara makannya. Sengaja Sintia mengingatkan untuk makan, karena saat ini ia masih lapar. "Makanan kamu hampir dingin, cepat makan," ucap Sintia dengan menunjuk mangkuk soto ayam di depan Ara. "Ah, iya, aku sampai melupakan kalau tadi sebelum kemari perutku sangat lapar. Tapi, saat berbicara denganmu jadi aku melupakan rasa laparku," sahut Ara, dengan mengambil sendok lalu menyiapkan makanan yang ia pesan ke dalam mulutnya. Sintia menatap Ara yang sedang makan, dengan tatapan sulit diartikan. Terlihat sesaat wanita yang kini menggunakan dress di atas lutut itu tersenyum culas, tapi gadis dihadapannya sama sekali tidak tahu. Tidak ingin mengabaikan makanannya, Sintia mulai makan juga. Ia yakin, kalau pria yang dekat dengan Ara saat ini. Pasti nanti, akan tenggelam dalam pesonanya. 'Tunggu saja saatnya, aku pasti akan mendapatkan pria yang kamu cintai itu Ara. Maafkan aku, karena selama ini selalu menjadi sahabat pura-pura baik di hadapanmu dan kedua orang tuamu.' 'Kalau ditanya tentang bagaimana perasaanku, saat berteman denganmu. Jawabannya adalah aku tidak menyukainya, aku sama sekali tidak suka padamu dan semua kebahagiaan yang selalu kamu miliki. Itu hanya membuatku iri saja, jadi jangan salahkan aku kalau selama ini di dalam sini aku membencimu,' batin Sintia, seraya fokus dengan makanannya. *** Saat Ara dan Sintia begitu lahap saat makan soto ayam, di dalam restoran terlihat beberapa orang berpakaian khas kantor tengah duduk melingkar di salah satu sudut restoran tersebut. Mereka sepertinya habis makan siang, dan di antara beberapa itu terlihat seorang Reza Fahreza CEO muda yang kini mulai dicintai Ara. Ada juga Pak Nathan, di sana. Sepertinya hanya Reza yang mengenali pria paruh baya itu sebagai Ayah dari Tiara, niat Reza setelah para perwakilan petinggi beberapa kantor pergi ia akan berbicara empat mata dengan Pak Nathan. Tibalah kesempatan itu tiba, ketika Pak Nathan tengah bersiap pulang atau kembali ke kantor Pak Nathan. Reza yang memang punya niat ingin berbincang mengenai Ara, langsung menahan langkah Pak Nathan. "Pak Nathan tunggu sebentar, Pak," panggil Reza sopan, dengan sedikit berlari menghampiri Pak Nathan. Merasa dipanggil, Pak Nathan seketika membalikkan tubuhnya dan menatap siapa yang memanggil dirinya. Sedikit heran, karena ia merasa tidak mengenal pria dihadapannya. "Iya ... ada apa, ya?" tanya Pak Nathan cepat, karena ia tidak suka berbasa-basi. "Bisa kita bicara sebentar, Pak, ada hal pribadi yang ingin saya bicarakan. Ini mengenai putri Anda," jawab Reza, dengan mengisyaratkan mengajak Pak Nathan duduk di kursi yang ia tunjuk. Degh! 'Putri? Apa ini berkaitan dengan Araku, siapa sebenarnya pria ini?' tanya Pak Nathan dalam hatinya, sekaligus penasaran kenapa pria muda dihadapannya sampai mengenal Ara-nya. "Baik." Pak Nathan tanpa pikir panjang lagi, ia langsung duduk di mana kursi tadi telah ditunjuk oleh pria muda di sampingnya. Reza seketika tersenyum kecil, ia merasa senang karena ajakannya diterima baik oleh Pak Nathan. Setelah keduanya duduk, dan saling berhadapan. Pak Nathan menunjukkan jati dirinya sebagai seorang pengusaha sukses, ia duduk dengan wibawanya yang besar dan tidak ingin diremehkan. Apalagi di hadapannya adalah sosok pria yang beberapa hari ini memenuhi pikirannya, ya, bukan tanpa alasan ia terus berpikir siapa pria saat ini dekat dengan Ara-nya. Bersyukur takdir mempertemukan, sebelum Pak Nathan mencari tahu siapa pria yang diceritakan Ara pada Bu Nara hampir seminggu lalu. "Katakan?! Ada hal penting apa, yang ingin kamu bicarakan berkaitan dengan putriku?!" ucap Pak Nathan datar tapi tegas dengan nada menuntut. Reza tahu pria paruh baya dihadapannya bukanlah orang sembarangan, ia harus berbicara dengan hati-hati jika tidak ingin mendapatkan imbas masalah pada perusahaannya. "Sebelumnya perkenalkan saya Reza Fahreza, CEO dari Fahreza Group," Reza memperkenalkan diri dengan mengulurkan tangannya, tapi Pak Nathan sama sekali tidak menyambut uluran tangan Reza. Bukan karena sombong, tapi Pak Nathan menunjukkan dirinya yang sebenarnya pada lawannya dalam dunia bisnis, dan sekarang dihadapannya bukalah lawan dalam dunia bisnis. Mungkin lebih dari itu, jadi ia tidak akan mudah terlihat lemah atau merendah pada pria di depannya. "Aku tidak tanya namamu, sekarang jawab apa yang kutanyakan tadi?!" tutur Pak Nathan dingin. Reza sedikit tercengang, dengan ucapan dingin Pak Nathan. Meskipun ia beberapa kali mendengar kabar ketegasan, dan dinginnya Pak Nathan dari beberapa rekan bisnis. Tetap saja ia merasa terkejut. Degh! 'Pak Nathan, kata-kata biarpun sedikit tapi sungguh membuat lawan berbicara terintimidasi. Aku tidak boleh menyerah, karena ini adalah langkah pertamaku sebelum benar-benar mendekati Ara tidak lama lagi.' 'Aku tidak akan mundur, karena niatku mendekati Pak Nathan duluan karena aku ingin pria paruh baya ini memandangku sebagai pria yang gentleman. Selain aku bisa mendapatkan kepercayaan dari Pak Nathan, nantinya aku pasti mendapatkan suntikan saham untuk memperkuat perusahaanku,' niat Reza dalam hatinya. Tidak ingin membuat Pak Nathan marah, atau pun jengah karena terlalu lama menunggu. Mau tidak mau Reza pun mengatakan niatnya untuk mendekati Ara. "Baiklah, saya tidak akan bertele-tele lagi, saya meminta Anda duduk di sini karena saya ingin memberitahu Anda kalau saya menyukai putri Anda Tiara Cahyani Wiraguna.'' Degh! Benar tebakannya, pria dihadapannya memang mengenal putrinya. Sesaat ia merasa tidak senang pada Reza, karena dengan hadirnya Reza maka ia akan kehilangan putri kecilnya. Namun, ia tidak bisa menyangkal bahwa saat ini Ara-nya bukan lagi putri kecilnya. Ara-nya sekarang telah tumbuh beranjak dewasa, meskipun sedih dan tidak rela ia pun akhirnya bisa menerima kenyataan kalau suatu hari nanti akan datang seperti hari ini. 'Menyukai Araku? Cih, apa dia tidak bisa berkata lain selain itu? Araku masih terlalu kecil untuk hal itu.' 'Tapi, mendengar saat Ara bercinta pada Mamanya malam itu. Aku juga menyadari kalau putriku sudah tidak lagi bisa kugenggam jemarinya, dia sudah mulai dewasa. Dia juga mengatakan hatinya mulai berdebar untuk pria ini, hatiku belum rela,' batin Pak Nathan, tanpa sadar netranya mulai berkaca-kaca. Pak Nathan menahan diri agar tidak sampai meneteskan air mata, ia tidak akan terlihat lemah apalagi dihadapan pria yang berniat mendekati putrinya. Dengan kedua tangan terkepal, itu pun tanpa sepengetahuan Reza, dan sebelum ia menjawab apa yang diucapkan oleh pria dihadapannya. Maka ia sedikit memberikan kekuatan pada dirinya sendiri. 'Jangan lemah kamu Nathan, saat ini ada pria yang ingin mendekati putrimu. Bahkan dilihat dari gaya bicara pria di depanmu sepertinya dia serius, dan tugas kamu sebagai seorang Ayah kamu harus memastikan kalau pria di depanmu itu adalah pria baik untuk Ara.' 'Pastikan pria di depanmu tidak sampai melukai, dan menyakiti Ara. Seperti saat Nara dilukai oleh Nizam, sebelum Nara menikah denganku. Aku selalu berharap, dalam doaku kalau Ara bisa bertemu pria yang bertanggung jawab serta mencintai Ara tulus tanpa melihat keluarga kami seperti apa,' monolog Pak Nathan mencoba kuat, dengan harapannya. Reza merasa lega, akhirnya ia telah berhasil memberitahu Pak Nathan kalau ia menyukai putri dari pria paruh baya di depannya. Tapi, setelah hampir lima menit ia selesai mengungkapkan perasaannya, yang ia lihat pria paruh baya dihadapannya bukannya menjawab atau menjawab isi hatinya. Ia malah melihat kalau Pak Nathan malah sedang melamun. 'Kenapa Pak Nathan tidak menanggapi ucapanku tadi, apa dia tidak terpengaruh kalau saat ini aku menyukai Ara Putrinya?' heran Reza. Reza terus menatap Pak Nathan, dan berharap pria paruh baya itu cepat menanggapi isi hatinya pada Ara. Apakah cintanya, dan niat baiknya akan diterima oleh Pak Nathan atau tidak. Itulah yang saat ini memenuhi benak Reza. 'Apa Pak Nathan akan mengizinkan diriku menjalin kasih, dengan Ara? Kalau Pak Nathan memberikan restu, maka aku tidak akan segan-segan segera melamar Ara agar gadis cantik itu cepat menjadi milikku.' 'Aku tidak peduli bagaimana sikap, dan pergaulanku selama ini. Sebelum Pak Nathan tahu, aku harus menunjukkan sikap baik pada orang tua Ara. Sebab saat ini adalah kesempatanku. Selain aku bisa mendapatkan investasi dari Pak Nathan, aku juga bisa mendapatkan gadis mungil itu,' batin Reza berambisi. Karena tidak ingin dalam situasi kesunyian, Reza memberanikan diri menegur Pak Nathan terlebih dahulu, selain itu ia juga penasaran dengan tanggapan dari Papa Ara tentang perasaannya. "Pak, kenapa Anda malah terdiam? Apa saya boleh menjadikan putri Anda sebagai wanita dalam hidup saya, yang menemani saya baik saat saya senang maupun di saat saya susah," ucap Reza pelan, dengan menyentuh punggung tangan Pak Nathan. Mendengar itu, lagi-lagi Pak Nathan menatap wajah Reza dan melihatnya langsung di mata netra Reza adakah kejujuran dalam sana untuk kata-katanya tadi. "Apa jaminan kamu untuk membahagiakan putriku, dan seberapa besar kamu mencintai Araku?" tanya Pak Nathan dengan harapan tinggi pada Reza, kalau pria dihadapannya benar-benar baik untuk Ara. "Saya telah jatuh cinta pada Ara sejak pandangan pertama, meskipun saat ini saya belum bertemu dengan dia lagi, dan mengutarakan cinta saya padanya. Tapi, saya yakin cinta saya pada Ara sangatlah besar, melebihi cinta saya pada diri saya sendiri." "Saya berjanji akan rela mempertaruhkan nyawa saya, jika saya berani menyakiti Ara. Anda boleh memukul ataupun membunuh saya, jika saya benar-benar membuat Ara menangis karena saya menduakan cintanya,'' janji Reza. Mendengar kesungguhan Reza, sedikit membuat Pak Nathan lega. Ternyata ketakutannya tidak beralasan, karena pria di depannya terlihat sungguh-sungguh dalam mengatakan perasaannya. 'Aku tidak bisa menghalangi Ara meraih cintanya, karena kulihat beberapa hari ini dia terus gelisah terus memikirkan pria ini. Jadi, sebagai orang tua aku hanya bisa merestui dan memantau kebahagiaannya dari jauh. Jika Ara bahagia, maka aku juga akan bahagia.' 'Apalagi saat mendengar janji pria ini, aku yakin dia tidak akan macam-macam dengan putriku. Tapi, jika dia berani mengingkari janjinya. Maka benar, nyawanya akan menjadi taruhannya, bahkan semua kekayaan dan perusahaannya akan hancur di tanganku,' monolog Pak Nathan seraya menatap Reza dengan pandangan sulit diartikan. "Baiklah, aku akan mengizinkan dirimu mendekati dan mencintai putriku. Asalkan, jangan pernah sekali-kali kamu menyakiti ataupun dan membuat dia menangis. Jika kamu berani melakukannya, seperti ucapanmu tadi aku akan membuatmu hancur seperti debu," ancam Pak Nathan dengan nada tegas. "Baik, saya berjanji tidak akan pernah melakukan seperti yang Anda katakan. Saya akan setia, dan selalu mencintai Ara," lagi Reza berjanji. Setelah mendengar janji Reza, tanpa berpamitan dan bersalaman dengan Reza, Pak Nathan melangkah pergi begitu saja. Sepeninggal Pak Nathan, Reza mengangkat kedua tangannya dengan ekspresi bahagia. Ia tidak menyangka, ternyata mudah sekali menyakinkan pria paruh baya itu menggunakan janji-janjinya. 'Yeess ... akhirnya aku berhasil meyakinkan pria tua itu, kupikir sangat sulit mendapatkan kepercayaan dan restunya. Mengingat kata orang-orang yang kudengar selama ini, Pak Nathan yang tegas dan dingin. Tapi, apa? Aku sama sekali tidak melihat itu, hanya pria tua seperti orang tua kebanyakan kalau putrinya di dekati pria terlihat mapan sepertiku,' senang Reza, ia sama sekali tidak mempedulikan kalau saat ini ia dipandang aneh oleh beberapa pengunjung restoran. Tidak lama Reza keluar, dan hal utama yang ingin ia lakukan adalah menelepon Ara. Ia ingin mengajak gadis mungil itu untuk dinner makan malam, kemudian ia akan melancarkan niatnya untuk menembak Ara agar cepat menjadi kekasihnya. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN