Sebuah konsekuensi yang harus dijalani dari sebuah pilihan besar untuk bisa hidup bersama, tidak membuat Daffa berhenti mencintai Alma. Namun, setiap dalam perjalanan rumah tangga, pasti akan menemui kerikil-kerikil tajam yang bisa melukai atau membuat mereka terjatuh. Dengan saling menguatkan, mereka yakin bisa melewati segala rintangan dan segala cobaan agar kebahagiaannya tidak akan pernah pudar.
Bahkan selama ini, Alma dan Daffa selalu menebar kebaikan dalam segala bentuk apapun. Baik bersedekah ke anak yatim-piatu ataupun memberikan jaminan kepada para karyawannya. Sehingga, semua orang semakin betah dan tidak ada yang mau berhenti bekerja sampai kapanpun.
Saat ini, tepat sembilan bulan Alma mengandung. Tetapi belum juga ada tanda-tanda untuk melahirkan. Namun demikian, dalam prediksi dokter, Alma akan melahirkan sekitar pertengahan bulan ini. Sehingga, semua persiapan untuk persalinannya sudah disiapkan lebih awal agar tidak terlalu keteteran saat waktunya sudah tiba.
"Daff, kamu jangan kemana-mana dulu, karena istrimu sebentar lagi akan melahirkan. Untuk bulan ini, stop dulu aja tugas ke luar kota ataupun meeting dengan klien dan segala macamnya. Biar pas waktunya Alma melahirkan, kamu ada disisinya Alma," kata nyonya Cristin kepada anak semata wayangnya.
Mereka terlihat sedang duduk santai setelah menyelesaikan sarapan paginya. Bahkan tuan Dimas pun ikut nimbrung dan mengambil koran harian yang baru saja dikirim oleh si pengantar koran langganannya. Karena cuacanya terlihat mendung, jadi suasana aktivitas paginya pun kurang begitu semangat. Sehingga mereka habiskan waktunya di ruangan keluarga.
"Baik Ma. Tapi hari ini aku mau ke kantor dulu kebetulan ada meeting yang harus aku selesaikan. Dan sekalian mengumumkan pada karyawan agar mulai besok tidak terlalu sibuk menangani masalah pekerjaan di kantor," kata Daffa dengan cepat.
"Baiklah, cepat selesaikan urusanmu di kantor, nanti kalau sudah selesai langsung pulang lagi. Jangan mampir kemana-mana," kata nyonya Cristin dengan penuh harap agar anaknya cepat kembali pulang ke rumah.
"Iya-iya mama, tenang aja. Aku pasti akan secepatnya pulang kok. Lagian meetingnya nanti siang jadi tidak begitu terburu-buru," kata Daffa dengan santainya.
Tidak lama kemudian, Alma pun datang menghampiri mereka. Ia sembari membawa bekal untuk suaminya. Sudah menjadi kebiasaan Alma, jika Daffa akan berangkat ke kantor, pasti ia akan membawakan sekotak makanan kesukaannya. Dan hal ini lah yang membuat laki-laki itu semakin mencintai Alma.
"Ya ampun Sayang, bisa-bisanya kamu menyiapkan makanan untuk Daffa. Kan ada si bibi yang mengurusnya di dapur," kata nyonya Cristin. Ia terlihat mengkhawatirkan menantunya karena tidak tega melihat orang hamil melakukan sesuatu yang terlihat berat.
"Maaf, Ma. Tapi ini juga dibantuin kok sama—"
Belum juga Alma selesai bicara, tiba-tiba saja Daffa langsung menyelanya. "Kok dibantuin sih? Nanti rasanya beda!"
Mendengar hal itu, otomatis nyonya Cristin langsung geram kepada anaknya. Karena bagi dirinya, menyiapkan makanan bukanlah tugas utama Alma. Buat apa asisten rumah tangga sebanyak itu, kalau kenyataannya Alma lah yang harus melakukan semuanya. Apalagi saat ini dia sedang hamil tua, sudah sepantasnya Daffa mencoba mencicipi masakan orang lain dan tidak bergantung pada makanan yang selalu dibuatkan Alma.
"Daffa! Kamu tuh ya, istri sedang hamil tua malah disuruh masak! Benar-benar kelewatan deh kamu!" ucap nyonya Cristin sembari membelalakkan matanya.
"Tapi kan aku sudah tidak biasa makan masakan orang lain, Ma. Rasanya hambar dan tidak begitu menarik," kata Daffa membela diri.
"Halah alasan! Dasar manja!" ledek nyonya Cristin.
"Manja-manja juga anakmu sendiri, Ma. Selama tidak menggangu kesehatannya Alma, kenapa tidak? Iya kan Al?" ucap tuan Dimas sembari melirik ke arah Alma. "Memang masakan kamu tiada duanya, papa juga sudah tidak mau kalau bukan kamu yang masak."
Mendengar hal itu, Daffa langsung merespon ucapan ayahnya itu. Ia merasa jika ayahnya sedang berada di pihak dirinya. Sehingga, apa yang tuan Dimas katakan membuat Daffa kegirangan. Sedangkan Alma, dia hanya diam sembari duduk di dekatnya nyonya Cristin dan sekali-kali mimik wajahnya terlihat senang.
"Nah kan! Papa juga merasakan hal yang sama kayak aku," kata Daffa sumringah.
"Iya, tapi Alma kan sedang hamil, gak boleh capek. Masa kalian tega sih!" kata nyonya Cristin yang semakin geram. "Ah, sudahlah, percuma ngomong sama kalian berdua, yang ada malah stres jadinya."
"Sudah Ma, tidak apa-apa. Lagi pula aku masih bisa menyiapkan masakan untuk kalian semua. Gak merasa capek kok apalagi berat, aku malah senang memasakkan makanan untuk kalian," kata Alma tersenyum manis.
Namun, nyonya Cristin tidak memedulikan ucapannya Alma, ia terus saja ngomel-ngomel. Bahkan tingkah lakunya membuat Daffa dan tuan Dimas tertawa cekikikan. Keluarga itu selalu membuat Alma bahagia. Sehingga Alma semakin betah dan semakin menyayangi keluarganya Daffa.
Waktu juga sudah hampir siang, walau cuacanya masih dalam keadaan mendung, Daffa pun pamit untuk segera berangkat ke kantor. Kedua bodyguardnya Daffa juga tidak pernah ketinggalan, mereka selalu mengikuti kemana tuannya melangkah.
***
Disisi lain, mantan istrinya Daffa yang bernama Karin, hatinya masih dalam keadaan hancur. Mereka sekeluarga bahkan sudah tidak ada harapan untuk bangkit. Karin yang masih tak kunjung sehat, membuat dirinya semakin terpuruk. Untuk mendapatkan perawatan yang baik, dia harus memiliki biaya yang sangat besar. Sementara keadaan ekonomi mereka sudah tidak ada yang diharapkan.
Pak Danu sebagai kepala keluarga juga sangat bingung harus banting tulang mencari nafkah untuk keluarganya. Sementara aset miliknya Daffa kini sudah tidak dikelolanya lagi. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya mereka hanya bisa mengandalkan dari Kania agar bisa bertahan untuk hidup. Kebetulan Kania sudah bekerja disebuah cafe yang lokasinya tidak begitu jauh dari pusat perbelanjaan.
Saat itu, Kania sedang dalam perjalanan menuju ke tempat pekerjaannya. Dengan mengendarai sepeda motor yang sudah tua, gadis itu tidak pernah merasa malu. Yang terpenting bagi dirinya bisa sampai ke tempat kerja dengan selamat.
Namun tidak disangka-sangka, dia berpapasan dengan Daffa tepat lampu merah sedang menyala. Hal ini membuat gadis yang berambut panjang itu geram seketika.
Bagaimana tidak, rasa dendam pada laki-laki itu sudah tidak terelakkan lagi. Rasa benci yang masih bersemayam di dalam lubuk hatinya, telah semakin tumbuh dan menjamur karena muncul sebuah kekecewaan yang berujung rasa dendam. Sebagian orang mungkin mudah untuk memaafkan, tetapi tidak semua bisa melakukannya termasuk Kania.
Gadis itu pernah bersumpah akan membalas semua perbuatan Daffa yang dulu pernah menggores luka di hati kakaknya. Bukan tanpa sebab, Kania masih belum tahu apa yang sebenarnya telah terjadi. Yang ada dalam pikirannya hanyalah, benci dan benci saja.
"Cih, kenapa aku harus berpapasan dengan manusia seperti dia. Menyebalkan sekali!" gerutu Kania. "Berhubung kita sudah bertemu lagi, aku akan membuat perhitungan Sama kamu, Daffa! Kita lihat saja nanti, apa yang akan aku lakukan sama orang sepertimu!"