Sesampainya di Cafe, Kania masih dalam keadaan cemberut. Raut wajahnya pun tidak enak dipandang. Maya sebagai teman sepekerjaannya merasa heran karena baru kali ini ia melihat Kania dengan menampakkan wajahnya yang seperti itu. Bahkan, sedari tadi Kania tidak menghiraukan panggilan dari Maya. Sehingga sahabatnya itu pun merasa kesal karena diabaikan oleh teman terdekatnya.
"Kania!" bentak Maya dengan kencang.
Wanita yang usianya tidak jauh berbeda dengan usianya Kania, langsung mengintrogasi sahabatnya itu.
Otomatis Kania yang mendengar hal itu langsung terkejut dan hampir saja menjatuhkan vas bunga yang ada disebelahnya.
"Ya ampun May. Biasa aja dong manggilnya. Aku kaget tahu!" kata Kania yang masih dag dig dug tidak karuan.
"Eh, dari tadi juga aku manggil kamu tuh biasa aja. Tapi berhubung kamunya melamun terus, jadinya aku kesal karena sapaanku tidak kau hiraukan," ucap Maya menyunggingkan bibirnya.
"Iya-iya maaf. Aku juga lagi kesal pagi ini. Kesal sekesal-kesalnya!" kata Kania yang mulai terlihat emosi.
"Loh, kamu kenapa ikutan kesal? Datang-datang malah kesal, mana cuaca sedang mendung lagi. Bikin semangatku jadi tidak b*******h aja," cetus Maya menyunggingkan bibirnya.
"Apa kamu tahu? Aku tadi bertemu dengan seseorang yang sangat aku benci dalam hidupku! Orang yang selama ini membuat hidup keluargaku hancur!" kata Kania dengan penuh amarah.
"Memangnya siapa? Selama ini kamu tidak pernah bercerita sama aku soal orang yang kamu benci," kata Maya penasaran.
"Mantan kakak iparku!" ucap Kania dengan datar. Ia pun sembari berjalan menuju ke sebuah meja untuk membersihkan mesin kopi espresso dan mesin penggiling kopi yang akan dipakainya nanti.
"Apa? Kakak iparmu?" tanya Maya lagi sembari tercengang.
"Mantan kali!" tegas Kania dengan membelalakkan matanya.
"I-iya, maksudku mantan kakak ipar hehe," ucap Maya cengengesan. "Memangnya kenapa dengan mantan kakak iparmu itu?"
"Yang pasti dia sudah membuat kakakku menderita. Dia menceraikan kakakku, dan menikah lagi dengan perempuan lain. Kamu pasti tahu kan betapa hancurnya kakakku, disaat dia sedang sakit lalu diceraikan sama orang yang sangat dicintainya," kata Kania sembari fokus membersihkan mesin kopi.
"Wah, benar-benar tidak punya hati mantan kakak iparmu itu. Untung sudah diceraikan coba kalau enggak, pasti kakakmu itu semakin menderita," kata Maya dengan serius.
"Iya sih, tapi aku tidak terima jika kakakku diperlakukan seperti itu. Tapi tenang saja, suatu saat nanti aku pasti akan membalasnya dengan tanganku sendiri," kata Kania dengan menyipitkan matanya seakan dendam dalam hatinya kian membara.
"Ya sudah, santet aja kalau begitu. Jadi kamu tidak perlu repot-repot membalaskan dendammu pada orang yang sudah kamu benci. Cukup dengan satu langkah, maka dendammu akan terbalaskan tanpa harus menyentuhnya," kata Maya menyengir. Ia sangat puas jika Kania semakin panas hati.
"Halah musyrik!" tukas Kania sembari mendelik ke arah Maya. "Meskipun aku punya seribu dendam pada orang yang aku benci, tapi aku tidak punya pikiran seperti itu, Maya. Aku masih ingat Tuhan. Aku hanya ingin membalas dendam dengan tanganku sendiri walau ujungnya harus berurusan dengan polisi. Dan itu akan membuat aku puas."
"Ya elah, Kania! Kalau kamu masih ingat Tuhan, ya sudah ikhlaskan saja. Buat apa punya hati mendendam kalau ujung-ujungnya ingat sama dosa," kata Maya menyunggingkan bibirnya.
Sejenak Kania terdiam. Memang perkataan Maya ada benarnya juga. Dan lagi, memelihara rasa dendam bisa merugikan dirinya sendiri, tetapi karena hati tak pernah tenang dan selalu dihantui rasa marah, ia bersikeras ingin membalaskan semua perbuatan Daffa demi kepuasan hatinya.
"Kania!" bentak Maya.
Sahabatnya itu benar-benar kesal karena Kania tak kunjung mendengarkan perkataannya.
"I-iya May. Ada apa?" ucap Kania dengan gugup. Raut wajahnya memerah karena malu.
"Makanya kalau orang lain sedang ngomong tuh dengerin!" kata Maya kesal. Untung saja belum ada pelanggan yang datang, andai saja mereka datang, pasti pembahasan balas dendamnya itu akan selesai tanpa jeda.
"Iya-iya. Maaf! Aku lagi mikir soalnya," kata Kania dengan datar.
"Mikirin apa? Mikirin balas dendam untuk mantan Kakak iparmu itu?" tanya Maya mengernyitkan alisnya. "Kania, balas dendam itu gak bakalan ada akhirnya. Biarkan Tuhan yang membalasnya, atau orang lain yang melakukannya, bukan kamu oke?"
"Tidak bisa begitu May. Aku tidak bisa berlama-lama melihat orang yang kubenci hidupnya bahagia. Hati ini rasanya panas dan hancur. Selama aku masih mampu melakukannya sendiri, aku tidak akan menyusahkan orang lain," tutur Kania dengan tegas.
"Ya sudahlah, terserah kamu saja. Aku hanya mengingatkanmu, kalau balas dendam itu kurang baik. Di balik rasa kecewa dan sakit hati, kamu harus bisa melihat bahwa hidup akan jauh lebih indah jika tidak menyimpan rasa dendam. Kamu harus belajar ikhlas dan melupakan yang sudah terjadi. Memang tidak mudah, jika kamu berusaha pasti ada jalannya kok," kata Maya dengan serius.
"Sejak kapan kamu bijak seperti itu?" kata Kania menyunggingkan bibirnya. "Pokoknya, apa yang aku inginkan, harus berhasil. Dan kamu sebagai seorang sahabat harusnya mendukung aku dong, jangan terserah-terserah terus."
"Bodo amat! Itu urusan kamu, aku gak mau ikut campur. Sudah lah, ayo kita bekerja!" kata Maya sembari melangkah menjauhi Kania.
"Ih Maya! Ayolah, bantu aku sebentar saja. Lagi pula belum ada pembeli ini, kita ngobrol dulu sebelum pak manager datang," rayu Kania dengan memelas seolah enggan untuk bekerja.
"Aduh, Kania. Ngobrol apa lagi? Kalau mempermasalahkan yang tadi, aku no coment deh. Lagi pula, katanya mau balas dendam dengan tanganmu sendiri, kenapa minta bantuan sama aku? Yang saran pertama aja kamu gak mau kan?" kata Maya menyunggingkan bibirnya.
"Ya sudah saran kedua saja. Aku gak mau harus berbuat sekeji itu pada dia. Apalagi berpaling dari Tuhan, aku takut kena azabNya, May," kata Kania dengan sorot matanya yang manja.
"Haduh, mau balas dendam tapi takut dosa. Sungguh menggelikan," ucap Maya sembari mendelik ke arah Kania.
Kania yang mendengar ocehan Maya pun langsung tertawa kecil dan bahkan gadis itu terlihat malu ketika dihadapan Maya.
"Ya sudah kamu rebut balik aja mantan kakak iparmu itu, sampai benar-benar hati kamu puas! Dosanya juga lebih ringan dari saran yang pertama," tegas Maya kepada sahabatnya itu.
"Rebut balik? Maksud kamu, aku harus merebut mantan kakak iparku, meski dia sudah punya istri lagi?" tanya Kania mengernyitkan alisnya.
"Yups, biar kamu tidak penasaran!"
"Tapi ... masa iya aku harus jadi perebut suami orang? Apa kata musuhku nanti!" ucap Kania menyunggingkan bibirnya.
"Musuh? Sejak kapan kamu punya musuh, Kania?" tanya Maya menyipitkan matanya.
"Sejak aku menuduhnya sebagai pelakor!"
"Hah, siapa yang kau tuduh pelakor itu?" Maya benar-benar tidak percaya bahwa sahabatnya itu pernah melabrak orang. Padahal, yang ia tahu dari diri Kania adalah, Kania wanita yang santai dan tidak pernah neko-neko. Apalagi tidak pernah sampai memarahi orang.
"Sebenarnya aku salah sasaran. Harusnya yang aku labrak itu si Alma, tapi malah temannya. Makanya sampai saat ini, dia dendam sama aku," ucap Kania. "Nah, kalau kamu suruh aku jadi perebut laki orang, kayaknya gak mungkin juga deh. Ada banyak cara yang akan membuat si Alma menderita."
"Waduh, kamu ini ceroboh banget sih!" kata Maya sembari mendelik ke arah Kania. "Terus, apa yang akan kamu lakukan nanti? Harusnya kamu minta maaf dulu sama-"
"Tidak perlu!" kata Kania sembari memotong pembicaraan Maya. Rasanya gengsi jika Kania harus meminta maaf pada temannya Alma. Lagi pula, Kania merasa tidak bersalah karena ia berpikir bahwa perempuan itu juga sudah menggoda Daffa sebelum menceraikan kakaknya.
"Lihat saja nanti, aku pastikan mereka akan menderita selamanya."