Cancri merasa bosan dengan ocehan yang disuarakan oleh semua saudara ularnya, ia segera mengubah bentuk menjadi setengah ular dan menatap remeh ular-ular kecil itu. Tidak bicara, apalagi tersenyum.
Yang Cancri lakukan hanya diam sambil menggulung ekornya. Ia hanya menggunakan tangannya untuk meraih ular-ular itu, lalu dengan senang hati memutuskan tubuh mereka.
Cancri merasa bosan, ular-ular itu juga sudah tidak menarik minatnya. Pria itu menatap Prince dan merencanakan sesuatu di dalam hatinya.
“b*****h! Aku tidak menyangka kau sampai bisa membunuh Istrimu sendiri!” maki Cancri sambil membunuh satu per satu saudara ularnya. Pria itu sengaja menggunakan ekspresi marah, dan dengan sengaja memaki Prince.
Sejujurnya, ia bahkan tak peduli jika Hazel mati. Wanita itu bukan hal berharga baginya, dan ia juga menggunakan Hazel untuk satu tujuan. Bukan hanya bermain bersama kedua anak tirinya, tetapi menyelidiki kecurigaannya selama ini.
“Jangan terlalu banyak membunuh saudara-saudaramu, Daddy tidak akan suka melihat anak-anaknya terbunuh,” ejek Prince yang masih setia duduk di atas batu besar.
“Pria itu bukan Ayahku!” bantah Cancri. Ia memang tak mengakui Raphael sebagai ayahnya, baginya pria tersebut hanya orang asing dan tidak berguna dalam hidupnya.
Cancri kembali diam, ia lebih tertarik untuk menatap sekumpulan ular kecil itu. Cancri tersenyum kecil saat seekor ular albino mematuk tangannya. Beberapa kali, tetapi Cancri tidak tertarik untuk melenyapkannya dengan cepat.
“Apa sudah selesai?” bisik pria itu, ia menatap tajam ular yang terus dan terus mencoba untuk menyerangnya.
“Jika sudah, sekarang giliranku untuk menyerang,” ujar Cancri kemudian.
Cancri meraih tubuh ular itu dan menariknya hingga putus. Pria itu menatap datar pada ular lain yang mulai menjauh dan tidak berani mendekatinya lagi.
Ia melirik Salamander, anak tirinya itu seperti robot yang tidak mengenal lelah. Katana yang Salamander pegang sudah pasti rancangan milik Glizart dan itu terlihat dari ciri-ciri senjata itu sendiri.
“Aku pikir kau sudah mati.”
Suara Prince membuat Cancri semakin senang, pria itu terlihat kecewa karena Salamander bisa menghindari ular-ular kecil itu.
“Kau pikir aku siapa? Aku adalah anak dari Mommy Felica dan Daddy Alucard, serangan dan racun ular tidak akan mempan pada tubuhku. Glizart sudah memodifikasi tubuhku dengan sempurna.”
Cancri ingin sekali tertawa, jawaban yang Salamander berikan terdengar begitu ketus sekaligus memamerkan dirinya sendiri. Pria itu bahkan ingin bertepuk tangan saat Salamander dengan senang hati mengacungkan katana kepada Prince, pria itu membuka permainan inti dan ia juga harus bersiap.
Sepertinya mengalah dalam pertarungannya kali ini lebih baik. Ia bisa terus bermain dan melakukan banyak hal dikemudian hari. Tidak akan seru jika ia memenangkan pertarungan, permainan akan berakhir dan itu sangat tidak baik.
Cancri menatap datar, ia tahu jika Prince segera memerintahkan ular-ular itu kembali. Hanya satu yang membuat Prince takut, dan orang itu adalah Raphael. Pria yang mengajarinya menjadi b******n, dan pria yang kalah b******n dari dirinya.
“Ular tua menyebalkan, lebih baik aku yang turun tangan sendiri,” gumam Prince dan tubuhnya mulai berubah menjadi ular besar seutuhnya.
Prince mulai menyerangnya dan mengibaskan ekor ke arah Salamander. Cancri segera mengubah bentuknya menjadi ular sempurna, ia juga berusaha menyerang Prince. Prince tentu saja berhasil menghindar, dan Cancri hanya tersenyum dalam bentuk ularnya.
‘Ah, ternyata putraku yang manis sudah sangat agresif kepada wanita,’ gumam Cancri dalam hatinya. Ia melirik kearah Salamander yang terbentur pepohonan.
‘Come to Daddy, kau manis sekali Prince. Daddy menyukai ini,’ ujar hati Cancri lagi. Ia segera bersiap saat Prince mengalihkan fokus kepadanya. Tatapan itu penuh kebencian, dan Cancri tahu jika dirinya sudah menang dalam permainan ini.
“Kau mengkhianati Mommy!”
Cancri menyeringai, memancing Prince untuk membahas Felica ternyata sangatlah mudah. Pria itu harus dengan jeli menghadapi Prince bahkan membalas ucapan pria itu.
“Aku tidak pernah mengkhianatinya, aku mencintainya!” sahut Cancri tegas, ia mulai menyerang Prince dan kembali mengibaskan ekornya. Sekitar lima buah pohon tumbang saat terhempas ekor Cancri yang besar, Cancri menatap tajam Prince dan berpura-pura jika dirinya tidak menerima ucapan pria itu.
“Kau mengkhianatinya dengan memperkosa Istriku dan berniat memilikinya, kau tahu jika Mommy hidup ia akan membencimu sumur hidup.”
Cancri hanya mendengar dan menarik kesimpulan, dari ucapan yang Prince katakan, ia sangat yakin jika Prince mencoba memancingnya untuk bicara lebih lanjut. Cancri tahu, yang mencintainya hanya Ashura, dan Varsa atau kepribadian lain tidak memiliki perasaan cinta kepadanya.
Meski Varsa mengatakan cinta, tetapi Cancri tahu wanita itu tidak akan menggemborkan perasaan itu dengan gamblang. Varsa adalah wanita yang tertutup, hatinya tak akan bisa dibaca dan dipahami.
“Aku tidak akan memperkosa istrimu jika Felica masih hidup. Katakan padaku, Prince, mengapa Felica memilih mati?” tanya Cancri. Ini adalah jalan yang baik untuknya sekarang, ia harus terlihat kehilangan dan tak pernah puas atas kematian Felica.
Cancri lama merasa curiga tentang beberapa hal, makam Felica hanya diisi oleh manusia kloningan. Cancri tahu jika makam itu hanya kamuflase, dan ia curiga jika tubuh asli Felica disembunyikan atau bahkan Felica dihidupkan kembali.
Kepergian Lauye jelas membuat Cancri curiga, apalagi menghilangnya White dan Sam cukup menimbulkan tanda tanya besar.
Cancri melihat Prince jeli, ia tahu pria itu sedang merendahkannya sekarang. Ia bahkan menarik kesimpulan, tidak mungkin Raphael dan Prince merelakan Felica mati begitu saja. Sekarang mengalah adalah hal yang benar-benar baik, ia akan menyelidiki hal itu hingga tandas dan mendapatkan hasil yang lebih dari kata sempurna.
“Mommy memilih mati karena kalian semua ... kalian semua yang menyakitinya. Andai saja aku dapat membunuhmu ... sayangnya Mommy tidak akan menyukainya!”
Pernyataan Prince semakin memperkuat kecurigaan Cancri, ia yakin ada sesuatu yang disembunyikan oleh anak tirinya itu. Untuk apa Felica merasa kecewa jika salah satu diantara mereka mati? Manusia yang sudah mati tidak akan tahu apa pun, dan tidak bisa mengenal siapa pun.
Cancri kembali bersiaga, Prince kini mencoba menyerangnya dan akan lebih baik jika ia terlihat marah. Baru saja pria itu ingin melawan, tetapi Salamander yang menahan tubuhnya dan Prince cukup menghentikan pertarungan mereka.
“Kalian berdua sangat menyebalkan, aku tidak mengerti bahasa ular dan kalian membuatku kebingungan!”
Cancri menatap Salamander yang mengayunkan katana padanya, ia mencoba menghindar tetapi semua terlambat. Salamander berhasil melukai tubuh berharganya, dan setelah ini ia akan menuntut ganti rugi atas rusaknya sisik emasnya yang mahal.
“Ah sial, darah kalian berdua benar-benar beracun!” gerutu Salamander saat melihat tumbuhan mati karena cipratan darahnya dan Prince.
Prince berniat melilit tubuh Salamander tetapi lagi-lagi tubuh Prince dapat dilukai oleh kakaknya itu. Dengan cepat Prince melepaskan tubuh Salamander dan menjaga jarak, seharusnya tidak ada senjata yang dapat menembus tubuh Prince. Cancri yang melihat itu juga menjaga jarak dari Salamander.
Ia sudah lama tidak bertemu dengan Glizart dan ia tak menyangka senjata murahan itu bisa menghancurkan kecantikan sisik dan tubuhnya. Seandainya Salamander tahu, ia mengeluarkan banyak uang untuk merawat tubuhnya yang begitu cantik dan mengagumkan itu.
“Manusia merepotkan,” desis Prince.