Kini mereka berdiri dan saling mengunci dalam tatapan. Yang satu menatap penuh rindu, yang satu lagi menatap penuh kebencian. Suara embusan napas terdengar tak teratur, bahkan detak jantung nyaris menggema dan menjadi suara pemecah sunyi di tempat itu.
Hujan diluar sana seakan tak peduli, petir membelah langit dan guntur menjadi pemecah dalam sunyinya malam.
Pada dinding putih nan bersih, bingkai-bingkai foto berisi potret pernikahan terpajang dengan rapi. Di sana keduanya terlihat saling mencintai, tetapi kini … semua jungkir balik dan sangat berbeda.
"Felica, itu semua bohong," ujar pria bersurai putih nan panjang. "Aku tidak membunuhmu. Aku mencintaimu!" tegas pria itu kemudian.
"Hentikan! Aku tak akan bisa kau bohongi, kembalikan aku ke tempat tinggalku!" tegas Felica.
Cancri menelan ludahnya kasar, rasanya begitu sakit saat wanita itu menatapnya dengan pandangan benci. Iris mata Felica bagai pedang yang menusuk di ulu hatinya, sedangkan ucapan wanita itu menjerat lehernya kuat. Ia tak mengerti cerita apa yang orang-orang itu sampaikan kepada Felica, tetapi ia yakin jika semuanya tidaklah sesuai kenyataan.
Cancri melangkah maju, mencoba mendekati Felica. Selama delapan tahun ini ia memendam rasa rindu, selama itu pula ia merasakan mati. Cancri menarik tangan Felica, memeluk raga wanita itu erat.
Felica yang ada di pelukan Cancri memberontak, wanita itu memukul d**a Cancri cukup kuat, bahkan ia menggigit kulit putih Cancri. Ia tak peduli saat darah terasa di lidahnya, ia benci pria yang kini memeluknya.
"Felica, aku suamimu." Cancri membiarkan rasa sakit menjalar di tubuhnya. Ia tak peduli saat kulit bagian dadanya di lukai oleh Felica. Pria itu menangis, menumpahkan racun bernama rindu sebanyak yang ia bisa.
"Setelah membunuhku delapan tahun lalu, kau membunuh menantuku, dan sekarang … kau ingin membuhku lagi." Felica mendorong tubuh Cancri sekuat yang ia bisa.
Cancri melepas pelukannya, ia terpaku. "Aku tidak membunuh siapapun! Felica, aku mencintaimu." Cancri mencoba mendekati Felica, wanita itu berjalan mundur dan tubuhnya kini tertahan dinding.
"b******n!" Felica mengangkat tangan kanannya, ia melayangkannya dengan cepat.
Plak …
Suara tamparan menggema keras. Felica mendorong tubuh Cancri dan pria itu tersungkur di atas lantai. "Dengarkan, aku tidak pernah menikahi b******n sepertimu!" tegas Felica. Ia tak peduli saat setetes air mata jatuh ke pipinya, entah mengapa hatinya merasa sakit saat melukai pria bernama Cancri.
"Kita sudah menikah, dan cincin di jari manismu itu adalah pasangan dari cincinku. Cincin itu tak akan bisa terlepas, dan cincin itu mengikat kita."
"Persetan dengan cincin ini. Persetan dengan pernikahan yang kau katakan. Aku membencimu!" Felica tiba-tiba merasa pusing, pandangannya mengabur dan ia pingsan.
Cancri dengan cepat mengubah bentuknya menjadi setengah ular, menjadikan raganya sebagai alas dan tempat Felica mendarat. Pria itu membawa raga Felica mendekat padanya, ia segera memeluk Felica dan kembali mengubah dirinya menjadi manusia normal.
Cancri melangkah ke arah tangga, ia menuju ruangan atas dan bergerak cepat ke kamarnya. "Felica, aku tak akan melepaskanmu. Jika aku tak bisa memilikimu, maka tidak ada yang bisa memilikimu juga."