“Astagfirullah, Kak. Aku pikir ada orang jahat di sini.”
Amina berada di depan Zahra.
“Ada apa? Air muka kamu kelihatan sedang memikirkan sesuatu.”
Zahra tersenyum canggung, bagaimana bisa Amina tahu apa yang Zahra sedang pikirkan.
“Ini mengenai Kelvin? “
Zahra lagi-lagi dibuat kaget. “D-dari mana Kakak tahu? “ tanya Zahra, bingung.
Amina tersenyum. “Kakak tahu Kelvin bukan manusia.
“Dari mana Kakak tahu? “kaget Zahra.Zarah semakin terkejut.
“Waktu itu aku tidak sengaja melihat Kelvin tiba-tiba menghilang. Semenjak itu kakak tahu.” Amina tersenyum. “Bisa cerita pada Kakak sebenarnya Kelvin ini siapa.”
Zahra tertegun.
“Kamu percaya pada kakak kan? Kelvin bukan manusia, berarti ia sejenis jin, benarkan? “
Zahra mengangguk. Ia membuka mulutnya untuk mengatakan segalanya pada Amina. Seolah Amina tidak tahu apa pun kecuali yang Zahra katakan.
Zahra keliru.
.
.
“Kita harus ke kastil, “ kata Amina setelah Zahra selesai dengan cerita segalanya..
“Tapi untuk apa, Kak? “Zahra ragu untuk menerima ide Amina mengenia ‘cara berbaikkan dan minta maaf pada Kelvin’.
“Ayolah, Zahr. Kamu bisa meminta maaf di sana bukan? “
“Tapi, Kak...”
“Tidak ada cara lain. Ayolah ! Kakak akan menemani kamu ke sana.”
“Tapi...”
“Zahra, ayolah, tidak ada waktu lagi! “desak Amina.
Zahra berpikir sejenak dan akhirnya ia setuju. Zahra pergi ke kastil mengajak Amina. Sesampainya di kastil, Zahra langsung bertemu Kelvin. Kelvin kaget melihat Zahra di sana, Kelvin tidak menyadari kehadiran Amina yang berjalan pelan di belakang Zahra.
“Zahra, kamu... “
“Iya. Saya datang ke sini untuk berterima kasih dan meminta maaf.”
“Maaf untuk apa? “
“Kamu marah pada sayakan, makanya kamu menghilang terus.”
“Kata siapa, saya tidak mungkin marah padamu, Zahr. Saya hanya melakukan sesuatu. Dan terima kasih buat apa? “
“Kemarin kamu membantu kami.”
“Oh...”
Setelah itu keduanya sama-sama terdiam.
“Kelvin, apa saya boleh tanya sesuatu? “
Kelvin mengangguk.
“Kenapa kamu memutuskan untuk mengundurkan diri dari entertainment, banyak orang yang mencarimu untuk menjawab kabar ini, mengenai alasannya.”
“Tidak ada alasan, saya hanya butuh pemulihan tenang. Tenaga saya banyak terkuras lantaran terlalu sering berinteraksi dengan manusia.”
“Tapi di sekolah...? “
“Saya jarang berinteraksi dengan orang di sekolah. Di sekolah saya hanya sering mengobrol denganmu.”
Zahra mengangguk, mengerti. “Lalu bagaimana dengan keinginan kamu izin selama satu bulan?”
“Kamu mendengar percakapan itu?”
“Iya.”
“Itu namanya menguping,” kata Kelvin pelan.
“Maaf...”
“Tidak masalah. Saya malah sangat senang,”
Wajah Zahra sukses memerah mendengar jawaban Kelvin.
“Kamu ke sini sendirian? “
“Tidak, saya ke sini bersama sahabat saya, Kak Amina.”
“Di mana?”
Zahra baru sadar Amina tidak ada di belakangnya, dan satu detik berikutnya Amina muncul dari balik tembok. Amina membawa bunga.
“Taman yang sangat indah,” puji Amina. “Saya sangat suka dengan bunga. Saya mengambil satu bunga untuk di bawa pulang. Bolehkan?” Amina tersenyum pada Kelvin.
“Zahra, taman di kastil ini sangat indah tapi sayang di sana terlalu banyak delusi. Aku mendapatkan satu bunga indah ini karena bantuan.” Amina kembali tersenyum.
“Selamanya bunga palsu akan sangat mudah di kenali, aku suka bunga asli meski ia mudah layu dan mati.”
***
“Bukannya kita sahabat sekarang?” Ilham tersenyum saat melihat anggukan dari lawan biaranya.
“Kamu yang menerima saya menjadi sahabat. Saya sangat beruntung, kamu mempercayai saya.”
“Saya mempercayai kamu karena kamu bersungguh-sungguh untuk kembali ke jalan-Nya. Saya yakin kamu akan berubah.”
“Sungguh, saya tidak bisa berkata apa-apa, kamu begitu mempercayai saya bahkan melebihi Amina.”
“Maafkan, dia, dia bukan tidak mempercayaimu, hanya saja dia tidak tahu kalo kamu ingin berubah. Kelak saat kamu sudah menyatakan diri sebagai bagian dari Islam, Amina pasti akan mempercayaimu.”
“Bukan, bukan itu maksud saya.”
Ilham mengernyit bingung, kenapa ia merasa suara lawan bicara mendadak terdengar dingin, bak musuh yang sedang berbicara.
“Kamu datang ke sini. Dan meninggalkan orang-orang terbayang kamu karena ‘menurut' kamu saya akan berubah.”
Ilham semakin merasa dingin pas kalimat itu, meski senyum juga tampil di wajah pemilik suara itu.
“Saya yakin kamu akan berubah.”
“Oh begitu.” Ia berbalik membelakangi Ilham. “Kenapa saya harus berubah, bagaimana kalo kamu saja yang berubah?”
“Astagfirullah!” Ilham spontan termundur ke belakang. “Apa maksud kamu?”
“Bukan kah kita sahabat? Kamu ingin saya berubah dan saya juga ingin kamu berubah. Bukannya itu adil? “
“Tidak!” jawab Ilham lugas. Matanya menatap lurus lawan biaranya itu. Kilatan mata Ilham menusuk di gelapnya malam.
“Kamu tidak bisa berkata tidak di sini!” serengai jahat tampil dari jubah hitam yang sejak tadi ia gunakan.
“Tidak ada yang akan menolongmu, hanya iblis yang bisa! “
Ilham terus beristigfar, memohon perlindungan kepada Allah agar ditetapkan iman dalam mengapai godaan setan.
“Jangan keras kepala, ‘Sahabat ...”
“Demi Allah, di tangan-Nya lah roh saya, demi kekuatan dan kasih sayangnya. Saya lebih baik mati ketimbang berpaling dari -Nya, pemilik seluruh alam.”
“Tidak ada yang bisa menolongmu kecuali saya.”
Ilham tersenyum kecil, ia menarik nafasnya.
“Apa kamu ingin membaca ayat Qursi untuk saya?” Senyum licik itu tampil. Ia berbalik, menujukan sesuatu di balik punggungnya. “Kenal dia? “
“Zulaikah....” Suara Ilham keluar seperti tercekik. Suaranya berat tertahan seolah ada sesuatu yang tersumbat dari kerongkongannya.
“Kenapa kamu melibatkan Zulaikah?” Mata Ilham menyalak tajam.
Ilham menarik nafas dan membaca ayat qursi. Tapi ayat Qursi yang Ilham bacakan tidak berpengaruh sama sekali.
“Sia-sia!” Suara tawa menggema. “Terima tawaran saya, dan adikmu akan selamat. Kamu tidak akan mendapat pertolongan dari -Nya. Terima tawaran saya, sahabat.”
Ilham menatap Zulaikah, adiknya. Ia tidak akan membiarkan adiknya mendapat masalah.
“Ayo, sahabat majulah.”
Ilham bimbang. Ia hendak mengambil langkah maju.
“Tidak, Kak. Jangan lakukan itu. Lebih baik aku mati di sini ketimbang selamat tapi berakhir di neraka. Tidak, Kak.”
“Diam gadis bodoh! “
“Ilham, maju atau satu-satunya keluarga yang kamu miliki juga akan mati.”
“Apa maksud kamu?! “
“Mereka sudah mati, hust ..pergi ke surga. Abi dan umi mu.”
Zulaikah terisak. “Umi dan abi sudah tiada, Kak. Dia sudah membunuh mereka.”
Dada Ilham terasa sesak. Selama ini ia selalu berada dalam jalan kebaikan tapi kenapa ia malah mendapat semua ini ? Umi dan abinya selalu mengutamakan Allah dalam hidup mereka, tapi kenapa Allah tidak memberi pertolongan untuk mereka?
“Kamu liat, bahkan Tuhan mu tidak mau membantumu. Dia meninggalkanmu. Untuk apa kamu berada di jalan-Nya? Sia-sia.”
Ilham tertegun.
“Kak, jangan dengarkan dia. Kak, ingat, Allah tidak pernah meninggalkan hambanya. Jangan berpaling dari Allah, Kak.”
“Umi dan abi akan kecewa jika Kakak melakukan itu.”
“Kak, tolong pergilah dari sini.”