“Jeng, baju di butik Jeng Selly emang bagus-bagus banget.”
“Ah, Jeng bisa aja. Tapi memang di butik saya semua yang dijual selalu kualitas premium. Kualitas super yang gak akan ada di butik saya, saya jamin itu.”
Mereka tertawa pelan, tawa khas sosialita yang menjadikan tawa hanya sekadar formalitas, bukan sebagai bentuk ekspresi bahagia atau merasa geli atas sesuatu.
“Dia dalam bahaya.” Tiba-tiba seorang pria berpakaian nyentrik masuk ke dalam butik.
Selly menatap tidak suka pria itu, ia mengamati dari atas hingga bawah penampilan yang jauh dari kata modis itu. Selly memberi kode pada pegawainya untuk segera mengusir pria itu.
Dua pegawai pria mendekati orang itu. Selly buru-buru mengajak pelanggannya menjauh dari sana.
“Jeng, Jeng belum liatkan koleksi pakaian yang lain khusus bulan ini?”
“Belum, Jeng.”
“Ayo kita ke sana.” Selly buru-buru menggiring pelanggan.
“Pak, maaf, sebaiknya papa keluar dari butik ini.”
“Kenapa saya di usir? Saya datang untuk anaknya, Sarah.”
Selly tersentak sesaat begitu mendengar perkataan pria nyentrik itu, tapi ia tidak menghentikan langkanya.
“Sarah harus segera dibersihkan, atau ia akan menentang ibunya! “
Selly kali ini menoleh.
“Sarah akan menjauh darimu! Jalan kalian akan berpisah! “
**
Sarah menatap kursi kosong di sebelahnya, Kerly belum bisa masuk sekolah. Zahra juga tidak ada di kelas.
Zahra sedang membantu guru mengoreksi ulangan geografi yang baru saja selesai mereka laksanakan, kebetulan ada jam kosong dikarenakan guru yang mengajar sedang sakit dan hanya memberi tugas guna membuat siswa tetap sibuk berada di kelas sampai pelajaran berakhir. Tapi seperti biasa, ekspetasi tidak sesuai dengan realita, semua tidak berjalan selayak yang diinginkan, para siswa bukannya mengerjakan tugas mereka dengan tertib, mereka malah tidur, main game, atau melakukan hal unfaedah lainnya. Keadaan kelas persis seperti pasar ditambah lagi Willy dan yang lain menjadikan kelas layaknya panggung konser dadakan mereka. Mereka bernyanyi dengan suara sumbang mereka diiringi gendang meja. Inilah tingkat kearifan anak IPS saat jam kosong.
Sarah menghela nafas panjang. Ia merasa kesepian di kelas. Ia mungkin bisa saja bergabung dengan siswi yang sibuk berfoto itu, tapi ia merasa tidak mau melakukan apa pun, tidak berfoto, atau pun tidur. Ia hanya menatap kosong siswa-siswi yang menikmati jam kosong ini.
“Ada yang mau reques lagu? “teriak Willy.
“Gue reques lagu mengheningkan, yang gak ada suaranya, kuping gue udah gak kuat denger suara Lo,” sahut rombongan anak gamers dari arah belakang.
Refleks Sarah tertawa mendengar perkataan yang mewakili suara hatinya sejak tadi.
“Kayaknya Sarah mau reques lagu nih,” kata Willy. “Ukhti, mau reques lagu apa? Lagu kupinang kau dengan bissmilah, mau gak? “
“Cie....”
“Cie... “
Sarah memutar bola mata. Lagi-lagi Willy membuatnya kesal. “Gak usah buat gue kesel bisa gak sih, Lo!!”
“Belum bisa. Tapi gue mau kok belajar buat Lo bahagia.”
Lagi-lagi kata ‘cie’ memenuhi kelas. Sarah makin kesal.
“Ukhti, jadinya mau reques lagu apa nih?” tanya Willy lagi. Sarah mengabaikan suara manusia ini, ia memilih memasang handset di telingannya.
Sarah pikir Willy tidak akan berulah lagi. Tapi Sarah salah. Willy mencabut handset dari ujung ponsel Sarah.
“Willy you marry me? “
Sarah tersentak kaget.
“Mau gak, Ukhti ? Lagunya bagus loh. Ayo kita mulai...” teriak Willy heboh.
“Oi, siaga satu! Guru datang oi! “
Teriakan itu sukses membuat siswa-siswi pontang-panting kembali ke kursinya. Seketika kelas menjadi hening.
“Ngapai Lo duduk di sini! “ Sarah tidak terima Willy duduk di sebelahnya.
“Numpang bentar, Ukhti.”
“Gak! Gak boleh.”
“Bentar ah elah, Ukhti.”
“Gak boleh! Pergi sana jauh-jauh dari gue! “
“Bentar doang, Ukhti.”
“Pergi gak Lo! “
“Bentar.”
“Pergi! “
Guru masuk ke kelas bertepatan dengan Willy yang jatuh bersama bangku yang ia duduki.
Bruk.
Suara itu memancing semua perhatian, berfokus pada Willy dan Sarah. Sarah memasang wajah pura-pura tidak tahu, bukan dia penyebab Willy jatuh, tapi itu ulah Willy sendiri.
“Willy, kamu ngapain? “tanya bu Guru.
Willy bangkit, seraya cengengesan. “Lagi survei lantai, Bu. Barang kali lantainya ada yang keropos,” jawab Willy asal namun mampu memancing tawa semua orang. Sarah menahan tawa.
“Terserah kamu. Sekarang balik ke meja kamu. Berhubung kalian ribut tapi, jadinya ibu ke sini buat ngisi jam kosong kalian. Sekarang buku kalian, catat apa yang ibu tulis di papan tulis, bunyi bel semua catatan harus di kumpul.”
Sarah ingat pesan Zahra, yang meminta diberi tahu jika ada guru di kelas.
Sarah mengangkat tangannya. “Bu, saya mau izin ke kantor guru buat memanggil Zahra. Zahra lagi bantuin bu Lina koreksi ulangan di kantor guru.”
“Ya udah sana, jangan lama-lama.”
“Iya, Bu.” Sarah bergegas ke kantor. Ia menemui Zahra dan memberi tahu untuk segera kembali ke kelas.
“Tunggu bentar ya, Sar. Aku taruh kerasnya di rak bu Lina.”
“Buruan ya, gue tunggu di depan ruang guru.”
“Iya.”
Sarah menunggu di depan ruang guru, ruang guru berseberangan dengan ruangan UKS.
“Tumben pintu UKS ke buka, biasanya selalu ditutup,” gumam Sarah. “Apa gak sengaja ke buka? Biar gue tutup deh.” Sarah melangkah menuju ruang UKS.
“Duh....”
Sarah mendengar suara dari dalam ruang UKS. Sarah baru mau memastikan jika benar ada orang di dalam.
“Pasti luka karena jatuh tadi. Serius tuh lantai ternyata keras banget.”
“Willy?” gumam Sarah. Ia jelas mengenali suara manusia yang satu itu.
“Di apain ya biar memarnya gak sakit? “
“Di kompres,” sahut Sarah dari luar.
“Oh iya, di kompres. Air dingin atau air hangat ya ?“
“Air hangat,” sahut Sarah lagi dari luar.
“Oke. Di kompres air hangat.”
“Pake plastik atau botol kaca.”
“Botol kaca dari mana? “ gumam Willy.
“Mungkin di kantin ada.”
“Iya, ya. Kok gak kepikiran. Btw makasih ya... eh, btw Lo siapa dah ?” tanya Willy.
Sarah buru-buru lari dari sana.
“Eh, kok gak ada orang? “ Willy keluar dari ruang UKS.
“Masa sih gak ada orang? Terus yang tadi ngomong sama gue siapa? Gak mungkin jin kan? Ya kali, siang-siang gini ada jin.” Willy menoleh ke kanan-ke kiri.
“Hem... tapi mungkin aja kan?” gumam Willy lagi. “Ihh kok jadi serem sih, mending gue balik ke kelas aja deh.” Willy menutup pintu UKS dan buru-buru kembali ke kelas.
Sarah memperhatikan punggung Willy yang mulai menjauh. Sarah baru sadar Willy berjalan dengan kaki kanan yang sedikit dijijit, mungkin efek dari kakinya memar. Sarah tidak menyangka kejadian tadi ternyata lumayan serius, tapi kenapa Willy malah tersenyum tadi? Seolah tidak terjadi apa pun.
“Dia aktor yang hebat,” gumam Sarah “Lee Min Hoo kw super.”
**