Cubit Ginjal

1007 Kata
“Eh, kak, gila ya...” Maryam menggeleng-geleng dramatis. “Ma, masak kakak Zahra mau langsung sekolah sih? Ih, nih, anak keknya gak tahu kalo ada surat izin. Gak ngerti lagi aing ...” Maryam heboh sendiri. Kalo sudah begini, Maryam suka menggunakan kata ganti, ‘gue-lo' penanda bahwa akan dimulainya perdebatan diantara keduanya. Ingin rasanya Zahra menyumpal mulut toa Maryam, dengan es cream manis di tangannya. “Lo, gak usah sekolah besok deh, Kak.” “Gue tuh, udah beberapa hari izin sekolah, Maryam. Kalo izin terus, bisa dikira gue berhenti sekolah. Kan bahaya...,” sahut Zahra sembari duduk memakan es cream cokelat. Tanpa sadat Zahra jadi ikut-ikutan menggunakan kata ‘gue-lo'. “Aelah, Kak. Pihak sekolah juga wajar kali kak, mereka tahu loh dapat musibah. Ya, masak Lo di keluarin dari sekolah. Kepala sekolah kita punya otak kak, gak kayak Lo, Kak. Timbang mantap di rumah aja, susah banget sih,” ucap Maryam geram. Sejak tadi kedua manusia ini hanya membahas topik itu. “Pokoknya gue mau sekolah.” “Dasar...” Maryam menghela nafas panjang. “Kepala batu,” desis Maryam. “Kepala besi,” sahut Zahra tidak mau kalah. “Batok kelapa.” “Tempurung kura-kura.” “Batu bata.” “Guci tua.” “Kepala helm... “ ucap keduanya kompak. Setelah itu keduanya terkekeh. Mereka jadi teringat kejadian mengenai helm. Perdebatan kecil yang terjadi seketika hilang dan berganti suara tawa keduanya. “Ingat gak, Kak. Kepala helm, di toko?” “Ingat banget sih. Dan gara-gara itu kita jadi dikira mau ngerampok toko. Kok bisa ya, kita kompak lupa lepas helm pas masuk ke toko?” “Itu karena kita sehati, makanya tingkat kepintaran kita juga sefrekunsi, Kak.” Maryam terkiki, geli. “Ogepnya, kita gak sadar semua orang ketakutan liat kita. Aku pikir semua orang lagi buru-buru, makanya jalannya cepat banget pas liat kita.” “Untungnya ada pria itu, dia nolong kita banget ya dengan ngasih kita cermin.” “Iya ya, Kak. Dari banyak orang, tuh orang yang pikirannya gak cetek, hem... kakak masih simpan kaca milik orang itu, kan? “ “Aku lupa taruh, di mana ya?” Zahra memutar otak, mengingat-ingat kembali. “Iih kakak. Kaca itu gak boleh hilang tahu, Kak. Entar kalo kita ke temu tuh orang lahi gimana? Entar dia mau minta kacanya lagi, gimana? “ “Hem, oh iya, di gudang kayaknya. Tapi kita gak bisa ngambil sekarang....” “Hem....Lo mah Kakak, seharusnya kakak bawa tuh kaca dari gudang.” Spontan lemparan bantal mendarat sempurna di wajah Maryam. Maryam meringis dan menatap tajam pelaku pelempar bantal sofa. Zahra. “Ya kali, pembunuh di belakang gue dan gue nyempentin diri buat melimpir ke gudang ngambil kaca. Kaca selamat, nyawa gue melayang. Otak Lo ya, gerem gue, pengin gue keramasin biar bersih,” ketus Zahra. “Hahahha... canda tahu, Kak. Gitu aja ngambek.” “Auah... “ Maryam beringsut duduk mendekati Zahra. Ia cengar-cengir membujuk Zahra yang masih setia ngambek. “Elah, Kak. Gue kan cuman canda doang. Maaf ya, jangan marah gitu dong. Janji gak gitu lagi...,” Maryam menjewer telinganya sendiri. Diam-diam, Zahra sebenarnya tertawa geli melihat permintaan maaf Maryam. Tapi dia masih ingin mengoda Maryam. Zahra terus memasang wajah, ngambek. “Udah ah, aku mau siap-siap, buat sekolah besok.” “Lo beneran mau sekolah, Kak? Ih, Lo mah, keras kepala banget sih... udah nanti aja sekolahnya. Lo, istirahat dulu beberapa hari ini, gak usah makasin diri. Entar gue langsung minta izin ke kepsek. Lo tenang aja.” “Gue mau sekolah, Maryam,” kekeh Zahra. “IH LO MAH, KAK! “ Maryam bangkit. Ia menatap sinis Zahra. “Ada apa sih, dari tadi kalian debat terus...?” bulek tiba-tiba muncul dari belakang seraya membawa satu piring gorengan hangat. Maryam langsung mingsut mendekati Bulek. Zahra tahu, Maryam mencoba mencari dukungan. Zahra tidak mau kalah, ia langsung nempel di lengan kiri bulek sedangkan Maryam di lengan kanan bulek. Bulek kesulitan bergerak, karena kedatangan dua cicak pencari dukungan itu. “Ma, masak, nih manusia mau sekolah..,” adu Maryam. “Bulek, masak, Maryam ngelarang Zahra sekolah sih....”Zahra tidak mau kalah. “Eh, manusia. Lo tuh masih belum sehat banget. Kalo Lo sekolah, terus Lo kenapa-napa di sekolah, Lo pikir gue gak sedih? “ “Eh, manusia, kan udah gue bilang, kalo gue tuh gak kenapa-napa. Gue juga pengin sekolah lagi, gue bosen di rumah, tahu..” “Tuh liat tangan Lo. Lukanya aja belum kering.” “Idih ini luka biasa aja sih. Gitu aja dibuat ribet.” “Iiih...., Mama, tuh liat kelakuan ponakannya. Kepalanya keras banget.” “Tuh, Bulek, liat Maryam, masak manggil kakaknya dengan ‘Gue-Lo’ sih... “ “Idih... keluar jalur topik,” protes Maryam. “Kok ngegas sih, santai aja doang.. “ “Eh, siapa yang ngegas.. !” “Tuhkan ngegas lagi... “ “Kata siapa ?! Gue gak ngegas.” “Kamu ngegas.” “Gak !” “Iya! “ “Nggak! “ “Gas! “ “Stop!” Bulek menghentikan perdebatan kedua anak manusia itu. Bulek menatap Zahra lalu Maryam secara bergantian. Refleks keduanya, melepas tangan mereka dari lengan bulek dan memilih duduk di sofa. Bulek bergabung duduk, di tengah mereka. “Jadi, apa masalahnya? “ tanya Bulek. Sejujurnya bulek sudah tahu duduk perkaranya, tapi bulek hanya ingin memperjelas segalanya. “Zahra ingin sekolah besok, Bulek,” sahut Zahra. Ia menampilkan pupil eyes, agar Bulek setuju dengan keinginannya. “Tapi, kamukan baru pulang semalam, Zahra. Apa tubuh kamu gak lelah dan—“ “NAH!! Tuhkan bener, Mama juga setuju sama pendapat Gue,” sela Maryam, memotong perkataan Bulek. Maryam tersenyum lebar, merasa memenangkan pertarungan ini. “Gue benarkan, Lo aja yang keras kepala.” “Kata siapa kamu benar?” sela bulek. “Kamu juga salah, Maryam. Zahra ini kakak kamu. Mama gak suka kalo kamu panggil Zahra dengan ‘gue-lo'. Panggil Kakak,” sambung bulek. “Sekarang baikan...,” ultimatum bulek. “Maafin gue, Kak... “ “Kakak juga minta maaf ya... “ Keduanya saling menatap, satu menit kemudian keduanya tertawa. Bulek menggeleng-geleng melihat kelakuan anak dan keponakannya. “Ya Allah, wajah kamu udah kayak anak hilang. Sedih banget. Aku jadi iba,” ujar Zahra seraya tertawa. “Dan muka Lo, Kakak. Kayak anak kecil pengin permen. Melas banget. Gue jadi kasihan,” sahut Maryam. “Tetep ya kak, jangan sekolah dulu...,” bisik Maryam dengan senyum miringnya. Tawa Zahra seketika jadi hambar. Senyum Maryam seolah mengatakan, gue menang dan lo harus ikutin perkataan gue. Istirahat di rumah ya kak... Huft, Zahra seharusnya bersyukur mendapatkan sepupu sebaik Maryam. Zahra rasa dia perlu membelikan kado untuk Maryam. Misalnya beberapa kucit rambut, atau peniti dan jilbab mungkin. Hem, tapi sebelum itu Zahra ingin sekali mengelitik ginjal Maryam sebagai awalan kado darinya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN