Kepulangan, pulang.

1250 Kata
Meski langkahnya semakin berat, Zahra terus memaksakan dirinya, melawan rasa takut yang menggeliat hebat di dalam benaknya. Kejadian itu belum lama terjadi dan masih sangat segar diingatan Zahra. Zahra terus memberanikan diri untuk melangkah semakin dekat dengan bangunan yang sangat ia rindukan. Rumah. Bangunan itu menyimpan banyak kenangan manis bersama kedua orang tuanya, bagaimana bisa Zahra takut pada rumah itu? Kejadian malam itu, tidak bisa membuat Zahra menjauh dari bangunan penuh makna dalam hidupnya ini. Zahra meneguk ludah, tenggoroknya mendadak terasa sangat kering. Tanpa sadar keringat dingin juga menghiasi wajahnya. Dan setelah semua drama itu, akhirnya Zahra bisa pulang, kembali ke rumahnya. “Umi, Abi...,” lirih Zahra paruh. Tenggorokannya yang sejak tadi terasa kering, kini seolah kemarau dan bahkan tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Zarah menatap nanar rumahnya itu. Mata Zahra berkaca-kaca. Garis polisi ada di mana-mana, mengelilingi rumahnya. Ia bahkan tidak bisa masuk dengan leluasa ke dalam rumahnya sendiri. Zahra terduduk lemas mengingat itu semua. Kapan mimpi buruknya ini berakhir? Jerit hati Zahra. Rumah itu kini terlihat sangat gelap. Zarah terisak. Ia menangis di kursi depan rumah yang sering Ummi gunakan untuk murojah atau yang sering abi gunakan untuk mengajar iqro anak-anak tetangga. “KELUAR DARI SITU! SUDAH SAYA KATAKAN UNTUK TIDAK MENGIKUTI SAYA!” teriak Zahra dengan suara parau. Zahra melirik ke belakang. Kelvin yang sejak tadi membuntuti Zahra merasa tidak perlu menyembunyikan dirinya. Ia menujukan dirinya di depan Zahra. “Saya sudah berjanji untuk tidak memberitahu keberadaan kalian, apa itu masih belum cukup? “ tanya Zahra dingin. Gadis itu menghapus kasar air mata di wajahnya. Lagi-lagi Kelvin mengganggu semuanya. “Bukan begitu. Saya hanya tidak ingin terjadi hal buruk padamu, Zahra. Saya ingin memastikan kalo kamu sampai ke rumah dengan selamat. Saya ingin melindungi—“ “Siapa kamu? Kamu hanya jin. Kamu tidak bisa memberikan kebaikan atau mudarat kenapa saya tanpa seizin Allah. Siapa kamu yang terlalu yakin, bahwa semua bisa kamu lakukan? Jangan pernah berpikir bahwa saya akan bergantung padamu, hanya karena kamu memiliki sedikit kekuatan yang tidak dimiliki manusia. Melindungi dan menjaga saya, bukan tugas kamu! Saya punya Allah, yang akan melindungi dan menjaga saya! “ Zahra marah. Ia tidak suka hidupnya di bayangi sosok jin ini. Ia tidak suka dan tidak akan pernah suka. “Pergilah!” “Saya tidak akan pergi, tempat ini sangat berbahaya untukmu.” “Saya akan ke rumah Bulek. Jadi pergilah...” “Saya akan mengantar kamu.” “Tidak! “ “Saya tidak meminta persetujuan.” “Dan saya tidak meminta bantuan!” “Jangan keras kepala, Zahra! “ “Berhenti di tempatmu! Jangan mendekat jin kafir ! Jika tidak... “ Zahra menghentikan kalimatnya. Zahra berbalik dan menjauh. “Jangan ikuti saya ! Ini bukan permintaan tapi peringatan ! Tidak perlu melindungi saya ! Lindungi saja dirimu dari panasnya api neraka karena ke kafiran mu! ” Kelvin membuang wajah kesal. Ia membiarkan Zahra pergi menjauh. Sangat berbahaya jika ia tetap memaksa untuk mengikuti Zahra. Zahra bisa membuatnya kepanasan dengan ayat Qursi yang ia bacakan. Kelvin tidak bisa mengambil langkah sebesar itu. Ada misi di pundaknya, dan dia tidak boleh gegabah. “Baiklah.” *** “Assalamualaikum, Bulek, “ lirih Zahra. Gadis itu mengosok dan meniup pelan tangannya yang terasa sangat dingin. Udara malam ini, terasa begitu kencang memeluknya. Zahra bisa mengigil jika berada lama di luar sini. “Bulek....,” panggil Zahra lagi. Ia mengetuk pintu dengan tangan gemetar dan giginya yang bergertak pelan karena kedinginan. “Ya Allah, kenapa malam ini terasa sangat dingin?” gumam Zahra. Ia menatap nanar pintu rumah yang tidak kunjung terbuka. Sepuluh menit menunggu, akhirnya Zahra memilih berjongkok di depan pintu, ia memeluk lutut dan menenggelamkan wajahnya di dalam lututnya. Itu lebih baik untuk meredam ngilu yang menjalar hebat pada tubuhnya. “Assalamualaikum, Bulek. Ini Zahra...” kata Zahra pasrah. . . . “Permisi nak, ada yang bisa Bibi bantu?” Zahra tersentak kaget merasakan ada pergerakan di bahunya. Sejak tadi Zahra tertidur. Bagaimana bisa? Zahra segera bangkit dari posisinya. “Masyaallah, Zahra, Nak, kamu masih—“ Mata Zahra dan bulek bertemu. Bulek menatap haru Zahra, refleks bulek melepas semua barang bawanya dan langsung memeluk Zahra. Keduanya sama-sama saling melepas rindu. “Ya Allah, Nak. Bulek rindu kamu. Kamu ke mana aja beberapa hari ini? “ Bulek langsung membuka pintu dan menyuruh Zahra masuk. “Itu Bulek.. hem.....” Zahra membisu. “Sayang, kamu duduk dulu di sini ya, Bulek ambilkan selimut dan teh hangat dulu buat kamu.” “Tidak perlu repot-repot, Bulek. Biasanya, Zahra juga ambil sendiri.” “Badan kamu dingin sekali, sayang. Kamu kayak habis dari kutub utara.” Bulek bersikeras, mengambil selimut dan membuat teh hangat untuk Zahra. Zahra mengekor Bulek. Zahra tersenyum kecut. Bukan kutub utara tapi kastil yang temboknya lebih dingin dari kutub utara. Zahra sudah berjanji untuk tidak mengatakan apapun mengenai semua itu. Bagi Zahra semua yang terjadi di kastil merupakan mimpi buruk yang akan ia lupakan. “Bulek, malam-malam ke mana, tadi? “ “Biasa, sepupu kamu, Maryam. Dia anak pencinta alam, sekarang. Dan sekarang hampir setiap minggu hobinya berkemah. Bulek datang ke kemahnya untuk membawa perlengkapan obat dan beberapa makanan ringan.” “Maryam berkemah di mana, Bulek? “ “Di hutan.” “HUTAN? “ kaget Zahra spontan. “Ada apa? Memang ada yang salah dengan hutan, sayang?” Bulek memberikan Zahra secangkir teh hangat, lalu duduk di sebelah Zahra. “Tidak ada apa-apa, Bulek. Zahra hanya rindu dengan Maryam.” Bulek tertawa mendengar alasan yang keluar begitu saja dari mulut Zahra. Zahra memang merindukan Maryam, sepupunya yang somplak. Maryam merupakan putri tunggal, Bulek. Maryam juga merupakan sahabat sekaligus sepupu bagi Zarah. Usia Maryam lima belas tahun, selisih umur mereka hanya terpaut dua tahun, karena itu mereka sangat gensian untuk saling mengatakan hal-hal sejenis ini. Sejak kecil mereka memang sangat akrab tapi kalimat barusan terdengar aneh untuk bulek, pasalnya baik Zahra mau pun Maryam, keduanya paling anti mengatakan hal itu. Itu menggelikan bagi mereka. Mereka lebih senang berdebat ketimbang saling melempar kata pujian yang terdengar mengelitik di telinga mereka. Zahra hanya ingin Maryam pulang dari hutan. Hanya itu saja. “Tumben kamu bilang gitu, Zar... “kata bulek disela tawanya. Zahra tersenyum kaku. “Bulek, tolong jangan sampaikan ini pada Maryam.” Wajah Zahra merona malu, ia tidak bisa membayangkan seperti apa wajah Maryam, saat mendengar kalimatnya barusan. Mungkin dia akan muntah. Mungkin... “Hahhaahha.., kalian ini lucu sekali. Kenapa harus malu dalam mengungkapkan isi hati kalian...” “Hem, Bulek. Apa bulek bisa meminta Maryam untuk pulang, besok ?” “Tentu sayang.” “Terima kasih, Bulek.” “Sayang, kamu belum cerita. Beberapa hari ini kamu ke mana aja? Bulek sama Maryam, nyari kamu kemana-mana, ke rumah Sarah, Kerly...” “Hem, Bulek....” Bulek mengelus kepala Zahra. “Kalo kamu belum siapa cerita, ya udah, gak papa sayang. Sekarang kamu ganti baju dan siap-sia buat tidur. Kamu pasti butuh istirahat.” Bulek tersenyum hangat pada Zahra. “Kamu bisa pake baju tidur milik Zahra, sayang.” Zahra mengangguk pelan. “Iya, Bulek.” “Nak, mulai sekarang, rumah ini juga rumah kamu. Dan mulai sekarang kamu tinggal di sini bersama kami, ya, sayang... “ Zahra tersenyum haru. Ia mengangguk pelan dengan hati yang menghangat, bahagia. Di rumah bule, Zarah di terima dengan sangat baik. Bulek adalah adik dari ayah Zarah. Suami Bulek sudah meninggal sejak sepuluh tahun yang lalu. Bulek menjaga dan membesarkan Maryam seorang diri. Sebagai single parent. Bulek mengambil posisi sebagai seorang ibu untuk Maryam sekaligus menjadi ayah bagi Maryam. Berkat kerja keras Bulek, Maryam tumbuh menjadi gadis yang baik, Sholeha dan lucu. Bulek tidak berniat untuk menikah lagi. Bulek ingin fokus menjaga dan membesarkan Maryam, putri semata wayangnya. Bulek merupakan guru di Sekolah Dasar. Zahra salut pada perjuangan dan keja keras Bulek. Bulek tetap kuat dalam menghadapi segala badai dan hujan yang datang. Kekuatan dan semangat bulek ini, akan menjadi contoh bagi Zahra. Ia harus menjadi sekuat karang dan sekokoh baja. Hujan dalam hidupnya akan melatihnya semakin kuat. Zahra akan bangkit dan berdiri melewati hujan, bukan duduk dan menangis meratapi hujan. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN