Sebaik-baiknya manusia

1419 Kata
“Kak Zahra mana sih...” Maryam mondar-mandir di depan teras sejak sepuluh menit yang lalu, dengan mulut yang sibuk bergumam menyebut nama Zahra. Seolah dengan melakukan hal itu Zahra akan muncul secara tiba-tiba di hadapannya. Sangat membagongkan. Lelah berdiri, Maryam merubah posisi menjadi jongkok. Gadis itu jongkok di depan pintu seraya menanti Zahra, pose yang sangat elegan bukan? “Maaf, gak ada uang receh.” Maryam mendongka, wajah lelahnya yang diartikan wajah memelas oleh Zahra berhasil mengelitik urat tawa Zahra. “Akhirnya Lo pulang juga, Kak. Gue pikir Lo lupa jalan pulang,” ketus Maryam, Maryam langsung berdiri. “Emang wc lagi rusak ya, Dek ?” “Gak kok, kenapa nanya gitu? “ “Terus ngapain kamu jongkok gitu? Cari butiran jodoh?” “Jokes ughti-ughti yang pengen segera nikahi gini.” “Apaan sih dek, masih sekolah, udah bahas nikah aja.” “ Hallloo ukhti, situ duluan yang bahas nikah,” protes Maryam. Zahra tersenyum geli. “ Lagian ngapain kamu nungguin kakak pulang? Nungguin food gratis kan? Kakak tuh keluar besuk Sarah, di sana gak ada bakso atau boba.” “Idih Lo pikir di otak gue cuman isi makan doang,” protes Maryam. “Kata-kata bar-bar nya kembali debut ya, Bun,” sindir Zahra. Maryam cengengesan. “Jangan kasih tahu mama ya, Kak.” “Gak janji.” “Idih...” “Gue pecat jadi kakak baru tahu tempe.” Maryam mendengus, Zahra mengabaikan dan melangkah masuk, Maryam mengikuti masuk mengekor di belakang Zahra. “Kakak pasti capek kan dari luar?” Suara Maryam mendadak berubah jadi manis. Zahra menatap Maryam, curiga. “Kakak haus gak? Hem, biar Maryam buatin es teh, atau mau makan sekalian? Biar aku ambilin. Mama tadi masak sayur sop yang enak banget. Mau? “ “Ada angin apa nih?” tanya Zahra makin curiga. “Biasanya kalo di suruh ambil air putih aja, mesti di panggil tiga kali udah kayak jin botol. Ini pak acara mau buatin es teh. Hemm...ada bau-bau mencurigakan.” “Issh, gak boleh gitu, Kak. Orang mau niat baik, kok malah dicurigai sih. Ckcck.” Maryam menggelang dramatis. “Ya, kan aneh aja, tiba-tiba monyet berubah jadi kucing.” “Monyet?” suara Maryam naik satu oktaf. Zahra tersenyum, Maryam yang asli telah kembali. “Maksud kakak, aku monyet? “ Suara Maryam terdengar manis lagi, seolah itu pertanyaan yang diajukan dengan suka cita. “Kakak, gak bilang gitu. Itu cuman peribahasa aja,” sahut Zahra santai. “Ck, dasar, peribahasa apa,” gumam Maryam, sangat pelan. Tapi Zahra bisa mendengar hal itu. “Oh gitu ya kakak. Hahahha...” Maryam sok manis lagi. “Kalo gitu Kakak tunggu sini ya, biar aku buatin es tehnya.” “Eh, tunggu.” “Iya, Kak? “ “Es tehnya harus less sugar ya, gulanya satu seperempat sendok makan, jangan kurang dan gak boleh lebih. Tehnya pas diseduh, hitung sampai sepuluh detik terus langsung keluarin dari gelas, warna tehnya jangan gelap harus soft kayak senja. Oh iya takaran airnya harus seperempat air hangat, seperempat air dingin.” Maryam cengok. Ia tahu, kakaknya sedang menggodanya. “Oke. Kalo gitu aku buatin ya, Kak.” “Eh, satu lagi...” Maryam berbalik dengan wajah kesal yang ditahan. “Apa lagi, Kak? Apa perlu esnya harus berdiameter dua koma lima dengan kedinginan 0 derajat celcius? Oh atau gelasnya harus secantik bulan purnama ?” “Hem, boleh juga tuh, dek,” jawab Zahra santai. “Ckck! “ Maryam pergi ke dapur sembari menghentak langkahnya. “Nyebelin banget sih...” Zahra tertawa melihat wajah kesal Maryam. Zahra bangkit dari kursi dan berjalan ke kamarnya. Ia ingin mandi, menyegarkan tubuhnya yang terasa lengket karena keringat sejak tadi. “Alhamdulillah. Akhirnya segar juga.” Zahra keluar dari kamar mandi dengan wajah basah. Selesai mandi, Zahra langsung mengambil wudu. Zahra ingat kisah yang pernah abi ceritakan mengenai suara sendal Sayyidina Bilal bin Rabah yang terdengar hingga ke surga hanya karena salat wudu yang Bilal lakukan setiap kali berwudu. Amal-amalan kecil yang bernilai besar. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Bilal, “Wahai Bilal, ceritakanlah kepadaku tentang satu amalan yang engkau lakukan di dalam Islam yang paling engkau harapkan pahalanya, karena aku mendengar suara kedua sandalmu di surga.” Bilal menjawab, “Tidak ada amal yang aku lakukan yang paling aku harapkan pahalanya daripada aku bersuci pada waktu malam atau siang pasti aku melakukan shalat dengan wudhu tersebut sebagaimana yang telah ditetapkan untukku.” (Muttafaqun ‘alaih. Lafal hadits ini adalah milik Bukhari) [HR. Bukhari, no. 443 dan Muslim, no. 715] Zahra tidak bisa sehebat Bilal bin Rabah dalam bertauhid mempertahankan agamanya meski di timpa batu yang amat besar, tidak bisa berjuang segigih Bilal dalam menyiarkan Islam, tapi setidaknya Zahra bisa meniru apa yang Bilal lakukan agar Allah meridhoinya, mengampuni dosanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah seorang laki-laki muslim berwudlu, lalu memperbagus wudlunya, lalu melakukan shalat, melainkan pasti Allah mengampuni dosanya antara dia dan shalat sesudahnya.” (HR.Muslim). “Asyhaduallaa ilaaha illalloohu wahdahuu laa syariika lahu wa asyhadu anna muhammadan 'abduhuuwa rosuuluhuu, alloohummaj'alnii minat tawwaabiina waj’alnii minal mutathohhiriina, waj'alnii min 'ibadikash shaalihiin.” “Aamiin.” Zahra mengusap wajahnya, lalu melangkah. “Astagfirullah!” Zahra menatap subjek yang membuatnya kaget. “Ngapain di sini, Dek? “ “Nari jodoh.” Maryam memutar bola matanya. “Ya kali Kak, gue ke sini bawain es teh buat Lo dan makanan juga.” “Astagfirullah, Dek, gak usah. Kakak kan bisa makan di meja makan, kenapa pake segala di bawa ke kamar?” “Esnya cair kalo di taruh di meja.” “Kan ada kulkas.” “Tetap aja.” “Terus emang supnya juga bakal cair kalo di taruh di meja makan? Gak kan? “ “Iya sih. Tapi gak hangat, gak enak tahu kak.” “Tetap aja. Bulek pasti marah kalo liat makanana di bawa ke kamar. “ “Mama juga gak tahu ini.” Zahra menghela nafas panjang, lelah dengan kelakuan Maryam. “Tetap aja gak boleh makan di kamar, Maryam. Udah sana bawa makanannya ke belakang lagi. Nanti kakak bakal makan kok. Kakak bukan bayi yang gak tahu jadwal makan. Udah sana keluar.” “Kakak mau ngapain? “ “Salat wudu dulu.” “Eh, inikan waktu terlarang salat, Kak. Tidak ada salat setelah melakukan shalat ashar sampai dengan tenggelamnya matahari. Seingat aku ada di hadis Imam Bukhari, Rasulullah SAW bersabda: “Tak ada shalat setelah shalat subuh sampai matahari meninggi dan tak ada shalat setelah shalat ashar sampai matahari tenggelam.” “Pendapat Imam Syafi’i, salat wudu termasuk salat sunnah yang memiliki sebab, sehingga dapat dilakukan kapan saja, termasuk pada waktu-waktu terlarang salat. Sedangkan kalo menurut Imam Hanafi dan Hambali, salat wudu boleh dilakukan bukan di waktu-waktu terlarang salat. Jadi tergantung kita mahzabnya apa. Berhubung di Indonesia mahzab yang dipakai Syafi jadi, boleh salat sunah wudu di jam segini.” “Oh gitu. Ya udah, aku tunggu di luar ya, Kak. Jangan lama-lama.” “Iya, sana buruan bawa makanannya.” “Iya, iya..” Maryam keluar, Zahra segera melaksanakan salat wudu. “Ayo, makan.” Zahra keluar kamar setelah selesai salat wudu. “Buruan makan kak.” “Bulek mana? Gak makan juga? “ “Kita udah makan duluan. Kakak doang yang belum makan.” “Oh gitu.” Zahra duduk di kursi. “Mau aku temenin makan gak? “ “Emang kamu gak ada tugas? “ “Ada sih.” “Terus kenapa malah mau nungguin makan?” “Es tehnya jangan lupa di minum, Kak.” Maryam mengeluarkan segelas es teh dari dalam kulkas. Lalu duduk di sebelah Zahra, menatap Zahra sembari tersenyum lebar. “Kenapa? “ “Kenapa apanya, Kak? “ “Maksud kakak, kenapa kamu gak ngerjain tugas, kata kamu ada tugaskan? “ “Iyap.” “Terus ngapain masih di sini? “ “Aku masih di sini demi kelancaran tugas aku, Kak.” “Maksud kamu?” “Ah, Kakak.” Maryam terkekeh. Dahi Zahra berkerut. “Jangan bilang kamu mau manfaati, Kak? “ Maryam tersenyum makin lebar. “Help me please.” “Kakak, gak mau kejadiannya kayak waktu itu. Kamu dapat nilai bagus, bukan hasil kamu ngerjain sendiri tapi malah 100 % nyuruh kakak yang kerjaian dan kamu malah asik ngorok.” “Gak gitu, Kak. Waktu itu posisinya aku lagi capek, lelah, letih, lemah, makanya gak sadar ketiduran.” “Ketiduran apanya, dibanguni sepuluh kali terus molor lagi.” “Iihhh gak gitu elah, Kak. Kali ini tuh beda. Beda banget, serius deh.” Zahra bungkam. “Mau ya, Kak, pliisss..” Maryam memasang wajah memelas. “Mau kan? Iyakan? “desaknya. “Tapi gak ada manfaatin lagi, kamu harus usaha, kakak cuman bantui. Oke. Kakak cuman ngarahin, kamu yang ngerjainnya sendiri.” “Tapi bantuin juga, Kak. Persentasi bantuinnya sekitar lima puluh persen, fifty-fifty. Oke, Kak? “ “Kok fifty sih. Dua puluh persen.” “Empat puluh persen, ya Kak. ” “Gak. Dua puluh persen.” “Tiga puluh lima persen.” “No.” “Tiga puluh persen, fiks, no debat.” Zahra menghela nafas panjang. Maryam tersenyum lebar. “خَيْرُ الناسِ أَنْفَعُهُمْ لِلناسِ” “Sebaik-baik manusia yaitu manusia yang bermanfaat bagi orang lain. Hadis riwayat Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni. Hadits ini dihasankan oleh al-Albani di dalam Shahihul Jami’ no:3289). Ingatkan kan Kak ? Seharusnya Kakak bahagia, karena Kakak sangat bermanfaat buat keberlangsungan tugas aku.” Maryam nyengir lebar. Mata Zahra memicing. “Gak gitu konteksnya, Munaroh. Tugas kamu itu sama kayak kewajiban, kamu harus ngerjainnya sendiri supaya pintar. Menuntut ilmu itu wajib hukumnya. Understand ?” “Ohhh, iya Kak.” “Jadi fiks ya, Kak. Tiga puluh persen.” **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN