"Eu...i-iya," gugup Jessi, nggak siap disapa sama Jeffrey, si cowok anak teknik, inisial J, cakep yang ditaksirnya.
Jeffrey tersenyum dengan lesung pipinya yang amat sangat menarik hati Jessi.
"Boleh gue duduk sini?" tanya Jeffrey, nunjuk bangku yang ada di sebelah Jessi.
Ya boleh banget lah, masa enggak.
"Boleh," jawab Jessi dengan senyum.
"Tumben nih anak fisip sampe sini?malem-malem lagi."
"Kok tahu, gue anak fisip?"
"Gue sering liat lo di fisip pas gue ke lab."
"Oh...," balas Jessi singkat, dengan d**a yang terasa kembang kempis, Jeffrey tahu kalau dia anak fisip, berarti cowok itu mayan merhatiin dong ya?
"Lo ngeprintnya mayan jauh ya, malam-malam lagi."
"Ini gue mau ngeprint tugas, soalnya tetiba print di kost, ngadat, mana jam segini jasa printer deket kos gue kan udah pada tutup, katanya printeran sini buka sampe pagi."
"Oh gitu...." Jeffrey mengangguk-angguk.
"Lo ngeprint juga?" tanya Jessi, dan ngerasa bodoh, ya iyalah, di tempat kayak gini pasti ya mau ngeprint, masa bikin kue?
"Iya, gue lagi nyetak tugas."
"Oh...," Jessi menggumam singkat. Kadang, Jessi ngerasa dia tuh percaya diri tingkat tinggi, tapi saat ini rasa percaya dirinya menguap nggak tahu kemana, hanya karena disuguhi senyum berhias dimple yang bikin jantung cenat cenut.
"Gue Jeffrey, nama lo siapa?" tanya Jeffrey sambil mengulurkan tangan, sementara Jessi membatin, "gue udah tahu nama lo dari pas ospek."
"Jessi," balas Jessi singkat.
"Wah, nama kita sama-sama J."
"Eh...iya." Jessi baru menyadari kesamaan huruf depan namanya dengan Jeffrey.
"Lo kok sendirian aja sih? Gak sama temen lo?"
"Dia lagi ada urusan sama cowoknya."
"Lo, nggak dianter cowok lo?"
"Hah?"
"Sorry, gue nanya terlalu kepo ya?"
"Oh...enggak sih, gue nggak punya pacar kok."
"Serius?"
"Gasss terus Jefff!!" Sebuah suara menyeletuk kencang, dan siulan terdengar. Jessi yakin wajahnya juga merah saat ini, dan cuma bisa nunduk.
"Diem, ah berisik deh lo!" sergah Jeffrey.
"Rem blong, rem blong. Jangan mau sama Jeffrey kak, dia buaya cap duren tiga." Suara usil masih terus berlanjut, dan untungnya, pemilik printeran Yogi datang, dan Jessi langsung bilang kalau mau ngeprint.
Nggak pakai lama tugas Jessi selesai diprint dan Jessi menghela nafas lega, setidaknya dia bakalan bebas dari suasana awkward bersama dengan cowok-cowok teknik, meski ya, agak sayang sih, soalnya kan kapan lagi ngobrol-ngobrol sama Jeffrey.
"Jadi ini semua berapa?" tanya Jessi waktu lembar kertas hasil print diserahkan padanya.
"Semuanya empat ribu."
Jessi merogoh kantong hoodienya dan....
"Anjir, ga bawa uang sama sekali!" Jessi merutuk dalam hati, bisa-bisanya dia keluar nggak bawa uang sepeserpun. Hadeh.
"Ng...ini, aku lupa nggak bawa uang, aku ambil dulu aja uangnya ya," lirih Jessi pada pemilik jasa print, beneran udah malu, canggung dan pengen ngumpet, mana ada Jeffrey lagi, duh ini image dia pasti udah hancur berantakan nggak ketolong.
"Nggak apa-apa tar gue bayarin," cetus Jeffrey.
"Eh, jangan...."
"Nggak apa-apa, sekalian gue bayar hasil cetakan gue."
"Eng...besok gue ganti."
"Iya kalau ketemu gue lagi, lo boleh ganti. Udah malem sana pulang." Jeffrey ngambil kertas hasil cetakan dan nyerahin ke Jessi.
"Oke, ingetin utang gue kalau ketemu, atau... gue bisa telpon lo?"
Jeffrey tertawa. "Lo lagi nanya nomer telpon gue?"
"Eng-enggak ya! Maksud gue biar gampang aja gitu...."
"Iya, gue tahu," ucap Jeffrey sambil tersenyum, rasanya lucu dan menggemaskan ngelihat Jessi di depannya.
"Btw, udah malem, mau gue anter pulang?"
"Pepet terussss bossss!" celetukan kembali terdengar, membuat wajah Jessi memerah.
"Nggak, masih rame kok jalanan, lagian deket. Makasih." Jessi buru-buru keluar dari tempat print sebelum wajahnya memerah seperti kepiting rebus akibat diledekin sama anak-anak teknik temen-temennya Jeffrey.
"Gue anterin deh ya. Udah hampir jam sebelas." Ternyata Jeffrey ngikutin Jessi ke parkiran.
"Nggak usah, lo kan masih harus nyelesein cetak tugas?"
"Nggak apa-apa, aman, temen-temen gue bisa gue titipin, lagian cuma bentar kan nganter lo...?"
"Oh...oke...thankyou, then."
"You're welcome. Yuk." Jeffrey mengajak Jessi meninggalkan jasa print Yogi. Malam itu Jessi naik motor matic dan Jeffrey mengikuti dari belakang dengan motor honda CBR.
Begitulah, gimana Jessi bisa kenal sama Jeffrey, dan sekarang dua hari setelah pertemuan itu, mereka kembali bertemu di depan rektorat, apakah ini suatu kebetulan? Atau takdir?
"Jeff, yang utang gue kemarin, gue belum bayar," ucap Jessi ngingetin utang ngeprint di jasa printer Yogi, saat dia dan Jeffrey berjalan beriringan menuju parkiran departemen pertambangan.
"Nggak apa-apa, santai aja."
"Tapi kan tetep aja gue utang."
"Lo, udah makan belom?"
Jessi mengernyit tidak mengerti. Dia nanya soal hutang, tapi Jeffrey nanggepin dengan makan?
"Maksudnya gimana?"
"Lo bayar gue pakai waktu lo aja, temenin gue makan," pinta Jeffrey, dan Jessi tahu banget ini Jeffrey lagi ngasih sinyal kalau dia lagi pedekate, ngajak makan siang bareng, yang tentu aja seribu persen nggak Jessi tolak.
"Boleh deh."
Jeffrey tersenyum senang, dan wajahnya nggak bisa berhenti senyum, otomatis dimplenya muncul, cute banget di mata Jessi, dan membuat jantung Jessi nggak berhenti jedak jeduk macam kendang dangdut pantura.
Waktu hampir sampai di parkiran, mereka berpapasan sama sekelompok anak tambang yang lagi nongkrong, melihat Jeffrey jalan sama Jessi, otomatis cowok-cowok itu langsung heboh, maklum, perbandingan cewek sama cowok di tambang bener-bener nggak imbang, makanya mahasiswa teknik pertambangan suka semacem norak kalau lihat cewek, apalagi yang bening macem Jessi.
"Hoi! Jeff, sama siapa tuh? Kenalin dong!" seru seorang cowok, disusul siulan random cowok lain.
Jeffrey nggak menanggapi, dia hanya meminta temen-temennya nggak berisik dan membuat Jessi nggak nyaman. Tapi namanya cowok, makin dilarang, makin penasaran, apalagi Jessi termasuk cewek yang bening, rambutnya panjang, kulitnya putih, tingginya pas dan posturnya ideal, mukanya juga imut gemesin, makin bikin cowok-cowok penghuni departemen pertambangan makin penasaran sama Jessi.
Melihat temen-temen se-departemennya udah pada cosplay macem buaya rawa norak cari mangsa, Jeffrey refleks menggandeng Jessi agar berjalan lebih cepat, meninggalkan area danger penuh buaya rawa, sampai ke parkiran.
Sampai di parkiran, Jeffrey masih menggandeng tangan Jessi dan ngebuat jantung Jessi deg-degan karena jemarinya yang bertautan sama jemari Jeffrey.
"Sorry, tadi temen-temen gue kayak gitu, mereka cuma bercanda kok, tapi again gue minta maaf udah bikin lo nggak nyaman," ucap Jeffrey dengan wajah bersalah yang membuat Jessi makin gemes sama sosok Jeffrey.
"Nggak apa-apa kok Jeff, it's ok...gue tahu mungkin karena lo jalan sama gue yang bukan anak fakultas sini, makanya pada heboh dan kepo."
Jeffrey tersenyum, memperlihatkan lesung pipinya yang makin membuat Jessi terpesona.
"It because of you. Lo cantik dan mereka suka, makanya pada caper, nggak peduli lo lagi jalan sama gue."
Rasanya, kepala Jessi mengembang semakin besar hingga mirip sama boneka mampang yang endut-edutan di perempatan jalan itu. Dibilang cantik sama Jeffrey yang ditaksirnya bikin Jessi meleleh kayak es krim kena kompor.
"Kita jalan sekarang yuk?" ajak Jeffrey.
"Gue nggak bawa helm?"
"Oh, iya juga. Bentar-bentar, gue cariin." Jeffrey berkacak pinggang dan matanya melihat ke sekitar, dan saat melihat sebuah helm berwarna hitam nangkring pasrah di atas motor ninja, Jeffrey langsung ambil aja itu helm, dan menyerahkan ke Jessi.
"Eh, helm siapa nih?"
"Helm adik tingkat gue, gampang ntar gue chat anaknya."
"Dia tar pulangnya gimana kalau helmnya gue pakai?"
"Nggak apa-apa, dia biasa nggak pakai helm kok."
"Eng...serius nih nggak apa-apa? Takutnya ntar dia ngira helmnya ilang dimaling, atau gimana?"
Jeffrey ketawa kecil. "Ya udah, apa ke kost gue dulu aja ambil helm? Kost gue nggak jauh dari sini kok."
Waduh, diajak ke kost Jeffrey? Bagi Jessi ini kebahagiaan yang setara sama diajak jalan-jalan ke Disneyland. Lebay banget emang, tapi ya namanya lagi berbunga-bunga, sah aja dong ya.
"Boleh deh, ambil helm dulu."
"Ya udah kalau gitu, yuk!" Jeffrey naik ke atas motornya setelah meletakkan kembali helm hitam di atas motor ninja, dan Jessi naik di belakang punggung Jeffrey. Rasanya, Jessi kayak ngimpi, demi apa? Gara-gara tugas metodologi, dia akhirnya bisa kenalan sama Jeffrey dan sekarang duduk di boncengan motor Jeffrey.
"Udah?"
"Iya, udah."
"Kalau udah, turun dong."
"Hah?"
"Enggak gue bercanda kok!" Jeffrey menoleh ke belakang. "Pegangan Jes!" suruh Jeffrey, dan Jessi bingung mau megang sebelah mana, akhirnya dia memegang tepi jok.
"Pegangan gue aja nggak apa-apa Jes."
"Eng...."
Tangan Jeffrey ke belakang, ngambil tangan Jessi, dan naruh tangan itu ke pinggangnya, lalu mulai menjalankan motornya.
Aslinya, Jessi pengen banget pegangan kenceng melukin Jeffrey, tapi ya seganjen-ganjennya Jessi, dia malu melakukan hal itu, akhirnya, dia cuma megang ujung kemeja flanel Jeffrey.
Nggak sampai lima menit, udah sampai di kost Jeffrey. Jadi, kos Jeffrey itu ada di belakang kampus, jalan kaki aja sebenernya bisa, tapi Jeffrey terlalu males untuk jalan kaki dan milih naik motor ke kampus, selain juga kadang harus ke lab yang ada di komplek fisip yang lebih jauh letaknya.
"Tunggu bentar ya," ucap Jeffrey waktu dia berhenti di depan kostnya. Sebuah bangunan dengan cat krem, nampak bersih dan rapi, tidak seperti kebanyakan kost cowok yang kadang berantakan, agak masuk ke dalam ada pintu berjejer, dan Jessi tebak, itu adalah kamar-kamar anak kost. Jeffrey keluar nggak lama, membawa helm, berwarna merah.
"Nih, helmnya, gue pinjem punya ceweknya temen gue."
"Lho, nggak dipakai?"
"Nggak, ceweknya nginep kok, dan baru balik besok pagi."
"...." Jessi nggak tahu mesti nyautin apa. Ya, dia tahu sih kehidupan mahasiswa jaman sekarang emang yah gitu lah...tapi ini dia dan Jeffrey lagi pdkt terus ada omongan kayak gini tuh harus nanggepin apaan?!
Sementara Jessi overthinking, Jeffrey malah santai aja, ngerasa omongannya barusan hal yang biasa aja dan nggak perlu dipikirin.
"Ayo Jes!" Jeffrey ngajakin Jessi cabut.
Belum sempet Jessi naik ke motor Jeffrey, ada motor lain berhenti, penumpangnya dua cowok yang kemungkinan temen kos Jeffrey.
"Wih, sama siapa nih Jep?"
"Temen."
"Temen apa temen?" goda cowok itu kepo.
"Temen sekarang, nggak tahu entar jadi demen," balas Jeffrey, sementara Jessi senyum-senyum aja, antara terhura hore sama omongan Jeffrey yang beneran kode keras, sama bingung mau gimana tiap ketemu temen-temennya Jeffrey semua orang pada nanyain, beda banget di Fisip mah bodo amat, ya mungkin karena dia anak Fisip yang orang juga ngapain nanyain dia kan?
"Lah ganti lagi? Yang kemarin itu udah bubar Jep?"
Pas denger kata-kata temen Jeffrey, Jessi ngerasa sedikit terusik, meski Jessi tahu mungkin aja temen Jeffrey cuma bercanda, tapi gimana kalau bener? Jeffrey kemarin bawa cewek lain? Atau barusan banget putus dan udah gebet Jessi? Kalau emang gitu, kok kesannya Jeffrey j****y banget yah, baru aja putus udah mepet cewek baru?
"Yang kemarin yang mana? Yanita?"
Jessi beneran nggak enak pas Jeffrey nyebut nama Yanita, duh ini tuh kayak Jessi naik wahana histeria di Dufan, naik cepet, happy, lalu anjlok bikin jantung copot. Tapi Jessi mikir lagi, kenapa dia gitu banget, kan kenal Jeffrey juga baru kemarin, nggak ada hak banget deh ngerasa ini dan itu. Tapi jujur aja, pengalaman relationship Jessi sebelum ini emang suck banget, dan bikin Jessi agak trauma berhubungan sama cowok.
Dua cowok teman Jeffrey ngakak pas dengar nama Yanita dan ngebuat Jessi penasaran siapa sih Yanita, kok kayaknya famous di kalangan anak tambang.
"Kenalin dong Jep!" Cowok satunya ngomong.
"Dih, ogah ya, ntar aja kenalannya kalau gue udah jadian sama dia, biar nggak lo gebet!" ucap Jeffrey lugas ngebuat Jessi yang tadinya merasa anjlok perasaannya, naik lagi, berasa makin bertaburan bunga. Beneran baru jalan sama Jeffrey beberapa menit, Jessi udah berasa kayak naik histeria, naik turun perasaannya.
"Eh, kakak jangan mau sama Jepri, dia buaya darat lho, mending sama aku aku aja," ucap temen Jeffry yang ditanggapi Jessi dengan senyuman.
"Jangan dengerin Jes, orang sirik emang kayak gitu." Jeffrey megang tangan Jessi buat buruan naik ke motor sebelum cowok-cowok itu berceloteh semakin rusuh.
"Jep, lo mau kemana?"
"Dih kepo!"
"Mau asik-asik ya?"
"Kalau iya kenapa?"
"Cuma mau bilang aja, jangan keluar di dalem." Dan dua orang temen Jeffrey tertawa ngakak, sementara Jeffrey mendecih dan melajukan motornya kencang.
Karena Jeffrey bawa motor kenceng, refleks, Jessi pegangan pinggang Jeffrey, punggung lebar Jeffrey yang dilapisi kemeja kotak flanel memenuhi pandangannya, dia bisa nyium bau parfum Jeffrey yang sedikit bercampur sama aroma rokok.
Jantung Jessi berdebar tak karuan, Jessi lupa kapan ngerasain hal kayak gini, cinta pertamanya, ah mungkin juga bukan cinta, tapi hubungan asmara pertamanya, kandas dengan cara sangat menyakitkan dan Jessi sempat nggak mau jatuh cinta lagi, tapi, saat lihat Jeffrey, Jessi merasa cowok itu naturally menarik.
Simpelnya sih, karena Jeffrey cakep, dan Jessi jadiin Jeffrey idola aja, seseorang yang disukain diam-diam tanpa harus mengungkapkan perasaan, selain Jessi masih enggan berurusan dengan cinta, juga karena Jessi pikir nggak bakalan kenalan langsung sama Jeffrey. Tapi, sekarang, dia dan Jeffrey berada di jalanan ramai, di atas motor dan jemarinya memegang kain flanel kemeja Jeffrey.
"Lo, suka makan apa?" Jeffrey melambatkan laju motornya, dan sedikit menoleh.
"Apa?" Jessi nggak denger, suara angin dan kendaraan lain begitu ribut.
"Lo suka makan apa?" Jeffrey ngulang pertanyaannya.
"Hah?" Jessi masih nggak denger pertanyaan Jeffrey dan refleks lebih memajukan tubuhnya, agar bisa mendengar apa yang Jeffrey ucapkan, dan Jeffrey merasakan d**a Jessi menabrak punggungnya, membuat Jeffrey merasakan sebuah reaksi di tubuhnya.
Merasa percuma nanyain Jessi dalam kondisi motor lagi jalan dan berisik, akhirnya Jeffrey menepi.
"Lo suka makan apa?" tanya Jeffrey.
"Hah? Oh...gue makan apa aja sih...."
"Omnivora?"
"Ha? Eh hooh omnivora." Jessi tertawa, Jeffrey juga.
"Pernah makan di Koki Johnny nggak?"
"Belum."
"Ke sana yuk, masakannya enak."
"Terserah lo aja, kan lo yang ngajakin."
"Tapi tetep gue nanya lo mau enggak, siapa tahu lo nggak mau kesana atau mau makan di tempat lain."
"Gue bebas aja sih, mau di mana aja juga ayo."
"Oke, kalau gitu." Jeffrey kembali menjalankan motornya, kali ini lebih lambat dan seolah menikmati waktu.
Jessi ngeliatin punggung Jeffrey, dan ngerasa Jeffrey itu beda sama ex-nya, mungkin karena usia Jeffrey dan dia nggak terlalu jauh? Entahlah Jessi nggak tahu, tapi dulu, ex-man Jessi tuh selalu udah nentuin makan di sini, atau kemana, atau apa...pokoknya Jessi diatur sama ex-mannya yang usianya emang di atas Jessi.
Jessi menghela nafas, bayangin lagi masa-masa itu, Jessi masih ngerasa trauma...but, ini Jeffrey. Jeffrey bukan mantannya, beda orang, udah pasti beda kepribadian juga, dan Jessi berharap kisahnya sama Jeffrey lebih indah dibanding kisahnya sama mantan.