Hitam di atas putih

1139 Kata
                “PAPA BIKIN HITAM DI ATAS PUTIH DENGAN RAJA, GUA UDAH GILA, GUA GAK BISA! KALAU GINI CARANYA HARGA DIRI GUA BENER-BENER JATUH DI DEPAN DIA, KI! GUA GAK MAU KALAU DIA LEBIH HEBAT DARIPADA GUA!” Ratu berteriak di apartement Kirana, meluapkan segala emosinya yang menyangkut tentang suaminya itu, bagaimana mungkin papa nya membuat perjanjian hitam di atas putih dengan Raja sementara ia tidak ada di sana? Apa papa nya sengaja agar Ratu bisa tunduk oleh Raja? Tapi mana mungkin itu bisa terjadi.                 “Lo udah baca kan isinya apa? kalau untuk kebaikan bersama ya udah, lagian apa coba isi surat perjanjian itu? gak ngerugiin lu kan Rat?” ucap Kirana yang berusaha sabar menghadapi tingkah konyol sahabatnya itu.                 “aaah!!” Bukannya berteriak, Ratu malah sibuk melempar piring di hadapannya ke dinding hingga pecah, entah sudah berapa banyak piring milik Kirana yang pecah hari ini, Kirana juga tidak bisa menghentikan Ratu, sama sekali tidak bisa.                 Sebagai perempuan yang memiliki sifat egois yang lebih dominan, Ratu sama sekali tidak pernah membayangkan dirinya berada di posisi sesulit itu, sama sekali tidak pernah. Selama ini ia mengandalkan dirinya, membuat tembok besar di antara dirinya dan orang lain agar ia bisa berdiri di kakinya sendiri. Bagi Ratu mendapat pertolongan orang lain apalagi perihal uang adalah penghinaan yang luar biasa terhadap dirinya sendiri, sudah menjadi larangan untuk dirinya agar tidak akan penah meminta tolong kepada siapapun kecuali keluarganya sendiri. Raja juga termasuk kedalam keluarga Ratu, namun hanya sebatas pada buku nikah dan kartu keluarga, selebihnya Ratu tidak pernah mengangap pria itu benar-benar ada. Entah bagaimana cara Raja berbicara kepada mertuanya itu sehingga Hartawan berani membuat perjanjian itu dengan Raja.                 “Daripada stress gitu mending lo benahi deh gimana perusahaan lo sekarang, daripada harus gulung tikar malunya lebih kerasa Rat.” Sambung Kirana.                 “Tapi lo tau kan Ki, I would never suck a men’s d**k to get what I want. Lo tau itu kan? Iya kan Ki?”                 “Tapi Raja gak minta itu kan sama lo? Bisa dibilang dia Cuma ngasih duitnya secara Cuma-Cuma, lagian he is your husband, gak ada salahnya dia ngeluarin uang berapa trilyun buat bantuin lo, apalagi selama nikah lo selalu menolak buat di nafkahi sama dia, anggap aja sekarang dia lagi ngasih lo nafkah, berhenti teriak-teriak, berhenti lemparin piring-piring gue!” Ratu merapihkan baju nya, sesaat ia menarik napas dalam-dalam sebelum menenggak segelas air mineral dingin di atas meja, kemudian ia mengeluarkan ikatan uang dari dalam tas nya, melempar uang itu ke atas meja.                 “Ganti piring lo.” Ucap Ratu, ia beranjak dari sana meninggalkan Kirana yang masih kaget melihat seberapa banyak uang yang ditinggalkan oleh Ratu hanya karena piring, uang dengan jumlah yang fantastis, jika saja benar Kirana ingin mengganti piring-piringnya yang rusak, mungkin dengan uang itu Kirana sudah bisa membuat museum piring atas namanya sendiri. *****                 “Hai pa.” Ratu mengunjungi papa nya sebelum berangkat bekerja, di banding dengan dua hari yang lalu wajah papa nya kini jauh lebih segar, sepertinya kondisi kesehatannya benar-benar membaik.                 “Akhirnya kamu datang, kemarin kamu kemana aja kok gak datang?” Tanya Hartawan kepada putri sulung nya itu.                 “Aku sibuk, papa gimana keadaannya? Yang masih sakit yang mana?” Tanya Ratu.                 “Udah gak ada yang sakit, ini papa udah mau minta keluar. Oh iya, kemarin Raja kesini, kue yang dia bawa enak sekali, papa sampai bisa habisin kue nya padahal papa kemarin gak nafsu makan.” Celetuk Hartawan. Mendengar hal itu Ratu diam saja, ia tidak tahu harus bersikap bagaimana, ia megambil buah di samping tempat tidur papa nya, mengupas buah tersebut lalu memberi papanya buah tersebut sebagai cemilan.                 “Iya harus makan banyak, nih buah nya.” Ucap Ratu. Mood nya betul-betul sedang tidak bagus, ponselnya beberapa kali berdering namun ia sama sekali tak merespon, Rio meneleponnya, namun ia tidak bisa menjawab panggilan Rio sebab ia berada di samping papa nya. Tahu sendiri, bahwa Hartawan tak pernah suka dengan Rio, kalau Ratu nekat menjawab telepon Rio, bisa jadi kesehatan papa nya akan kembali memburuk.                 “Kok gak di angkat?” Tanya Hartawan.                 “Gapapa, itu Raja lagi iseng.” Jawabnya. Mereka mengobrol cukup lama, obrolan biasa sebab Ratu tidak mau pembicaraan mereka beralih ke perjanjian papanya dengan Raja, bagaimanapun juga karena perjanjian itu lah harga dirinya terasa di injak-injak habis oleh suaminya sendiri.                 “Sialan.” Umpat Ratu dalam hati setiap kali mengingat bagaimana Raja melemparkan secarik kertas itu kepada Ratu.                 “Kata Dokter, papa sudah bisa keluar nanti sore.” Ucap Hartawan di sela-sela percakapan mereka.                 “Hah? Secepat itu?”                 “Papa lebih suka di rawat di rumah.” Balasnya.                 “Yaudah kalau gitu, berarti administrasinya sudah bisa di urus sekarang, Ratu keluar dulu. Sampai ketemu di rumah, hope you get wellsoon pa.” Ratu mencium papa nya, lalu berjalan keluar dari ruangan itu. Ratu kenal siapa pemilik rumah sakit tempat papanya di rawat ini, pewarisnya adalah teman masa kecil Ratu, sebenarnya mereka hanya sempat berada di satu sekolah dasar yang sama, namun mereka cukup akrab, beberapa kali mereka bertemu ketika Ratu menjenguk papa nya, orang itu bahkan sempat-sempatnya merayu Ratu padahal ia tahu jelas bahwa Ratu berstatus sebagai istri orang.                 “Totalnya, delapan ratus enam belas juta dua ratus dua puluh lima rupiah ibu.” Mata Ratu membelak kaget begitu mendengar jumlah yang harus ia bayar, apa ia sedang tidak salah dengar? Mereka memang agak berlebihan karena menyewa satu lantai khusus, namun apakah delapan ratus juta tidak terlalu mahal?                 “Ini bukti pembayaran lunasnya ibu.” Sambung wanita yang berdiri di belakang meja administrasi rumah sakit itu.                 “Ya? Maksudnya? Maksudnya gimana?” Tanya Ratu kaget, siapa yang berbaik hati membuang-buang uang delapan ratus juta nya untuk membayar tagihan rumah sakit papa nya?                 “Loh sudah lunas? Di lunasi atas nama siapa?” Di tengah-tengah keadaan yang seperti itu, Ratu masih sempat-sempatnya bahwa orang itu adalah Bennedict, atau paling tidak Erika, setidaknya jika kedua orang itu yang membayar, harga diri Ratu tidak akan jatuh.                 “Atas nama Tuan Raja Sabian Mahendra ibu, sudah di lunasi kemarin sore.” Entah bagaimana namun kepala Ratu tiba-tiba terasa pusing, ia diam cukup lama sebelum mengambil berkas-berkas dari tangan wanita itu. setelahnya, Ratu sedikit menjauh, ia kemudian langsung menelepon Raja guna mengintrogasi pria itu.                 “Ya?” Sambungan telepon mereka terhubung                 “Asli ya, aku gak suka kalau kamu kelewatan begini.”                 “Apanya?”                 “Kamu kenapa bayarin tagihan rumah sakit papa?! Kamu pikir kamu siapa Raja?!”                 “Ya aku menantunya, kamu yang kenapa? Cuma dibayarin begitu bukannya terimakasih atau paling enggak bersyukur, kenapa kamu malah marah-marah?”                 “Kalau kamu kayak gini kamu sama aja ngeinjak harga diri aku, gak puas kamu bikin harga diri aku jatuh dengan surat perjanjian kamu dengan papa? Kamu udah gila ya? Raja! Sekaya apapun kamu, aku gak butuh bantuan kamu, gak akan pernah butuh!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN