11. Iya, dong, Sayang

1878 Kata
Mobil yang dikendarai Dokter Reza akhirnya memasuki pelataran parkir rumah sakit setelah beberapa lama terjebak macet jalanan kota. Hal lumrah, di awal week day, jalan memang akan selalu lebih ramai dari biasa. Ia segera mencari posisi yang strategis untuk memarkirkan roda empat miliknya, di mana ia dapat keluar dan masuk dengan mudah jika diperlukan. Masih lumayan pagi. Belum banyak petugas kesehatan dan pasien yang datang. Jadi area parkir masih banyak yang kosong. Ia bisa memilih dengan leluasa di mana akan memarkirkan roda empat miliknya. Ketika berangkat dari rumah tadi, senyum di bibirnya seolah tidak mau pupus. Ia begitu excited dan tidak sabar untuk bertemu Maya, sekadar ingin melihat ceruk di pipi perawatnya itu. Ah, dia ternyata sudah tergila-gila pada perawatnya itu. Seolah ceruk pipi Maya memiliki sihir pengasih. Akan tetapi, semakin dekat dengan rumah sakit dan membayangkan akan bertemu Maya, senyumnya justru berubah menjadi tegang. Ditambah lagi jantungnya yang seolah tidak mau kompromi, berdegup kencang, jumpalitan tidak karuan membuatnya kian tegang. Setelah memastikan mobilnya terparkir dengan sempurna, ia menghela napas perlahan beberapa kali untuk menenangkan diri sebelum turun. Tidak lupa ia melihat pada cermin yang ada di dashboard untuk memastikan sisiran masih rapi, juga memeriksa pakaian jika mungkin ada yang kusut. Ketika merasa semua sudah paripurna, ia memutuskan untuk turun dan langsung menuju ruang poli. Pukul delapan kurang seperempat, ia berharap Maya sudah ada di sana. Pelayanan loket buka pukul delapan. Seharusnya perawat Poli sudah datang untuk menerima berkas-berkas dari loket pendaftaran. Dokter Reza melangkah cepat menuju lantai dua di mana Poli Anak berada. Saat menaiki setengah anak tangga, ia berhenti sejenak untuk kembali menghela napas demi menenangkan jantung yang semakin tidak jelas degupnya. Setelah dirasa cukup tenang, ia mulai mengatur langkah agar tidak kelihatan terburu-buru. Tidak lupa memasang ekspresi biasa saja supaya terlihat natural. Akan tetapi, tiba pada ujung tangga di mana ia bisa melihat meja tempat Maya menerima berkas rekam medis, senyumnya seketika memudar. Gadis yang sangat ingin ia temui pagi ini, sedang berbincang hangat dengan seseorang. "Jadi kamu juga dinas di sini?" "Iya." "Sejak kapan?" "Sejak hari ini." "Di bagian apa?" "Aku di UGD." "Wah, senangnya. Sejak tamat SMA, kamu hilang kabar. Eh, enggak tahunya sekarang kita malah satu tempat kerja." Maya tampak begitu excited menanggapi lawan bicaranya. Dokter Reza melangkah pelan, menilik siapa sosok laki-laki yang berdiri dalam posisi menghadap Maya, tetapi membelakangi dirinya itu. Ia pastikan laki-laki itu juga dokter di rumah sakit ini, mengingat ia pun menggunakan snelli. Akan tetapi, Dokter Reza merasa asing. Dia tidak bisa mengenal pemilik punggung yang sedang sok akrab dengan perawatnya itu. Apakah dia dokter baru? "Kamu yang hilang kabar, May. Aku bahkan sudah bertanya ke teman-teman kita, tapi enggak ada yang punya nomor kontak kamu." "Ya, iyalah. Aku 'kan bukan siswa famous di sekolah kita. Enggak kayak kamu. Jadi, enggak ada yang peduli dengan kontakku." "Iya, kamu memang enggak famous. Tersembunyi, tapi berharga dan dicari. Seperti mutiara." "Ah, kamu bisa saja, Dre." Oh, ternyata dia Andre. Dokter Reza ingat, laki-laki itu yang dia dan Maya temui di butik saat mereka mencari gaun untuk ke acara resepsi pernikahan Rumaisha. Jadi dia dokter di sini juga? Huh! Dokter Reza mendengkus sebal. "Di mana-mana selalu ada pengganggu," gerutunya pelan. "Aku merasa enggak ada yang nyariin aku," lanjut Maya lagi. "Ada. Aku yang nyariin kamu." "Kamu doang berarti." "Bagus, deh, kalau begitu. Berarti aku enggak ada saingan." "Saingan apa?" Dokter Reza merasa tidak perlu lagi mendengar pembicaraan Maya dan laki-laki itu. Kupingnya terasa panas. Terlebih lagi hatinya. Ia lantas melangkah lebar, melewati meja Maya sembari berdeham nyaring, berharap dapat menghentikan perbincangan yang tidak dia inginkan terjadi itu. "Ehem!" Maya dan Andre yang sedang serius berbincang, terkejut atas kedatangannya. Apalagi selama ini ia tidak pernah datang sepagi ini. "Dok? Sudah datang? Tumben pagi-pagi?" sapa Maya heran. Tidak menjawab, Dokter Reza justru berlalu begitu saja. Ia melangkah angkuh menuju ruangannya, tidak mengacuhkan dua manusia yang menyapanya. Bayangan tentang pagi yang menyenangkan seketika ambyar oleh kehadiran Andre. Hatinya panas. Dari kalimat-kalimat yang dilontarkan Andre, tampak jika laki-laki itu pun menaruh rasa pada Maya. Sesampai di ruangan, ia menutup pintu dengan keras. Brukkk! Maya dan Andre yang berada di luar sampai berjengkit kaget. Untung saja belum ada pasien yang datang. *** Pukul 11.00 waktu Indonesia bagian barat. Hari itu, tidak seperti biasa, Dokter Reza melakukan pelayanan di ruang Poli lebih awal dan menunda visit ke ruang rawat inap. "Masih ada pasien?" tanyanya datar setelah beberapa lama, tidak ada pasien yang dipanggil Maya. "Untuk sementara sudah habis, Dok. Tapi ini masih awal, mungkin akan ada yang datang lagi," balas Maya pelan. Ia menatap takut-takut pada dokternya itu. Hari ini Laki-laki di hadapannya itu aneh. Setelah di Ngabang kemarin sikapnya mulai manis, hari ini kembali judes bahkan lebih parah dari biasa. Apa karena setelah berhasil menjalankan rencana membawanya ke undangan mantan, lalu dia melupakan jasa dirinya? Dasar habis manis sepah dibuang! Maya menggerutu dalam hati. "Saya mau visit ke rawat inap. Kamu ikut saya!" Dokter Reza beranjak dari duduknya, lalu melangkah keluar seolah tidak perlu mendengar persetujuan Maya. "Tapi, Dok?" Maya menatap bingung. Dahinya mengernyit, tidak mengerti maksud perintah Dokter Reza. Ia belum beranjak dari posisinya. Dasar juga dokternya itu sekata-kata, membuat perintah tidak sesuai aturan. Bukankah tugas dia di ruang Poli? Mengapa harus ikut visit ke ruang ranap? Yang menemani ke ruang ranap seharus petugas yang ada di sana. "Tapi apa?" tanyanya sambil membalikkan badan, lalu menatap perawatnya itu tajam. "Kenapa saya harus ikut?" tanya Maya gugup. Jujur, ia takut melihat raut Dokter Reza yang tanpa ekspresi dan sorot matanya yang menatapnya tajam. "Karena saya mau kamu ikut!" Heh! Sekata-kata. Jadi hanya karena untuk memenuhi keinginannya, lantas dia seenaknya melakukan hal yang enggak sesuai aturan? "Bukankah di sana ada perawat yang mendampingi Dokter?" "Iya. Terus kenapa?" "Lalu untuk apa saya ikut?" "Untuk menemani saya." Dokter Reza tidak mau ambil resiko, nanti ketika dia tengah melakukan visit, Andre datang menyambangi Maya. Maya menggaruk bagian kepala yang sebenarnya tidak gatal. Pertanyaan yang dia ajukan kenapa jadi mbulet? Membuatnya semakin bingung. "Kalau saya menemani Dokter, nanti yang di sini siapa?" tanyanya kemudian. "Pasien rawat inap saya hari ini enggak banyak. Jadi enggak akan lama. Kamu titip pesan dulu sama teman di Poli sebelah jika ada pasien suruh tunggu. Atau beri catatan di meja kamu." "Baik, Dok." Akhirnya Maya menyahut lemah. Ia hanya bisa pasrah dan mengikuti kemauan aneh Dokter Reza. *** Maya tersenyum tipis menyaksikan kelembutan Dokter Reza memeriksa beberapa anak yang menjadi pasiennya. Sikapnya sangat berbeda ketika berbicara pada Maya. Saat menghadapi pasien, Dokter Reza tidak hanya menunjukkan diri sebagai seorang dokter yang profesional dan bertanggung jawab, melainkan juga penuh kasih sayang. "Sudah enakan belum?" tanyanya pada pasien anak laki-laki yang Maya taksir usianya sekitar lima atau enam tahun. Tangan kekarnya lembut mengusap kepala pasien itu, menimbulkan desir haru di hati Maya. Itulah salah satu sisi dari Dokter Reza yang membuatnya kagum, selain parasnya yang menawan. Setiap menghadapi anak, serewel apapun, selalu disikapi penuh lembut dan kasih sayang. Terlintas dalam benak Maya, jika Dokter Reza menjadi ayah dari anak-anaknya, betapa menyejukkan dunia. Huss! Maya menepiskan telapak tangan di depan wajahnya, membuang pikiran tidak tahu diri yang melintas secara tidak tahu diri pula di benaknya. Sadar diri, May! Sadar diri! Emang kamu siapa? Dia pasti akan mencari jodoh yang sepadan, paling tidak yang bergelar dokter juga, bukan perawat seperti kamu. Memang benar, pasien rawat inap Dokter Reza hari ini tidak banyak. Mereka visit pun tidak lama dan segera kembali lagi ke Poli. Di Poli pun, pasien baru hanya dua orang, sebab kebanyakan pasien memang selalu datang pagi-pagi. Pukul 12.00 WIB, waktu standar pelayanan loket berakhir. Berarti, tidak akan ada pasien baru lagi yang datang. Dokter Reza memerhatikan Maya yang berkemas dan bersiap pulang. "Andre itu teman kamu?" tanyanya dingin. Sebenarnya ia malas untuk bertanya tentang laki-laki itu, tetapi entah mengapa rasanya begitu penasaran. Maya menghentikan sejenak aktivitasnya, menoleh pada Dokter Reza, lalu mengangguk. "Iya, Dok. Kami dulu teman satu SMA." "Oh." Dokter Reza mengangguk malas. "Dia dokter di sini juga?" tanyanya lagi. "Iya." Lagi-lagi Maya mengangguk. "Dokter apa?" "Dokter umum, Dok." "Tugas di Poli Umum?" "Enggak, Dok. Dia katanya di UGD." "Senang, dong, bisa satu tempat kerja sama dia?" "Ya, senanglah, Dok, ketemu sama teman lama." "Dekat sama dia?" "Enggak juga, sih." "Benar enggak dekat?" "Iya, Dok. Bahkan kami sudah tujuh tahun lebih tamat SMA, tapi sampai sekarang baru bertemu dua kali. Pertama waktu di butik itu. Terus sekarang tadi dia nyamperin karena lihat saya jalan ke arah sini. Sebelumnya enggak tahu ternyata satu tempat kerja." "Waktu SMA dekat?" "Enggak juga. Malahan jarang bertegur sapa. Kita satu angkatan cuma beda kelas." Dokter Reza tersenyum tipis. Ia paham, laki-laki bernama Andre itu sepertinya juga menyukai Maya. Mungkin dia suka diam-diam sejak SMA, tetapi tidak berani menyampaikannya. Akan tetapi, Dokter Reza tidak peduli. Hal yang terpenting sekarang Maya masih free dan harus diperjuangkan. Siapa saja boleh menyukai Maya, tetapi hanya dia yang boleh memilikinya. "Kamu sudah mau pulang?" tanyanya berbasa basi. "Iya, dong, Dok. 'Kan udah jam pulang. Enggak mungkin 'kan saya menginap di sini? Atau Dokter mau menginap?" "Mau asal kamu juga nginap." Mata Maya mendelik memerhatikan raut Dokter Reza yang sedikit mulai mencair. Tidak seperti sebelumnya yang tampak tegang, kaku, datar, pokoknya tidak mengenakkan untuk dipandang. Sekarang laki-laki itu malah terkesan jahil. "Ogah!" jawabnya seraya mencebik, memberanikan diri untuk berkelakar. Dokter Reza terkekeh ringan. Dalam hati, ia begitu gemas memerhatikan bibir Maya yang sedikit dimajukan. Rasanya ingin dia raih, lalu dia sesap. Pasti rasanya manis. Astaghfirullah! Otak messum kembali menghampiri dirinya. Jaga hati, jaga pikiran, Za. Halalin dulu. Setelah itu baru boleh disesap sampai puas. Sampai dower pun halal, tidak ada larangan. Heh! Bukannya sembuh, otaknya malah kian kacau. "Habis ini kamu ada acara?" Ia bertanya sambil mengemas barang milik sendiri, melepas snelli dan menggantungnya di salah satu tangan, lalu meraih tas kerja. Setelah itu, ia mengikuti langkah Maya meninggalkan ruangan poli. "Enggak ada, Dok. Paling setelah ini saya langsung pulang." "Oh, mau ...." "Hai, May! Sudah selesai?" Ucapan Dokter Reza terpotong ketika ternyata di depan ruangan praktiknya, sudah menunggu Andre. "Hai. Lho, Dre. Kok, ada di sini?" sahut Maya sedikit terkejut, tidak mengira teman lamanya itu kembali menyambanginya. "Iya. Tadi aku chat kamu, tapi sepertinya belum kamu buka. Makanya aku samperin ke sini." "Oh, ya? Maaf, aku belum buka hp." "Iya." "Emangnya kamu chat apa?" Maya gegas membuka tas tangannya, lalu meraih ponsel dan memeriksa pesan di aplikasi hijau miliknya. Tadi saat pagi, mereka sudah saling save nomor w******p. "Aku mau ajak kamu makan siang," balas Andre. "Lho, apa kamu sudah ganti shif?" "Belum, sih, tapi ini ijin ISHOMA, gantian sama yang lain." "Ooo ...." Maya mengangguk paham. "Tapi hari ini makan siangnya di kantin saja dulu enggak apa-apa, ya. Nanti kapan-kapan baru makan di luar. Mau, ya, May?" "Mmm ...." "Maaf, Dok. Sepertinya Maya tidak bisa makan siang bareng Dokter hari ini. Dia sudah lebih dulu janjian makan siang sama saya." Belum sempat Maya menyelesaikan kalimatnya, Dokter Reza sudah terlebih dahulu memberi statement yang mengejutkan, tidak hanya bagi Andre, tetapi tentu saja bagi Maya sendiri. Kapan mereka janjian makan siang? "Oh, ya?" Andre menatap kecewa. "Iya." "Emang iya, Dok?" Maya ikut bertanya. Dahinya mengernyit, bingung dengan apa yang baru saja dokter Reza sampaikan. Memangnya kapan laki-laki itu mengajaknya makan siang? Dan kapan dia menyanggupi? "Iya, dong, sayang. 'Kan katanya kamu mau coba makan di Ponti LokLok."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN