“Bukan siapa-siapa, hanya teman saja.”
Hendra pun segera meninggalkan Rosmalina setelah dirinya mendapatkan jawaban atas pertanyaannya. Setelah Hendra pergi. Rosmalina segera melepaskan dekap erat tangannya pada tubuh Asila.
“Sayang, mama mau telepon dulu, Asila main sendiri dulu, ya.”
Tanpa menjawab. Asila pun segera berlari meninggalkan Rosmalina. Dengan cepat Rosmalina pergi ke taman belakang. Sembari menatap ponselnya dalam-dalam. Setelah sampai di taman. Rosmalina menoleh ke kiri dan kanan, dia harus memastikan bila di taman belakang itu tak ada siapa-siapa.
Setelah suasana dirasa aman. Rosmalina segera mengoperasikan teleponnya. Dia menelepon seseorang yang tadi sudah menelepon Rosmalina dahulu.
“Halo, kamu kenapa telepon aku jam segini, suamiku sedang di rumah.”
“Aku ingin ketemu kamu.”
“Nanti aku kabari lagi.”
“Jangan lama-lama, aku sudah tak sabar ingin bertemu denganmu.”
“Iya, aku kabari secepatnya.”
Rosmalina segera menutup panggilan itu ketika dia melihat pak Yusron yang sedang lewat di sampingnya. Rosmalina hanya menghadirkan senyumnya sejenak. Setelah itu Rosmalina pun segera berlalu.
***
Asila merasa bosan. Dia menampilkan wajah datarnya. Tak ada hiasan senyum pun yang ditampilkannya. Bahkan beberapa mainan yang berada di atas tempat tidurnya itu dibuang ke bawah. Berceceran di lantai.
Asila tak memungut kembali mainan-mainan itu. Justru dia menambah lagi beberapa mainannya untuk dibuang ke lantai. Hatinya kini sedang gundah. Kebosanan menyelimuti. Tak ada aktivitas yang kini disukainya.
Mama Rose yang ingin mengetahui keadaan cucunya segera masuk ke dalam kamar. Dia mengira bahwa Asila telah tertidur pulas. Waktu sudah menujukkan pukul sembilan malam. Namun anehnya Asila masih saja terjaga.
Bu Dewi melihat banyak mainan yang berjatuhan di lantai pun merasa sangat aneh. Tak biasanya cucunya bermain hingga semua mainannya itu hampir memenuhi lantai di kamarnya. Bu Dewi pun mendekat.
“Asila, kenapa mainannya jatuh semua?”
“Oma, Asila bosan.”
“Asila kan besok sekolah, jadi Asila harus cepat tidur, ya. Supaya besok tidak telat berangkat ke sekolahnya.”
“Bunda Nirma kapan pulang oma?”
“Bunda kan masih berobat, masih sakit dan belum sembuh.”
“Asila ingin bertemu bunda.”
“Sayang, bunda masih belum bisa ditemui.”
“Kenapa? Biasanya kan kalau orang sakit di rumah sakit bisa dijenguk, Oma.”
“Kata dokter, Bunda Nirma harus istirahat total dan tidak boleh diganggu, supaya cepat sembuh dan bisa segera pulang.”
“Asila ingin lihat bunda, oma.”
“Asila, ini sudah malam, istirahat dulu, ya. Bunda akan segera sembuh dan cepat pulang.”
Air mata Asila menetes. Dia merasa ada yang kurang dalam hari-harinya. Apalagi jika malam datang. Nirmala yang selalu membacakan dongeng sebelum tidur untuk Asila. Kini hal itu tak didapatinya lagi. Asila pun menangis dan terus meminta untuk bertemu dengan Nirmala.
Bu Dewi yang merasa tak bisa membujuk cucunya itu. Dia segera memanggil Hendra dan juga Rosmalina. Berharap mama dan papanya itu bisa dengan mudah memberikan pengertian untuk sang anak.
Hendra masuk ke kamar Asila dengan cepat. Disusul di belakangnya Rosmalina dengan pergerakan kaki yang cukup cepat. Hendra yang melihat sang anak terisak itu segera memeluknya.
“Sayang, kenapa harus menangis?”
“Asila ingin bertemu dengan bunda, pa.”
“Bunda kan sedang sakit.”
“Kenapa tidak boleh dijenguk, pa?”
“Karena penyakit bunda menular. Makanya itu untuk sementara bunda harus dirawat sama dokter biar sembuh.”
“Asila hanya ingin lihat bunda, pa.”
“Begini, Asila sekarang berdoa terus supaya bunda cepat sembuh dan bisa kembali pulang.”
Hendra menyeka air mata Asila yang terus menentes membasahi pipi. Hendra tahu sejak kecil memang Nirmala yang terus menemaninya di setiap malam. Bahkan Nirmala seolah tak pernah absen dengan dongeng-dongengnya. Namun baru kali ini Nirmala tak ada di samping Asila. Hal itu membuat Asila seakan merasa ada yang hilang di malamnya.
“Sayang, malam ini biar mama yang temani Asila, ya.”
Asila mengangguk dengan perlahan. Dia yang sedari tadi terus merengek dan ingin bertemu dengan Nirmala. Kini seakan luluh dengan dekap kasih sang papa.
“Apa Nirmala mau tidur bersama mama dan papa?”
“Iya, Asila mau tidur bersama mama dan papa.”
Seketika Hendra pun segera menggendong Asila untuk dibawa ke kamarnya. Rasa kantuk yang juga sudah menyelimuti Asila seakan mudah baginya untuk cepat terpejam. Namun meski begitu Asila masih ingin mendenngarkan sebuah dongeng yang setiap malam, dirinya tak pernah absen untuk mendengarkannya.
“Rosma, tolong bacakan dongeng untuk Asila, agar dia cepat tidur.”
Dengan terpaksa Hendra pun meminta Rosmalina agar membacakan dongeng untuk Asila. Rosmalina sempat terbengong. Dia sama sekali tak punya keahlian untuk membacakan dongeng.
“Ayo, Rosma cepat!”
“Iya sebentar, aku ambil ponselku dulu”
Rosmalina beranjak dari tempat tidurnya untuk mengambil ponsel yang masih ditancapkan pada aliran listrik, karena sedang kehabisan baterai itu.
Sekembalinya Rosmalina di tempat tidur itu. Dilihatnya sang anak telah memejamkan matanya. dalam hati Rosmalina seolah merasa senang, setidaknya bisa menolong dirinya sendiri yang tidak bisa membaca dongeng.
“Asila sudah tidur, kamu terlalu lama!”
“Maaf.”
Hendra segera berbalik badang. Seolah ada sedikit kekecewaan yang mampir di benaknya. Kini Hendra pun seketika memejamkan matanya. sedangkan Rosmalina merasa kesal dengan perlakuan suaminya yang seolah sama sekali tak mengerti akan kondisinya.
Rosmalina pun segera membaringkan tubuhnya. Di tengah-tengah mereka kini telah ada gadis kecil yang telah terpejam dengan cepat. Malam sudah begitu larut. Rosmalina pun ingin segera menuju ke dunia fatamorgana.
Sayangnya. Ada sesuatu yang terasa begitu aneh di perut Rosmalina. Dia merasakan kram yang begitu luar biasa. Melilit karena tak tahan dengan rasa sakit yang terus merongrongnya. Rosmalina tak bisa bangkit untuk sekadar mengambil obat sakit perut.
Rosmalina terus saja memegang perutnya. Dia memanggil suaminya berkali-kali. Namun sayangnya Hendra yang tidur cukup pulas itu sama sekali tak mendengar panggilan istrinya. Lalu Rosmalina pun hanya diam dan kembali memegang perutnya dengan kedua tangannya.
Setelah beberapa menit kemudian, rasa kram di perut Rosmalina itu mereda. Dia tak merasakan lagi perut yang melilit itu. pikiran Rosmalina berkelana. Selama hidupnya Rosmalina tak pernah merasakan kram sehebat ini.
Namun dia kembali mengingat, bahwa saat hamil Asila. Dirinya pernah mengalami kram namun tak seperti yang dirasakan sekarang. Rosmalina mengambil ponselnya yang diletakkan di meja samping tempat tidurnya.
Rosmalina berpikir mungkin dirinya akan menstruasi. Namun dia baru ingat bahwa beberapa bulan dirinya belum kembali merasakan sesuatu yang selalu hadir tepat waktu itu. Untuk memastikan prediksinya.
Rosmalina segera mengambil ponsel yang atdi diletakkannya di atas meja samping tempat tiduna itu. Rosmalina pun segera memeriksa kalender menstruasinya. Dan betapa terkejutnya, dalam catatan kalender itu sudah empat bulan Rosmalina belum mendapatkan menstruasi itu lagi.
Rosmalina pun sempat cemas. Dia takut bila terjadi sesuatu pada dirinya. Seumur-umur baru kali ini Rosmalina lama sekali telat datang bulan. Dirinya kembali mengingat saat hamil Asila. Saat itu dirinya baru saja telah seminggu. Dan ketika dirinya memeriksa dengan alat tes kehamilan ternyata Rosmalina pun diketahui positif hamil.
Rosmalina terus saja bergumam, matanya seketika tak bisa terpejam. Dia benar-benar merasa takut. Namun Rosma terus saja mencoba untuk kembali tidur agar kondisi badannya tetap baik-baik saja.
***
Nirmala merasa sangat jenuh berada di ruang isolasi. Dirinya harus dijauhkan dari orang-orang yang dicintainya. Badannya masih merasakan demam. Batuknya pun tak kunjung hilang. Sedangkan bintik-bintik merah itu seakan memenuhi seluruh tubuhnya.
Nirmala sama sekali tak pernah menyangka bila kini dirinya dalam kesendirian tanpa siapa pun. rindunya pada sang gadis kecil pun tak terbendung. Namun tak ada yang bisa dilakukan Nirmala, selain berdoa agar penyakitnya segera sembuhm dan bisa kembali berjumpa dengan gadisnya.
Sendiri dalam ruangan. Nirmala pun harus tetap bersabar dengan kondisinya kali ini. Dia penuh semangat agar bisa segera sembuh dari sakit yang tak dimintanya. Apalagi sakit yang dialaminya membuatnya dijauhkan dari orang-orang terkasihnya. Kesedihan yang dalam pun seolah menghiasi matanya yang basah karena air mata.
Nirmala masih terbaring dengan batuk-batuk kecil yang terdengar begitu jelas. Nirmala pun masih terlalu lemah badannya. Dia sebenarnya ingin menelepon Asila. Namun hal itu belum bisa dilakukan. Dirinya masih saja terbaring dengan sejuta doa yang dipanjatkan ke langit lazuardi yang tak terlihat olehnya.
***
Hari ini setelah mengantarkan Asila. Rosmalina berencana untuk melakukan pemeriksaan ke dokter. Selain itu dirinya pun sudah membuat janji dengan seseorang yang kemarin telah meneleponnya. Ada hal yang dibicarakan diam-diam dengan laki-laki yang baru saja dikenalnya itu.
Setelah menjalani pemeriksaan USG. Betapa terkejutnya Rosmalina. Ada kantung janin yang terlihat begitu jelas. Kini Rosmalina telah mengandung. Rasa kaget bercampur dengan peluh yang menghiasi dahinya.
Pikiran Rosma buntu. Dia yang baru saja menikah dengan Hendra sekitar satu setengah bulan. Dan anehnya dokter mengatakan bahwa usia kandungan Rosmalina memasuki empat bulan. Sedangkan Rosmalina tahu persis, selama pernikahan itu mengikat dirinya. Hendra belum pernah menyentuhnya. Dan bahkan selama Rosmalina rujuk dengan Hendra. Dia sama sekali tak pernah melakukan hubungan terlarang dengan siapa pun. Rosmalina terdiam dengan pikiran-pikirannya.