Part 20 - Jatuh Cinta

1879 Kata
Kian hari kondisi Asila semakin membik. Nirmala yang selalu siap siaga menjaganya dua puluh empat jam. Di samping Asila untuk membantu percepatan pemulihannya. Dokter yang mengecek kondisi Asila tersenyum lebar. Dokter sudah memperbolehkan Asila untuk pulang ke rumah. Asila sangat bahagia. Dia sudah merindukan kamarnya. Selain itu dirinya juga ingin kembali bersekolah, meski dirinya merasa sekolah barunya tak senyaman sekolah lamanya. Namun Asila tetap saja rindu pada sebuah dunia yang membuatnya belajar mengerti sebuah pelajaran. Asila penuh senyum. Dirinya memperhatikan terus Nirmala yang mengemasi bajunya. Kali ini oma, opa dan juga papanya pun turut serta menjemput. Semua berhias senyum dengan kabar bahwa Asila akan segera pulang. Tak lama kemudian. Rafi yang baru mengetahui jika Asila masuk ke rumah sakit. Dirinya tak menunggu lama untuk menjenguk keponakannya itu. Namun sayangnya, saat dirinya baru saja memasuki ruang rawat Asila. Semua sudah berdiri untuk membawa Asila pulang ke rumah. Rafi hanya tersenyum penuh kelucuan. Apa yang dibawanya belum sampai dinikmat gadis kecil yang kondisinya sudah sehat itu. Rafi pun segera menggandeng Asila. Tiba-tiba saja pandangan matanya melirik ke arah wanita yang tengah menggandeng Asila. Rafi hadirkan senyum terbaiknya, pada sosok wanita yang membuatnya bersikap tak seperti biasanya. Kekaguman pada Nirmala membuat Rafi berpikir lebih tentang sebuah tatapan yang dilayangkannya itu. “Papa, Asila mau ikut mobilnya om Rafi, ya.” “Kenapa tidak sama Papa?” “Ayolah, Pa. Om Rafi sebentar lagi kan pergi jauh.” “Iya, sayang.” Asila segera memeluk erat tubuh Rafi. Nirmala mundur satu langkah dengan membawa koper di tangannya yang berisi barang-barang Asila. “Nirmala, Kamu temani Asila!” “Baik, Pak.” Hendra segera memerintahkan Nirmala untuk tetap menjaga anaknya. Oma dan opa Asila sudah menunggu di mobil. Hendra pun beranjak dengan cepat, meninggalkan Asila, Rafi dan juga Nirmala. Rafi yang melihat Nirmala membawa koper itu segera meraihnya. Rafi membawanya dengan sukarela. Meski awalnya Nirmala menolak. Namun Rafi tetap memaksa. Asila hanya tersenyum melihat tingkah dua orang yang kini sedang menemaninya. Laju mobil Rafi tak begitu cepat. Dia membawanya cukup santai. Bahkan sudah tertinggal jauh dari mobil Hendra di depan. Asila memilih untuk duduk di belakang. Sedangkan Nirmala sejajar dengan kursi Rafi di depan. “Om, nanti datang ya ke pernikahan, Papa.” “Papa Asila mau nikah?” “Iya, Om.” “Wah senang sekali om mendengarnya.” “Iya nanti Asila punya mama deh seperti teman-teman di sekolah.” “Asila pasti senang, ya.” “Iya donk, nanti Asila gak manggil mbak Nirmala lagi, tapi manggilnya mama Nirmala.” Kata-kata terakhir yang didengar Rafi membuat dadanya bergetar hebat. Dia pun memastikan kembali apa yang telah didengarnya bukan sebuah kesalahan. “Mbak Nirmala mau menikah dengan papa Asila?” “Iya dong om, iya kan Mbak Nirmala?” Nirmala hanya diam tak menjawab. Pandangannya tertekuk. Membiarkan Asila pada argumennya. Sedangkan Rafi merasa bahwa ada sesuatu yang membuat hatinya sedikit getir. Berita itu sangat tak diharapkannya. Rafi tak tahu, entah mengapa dirinya tak menyambut kabar dari Asila dengan bahagia. Justru wajah datarnya itu seolah menggambarkan hatinya. Ada sedikit kegundahan yang berselimu tebal di dinding hatinya. Rafi tiba-tiba menghentikan mobilnya. Nirmala yang melihat pandangan aneh Rafi padanya pun seolah merasa sangat tidak nyaman. “Kenapa berhenti, Mas?” “Apa benar yang dikatakan Asila?” Nirmala hanya diam. Dia mengalihkan pandangannya yang semula menatap Rafi sejenak. Kini mata Nirmala kembali tertuju pada kedua kakinya yang tertekuk. Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Nirmala. Dia mengunci rapat mulutnya agar tak sembarang menjawab pertanyaan yang sama sekali tak diinginkannya. “Nirmala, jawab! Apa kamu akan menikah dengan Hendra?” Nirmala tetap pada pendiriannya. Dirinya cukup dengan sebuah isyarat kediaman. Tak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya. Asila yang mendengar dengan jelas pertanyaan omnya itu segera menyahuti tanpa beban sedikit pun. “Iya, Om. Mbak Nirmala akan menikah dengan papa sebelum hari ibu.” Pernyataan Asila semakin membuat Rafi tak bisa berkonsentrasi. Gadis yang amat dikaguminya itu akan menjadi milik sepupunya. Tatapan kedua matanya masih terus tertanjam di wajah cantik Nirmala. Namun Nirmala tak menggubrisnya. Dia tetap menunduk dengan beban yang kini dirasakannya sendiri. “Om, ayo pulang. Asila sudah ingin di rumah.” Ajakan Asila membuat Rafi tersadar dalam sedikit lamunan yang menyapa. Dengan cepat dirinya menepis apa yang sedang dipikirkannya itu. Rafi kembali mengemudikan mobil dengan pikiran yang menari-nari tentang wajah cantik sang wanitanya. *** “Mama, besok pernikahan Nuna, tapi sampai detik ini, Nuna tak berhasil mengundang Nirmala, Ma” “Sudahlah, tak usah kamu tangisi. Doa terus semoga Tuhan mempertemukan kalian.” “Semua ini adalah salah Nuna, Ma.” “Tidak ada yang salah, semua akan baik-bak saja, kalian pasti akan bertemu lagi.” Butiran kristal bening itu membasahi kedua pipi Nuna. Bayangan tentang kenangan bersama yang dilalui beberapa waktu, membuatnya tak bisa dengan mudah mengendalikan perasaanya. Menghentikan isak tangisnya, dan menepis tentang penyesalan yang menyesaki dadaanya. Pernikahannya tinggal menunggu perputaran waktu. Detik yang terus berubah menjadi menit hingga jam pun menyapa. Nuna tak semudah itu mengapus tetesan air matanya. kerinduan yang menggebu seakan tak bisa diobatinya. Nuna yang merasa bersalah itu penuh dengan penyesalan. Selama tak berhubungan dengan Nirmala, dirinya tak punya satu teman pun yang mengerti akan hatinya. Dulu selalu Nirmala yang diajaknya untuk berbagai segala suka dan duka. Kehangatan dalam sebuah ikatan persahabatan itu, kini sedang merongrong jiwanya. Slide demi slide tentang waktu yang sering dijalani bersama. Bertolak argumen sudah biasa, namun tetap saja semua akan teratasi dengan baik. Nuna merindukan waktu itu untuk kembali hadir dalam hidupnya. Namun waktu seakan masih menjadikannya misteri. Entah berada di mana dan dalam kondisi bagaimana tentang sahabat karibnya itu. Nuna yang sangat mengharapkan Nirmala menjadi saksi bahagianya. Namun sepertinya hal itu sangat sulit untuk diwujudkan. Beberapa usahanya untuk menemukan keberadaan Nirmala belum juga menemui titik terang. Hitam dan gelap tanpa cahaya yang masih saja mengarungi jalannya untuk mendapatkan sebuah keinginan, bertemu dengan Nirmala. “Mbak Nuna, ada yang sedang mencari Mbak, Nuna.” Suara Asiten rumah tangganya yang masih beberapa minggu bekerja di rumahnya itu membuat Nuna menjeda isakan tangisnya. Nuna menepis dan menyeka segera tetesan kesedihan yang membelenggu jiwanya. “Siapa, Bi? Laki-laki atau perempuan?” “Perempuan, Mbak.” Mendengar kata perempuan, Nuna mencoba menerka lamat-lamat ingatannya. Hari ini dirinya tak membuat janji dengan siapa pun. Namun entah mengapa, hatinya berharap bahwa yang datang ke rumahnya itu adalah Nirmala. Nuna pun segera berlari dan menuju ke ruang tamu untuk melihat siapa gerangan yang sedang mencarinya. *** Sesampainya di rumah Hendra. Rafi tak mau berlama-lama. Mengantarkan Asila ke kamarnya. Lalu dirinya segera pamit. Kedua orang tua Hendra pun merasa sangat aneh. Rafi yang biasanya sering sekali menghabiskan waktunya bersama Asila jika dirinya berada di rumah. Namun kini Rfai ijin untuk pergi karena masih ada urusan yang akan dikerjakannya. Rafi pun segera melangkahkan kakinya. Memanuver mobilnya dengan cepat. Namun tak jauh dari kompleks perumahan Hendra. Rafi segera mengehentikan kembali laju mobilnya. Entah mengapa pikirannya selalu bertajuk pada Nirmala. Tertuju kuat seperti busur panah yang akan ditancapkan pada medianya. Pikirannya terus saja berputar-putar. Rafi merasa bahwa hatinya tak semudah itu mendengar tentang rencana pernikahan sepupunya dengan wanita yang membuat jantungnya seakan berdegup maraton. Rafi merasa bahwa cinta itu telah hadir menyapanya. Seolah Rafi terus saja menepisnya. Namun dirinya mulai berpikir tentang apa yang dilakukannya. Rafi sering memikirkan Nirmala jika dirinya akan menuju ke alam mimpi. Belum lagi apa hadiah ponsel yang dibelikannya dengan Cuma-Cuma. Meski Rafi menyembunyikan semua itu. Namun tak dapat dipungkiri bahwa dia telah melakukan sesuatu di luar nalarnya sendiri. Kini pikirannya terasa buntu. Tak ada jalan yang bisa membuatnya untuk menghadapi perasaannya sendiri. Rafi tak ingin merebut kebahagiaan Asila. Namun dirinya juga tak bisa menolak hatinya tentang sebuah pelangi cinta yang hadir di kedua bola matanya. Rafi mengambil ponselnya. “d***u, selamat ya, akhirnya setelah empat tahun kamu bisa bangkit dari mantan istrimu.” “Kamu ini ngomong apa, Jabrik.” Dungu adalah panggilan akrab Rafi pada Hendra, sedangkat Jabrik adalah julukan yang diberikan Hendra pada Rafi. Panggilan itu selalu hadir dan menemani mereka sejak kecil. Hendra dan Rafi yang dulu selalu bermain bersama, membuat sebuah ikatan yang sangat kuat. Dan sampai kini panggilan itu pun tak hilang dan masih terus digunakan bersama. “Asila bilang kamu akan menikah dengan Nirmala?” “Only marriage not love.” Hendra menutup pembicaraan itu. Mendengar jawaban Hendra membuat Rafi seolah semakin penasaran. Hanya pernikahan dan bukan cinta. Lalu apa sebenarnya yang Hendra pikirkan. Tak ada cinta tapi akan menikah. Rafi berkelit sendiri dengan pikiran-pikirannya. Malam demi malam, Rafi semakin tersiksa dengan bayangan Nirmala yang sangat mengganggu pikirannya. Kabar yang tak mengenakkan itu selalu saja membuat hatinya merasa hancur. Tak rela bila kenyataanya mereka akan menikah. Tapi Rafi seakan yakin, pernikahan itu tak berlandaskan sebuah cinta. Rafi memberanikan diri untuk kembali datang ke rumah Hendra. Mencari kepastian atas pikirannya yang terus saja mempermainkan dirinya. Tak mau lagi diam dan menerka dengan hipotesa yang terus bermunculan. *** “Kamu serius akan menikah dengan Nirmala.” Ucapan mama Rose mengawali pembicaraan dengan putra tunggalnya. Mata Hendra bergidik. Mama dan papanya kini telah memandangnya dengan sebuah pertanyaan yang sama sekali tak ingin dijawab. “Hendra, jawab pertanyaan Mamamu,” lanjut sang papa. “Demi Asila, tidak lebih.” “Nirmala gadis yang baik, belajarlah untuk benar-benar mencintainya, Hendra,” lanjut mama. “Ma, hanya pernikahan bukan cinta.” Hendra meninggalkan ruang yang telah merekam pembicaraan mereka. Termasuk Rafi yang sedari tadi berdiri di balik dinding putih itu. Hingga keberadaannya diketahui mama Rose. Rafi pun terbalut senyum dan mengatakan keinginannya untuk bertemu Asila. Rafi pun segera menuju ke kamar Asila, dengan membawa sedikit buah tangan yang digenggamnya. Membuka kamar Asila. Dilihatnya sosok wanita yang terus membuat hatinya berdesir bila menatap terlalu lama. Nirmala pun beranjak dari duduknya. Dia akan segera keluar agar tak mengganggu pertemuan Rafi dengan Asila. Namun tanpa disangka, Rafi menarik tangan Nirmala hingga langkahnya terhenti. “Di sini saja Nirmala, jangan pergi!” “Iya, Mbak Nirmala di sini saja.” Nirmala tak bisa menolak jika Asila sudah berkata. Dirinya pun mengiyakan tanpa harus mengatakan. Nirmala kembali ke tempat duduknya. Menunggu Rafi yang terus saja bercakap hingga tak menyangka bahwa Asila sudah menutup mata dengan lelap. Dia tertidur. Pandangan Rafi beralih pada gadis yang masih terdiam di depannya. Rafi melangkah ke arah tempat duduk Nirmala. Namun Nirmala segera beralih dan akan segera keluar dari kamar Asila. Lagi-lagi Rafi menahan langkah Nirmala, menarik tangan kanannya. “Tunggu.” “Tolong lepaskan tanganku, Mas.” “Nirmala, tolong lihat aku!” Rafi meminta Nirmala untuk menatap matanya. Namun Nirmala tak melakukan itu. Dia tetap menundukkan pandangannya, melapaskan lilitan jari Rafi dari tangannya. “Kamu yakin akan menikah dengan Hendra?” Nirmala tertegun. Pertanyaan itu membuatnya tak bisa menjawab dengan mudah. Namun Rfai terus saja mengejar pertanyaan itu untuk mendapatkan jawaban secepatnya. Namun Nirmala seolah tak sanggup dengan apa yang kini dirasakannya. “Nirmala, aku mencintaimu!” Kata-kata itu membuat Nirmala semakin diam. Tak tahu bagaimana dirinya harus menepis hatinya sendiri. Waktu seolah tak berjalan saat Rafi mengungkapkan isi hatinya.Rafi pun tak menyangka bila kata-kata itu keluar dari bibirnya. Semua berjalan tanpa sengaja. Bahkan Rafi seolah tak sadar saat mengucapkannya. Debar jantung terus saja berdegup dengan kencangnya. Nirmala menatap penuh lantai yang dipijaknya. Namun tiba-tiba saja suara Asila terdengar memanggilnya.   ^Cengkir^ "Bedo neng lambe bedo neng ati." (Lain di mulut lain di hati)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN