Asila membuka matanya. Tubuhnya yang terasa lunglai itu tak mampu untuk banyak bergerak. Hendra yang menunggu di samping anaknya itu, seketika berwajah binar. Asila telah sadar. Meski dengan kondisi yang belum stabil.“Pa ... pa.”
“Iya, Sayang. Asila ingin apa biar papa belikan?”
“Mbak Nirmala mana?”
Pertanyaan Asila sontak membuat Hendra dalam kepiluan. Pertanyaan pertama yang ditanyakan putrinya saat membuka mata. Hendra hanya tersenyum, mencoba mencari alasan untuk mengalihkan pikiran anaknya itu.
“Oh iya, Asila mau dibelikan boneka teddy bear yang besar?”
Asila menggelang. Dia lalu membuang wajahnya. Tak mau memandang Hendra lagi. Dalam hatinya Asila hanya ingin bertemu dengan Nirmala. Bukan hadiah atau makanan yang lezat yang selalu dimintanya.
“Asila cepat sembuh ya, supaya kita cepat pulang.”
Asila tak menjawab apa yang dikatakan papanya. Sejenak perawat pun datang mengantarkan makanan beserta obat yang harus dikonsumsi Asila. Namun Asila menolak, meskipun perawat sudah berusaha membujuknya. Namun Asila tetap tak mau menuruti apa yang dikatakan perawat itu.
“Asila, kalau Asila tidak mau makan, nanti disuntik lagi sama dokter.”
Hendra mencoba terus membujuk putri kecilnya. Segala upaya sudah dilakukan. Namun tak ada hasilnya. Perawat itu kembali mendekati Asila dengan senyum menenangkan.
“Asila mau apa supaya Asila mau makan?”
“Asila mau ketemu mbak Nirmala, suster.”
“Kalau mbak Nirmala ke sini, Asila mau makan dan minum obat?”
Asila mengangguk dengan cepat. Perawat pun kemudian menyarankan pada Hendra agar memanggil Nirmala untuk datang ke rumah sakit. Agar Asila mau makan dan minum obatnya.
Melihat Asila yang masih membuang wajahnya itu. Hendra merasa sangat bingung. Dirinya segera keluar dan mencoba memberitahukan kepada mama Rose apa yang sedang terjadi pada Asila. Hendra pun segera mencari jalan untuk kesembuhan Asila.
“Hendra, turunkan egomu, Asila butuh Nirmala untuk kesembuhannya.”
Mendengar ucapan sang mama. Hendra pun terdiam seketika. Permintaan pernikahan itu yang membuatnya merasa sangat malas untuk kembali mempekerjakan Nirmala di rumahnya. Namun kali ini sepertinya Hendra memang harus mengalah. Asila prioritas hidupnya.
***
Rafi pergi ke sebuah toko buku. Hari libur digunakannya untuk mencari kesibukan. Dan kali ini dirinya sedang ingin berburu bacaan. Satu demi satu rak buku itu pun dikelilinginya. Mencari sebuah judul serta isi yang baginya bisa memikat keingintahuannya.
Rafi pun mengambil satu buku tentang psikologi. Lalu dirinya kembali melangkah dan ingin mencari buku lain yang dirasa perlu untuk dibelinya.
Namun tak senaja, pundaknya menabrak pundak seorang wanita. Rafi pun segera meminta maaf. Tanpa disangka wanita yang kini berada di depannya adalah Nirmala.
“Nirmala, kamu di sini?”
“Mas Rafi, sedang cari buku?”
“Iya, kebetulan kita ketemu di sini. Aku mau mengembalikan bukumu, Nirmala.”
“Oh, iya Mas.”
“Kamu masih lama di sini?”
“Saya sudah selesai dan mau bayar.”
“Kalau gitu sekalian, aku juga sudah selesai Nirma.”
Saat berjalan di belakang Rafi. Entah mengapa Nirmala merasakan sesuatu yang tak biasanya. bahkan Rafi yang terbiasa dekat dengan wanita. Kini dirinya merasa gugup berjalan dengan Nirmala.
“Kita makan dulu, yuk.”
“Gak usah, Mas. Saya pulang saja.”
“Ayolah Nirmala, hanya sekadar makan, Aku tak akan menyakitimu.”
Nirmala bergeming. Dia bingung mencari alasan untuk menolak. Bahkan pikirannya terasa terhenti tak bekerja. Nirmala pun menganggukkan kepalanya. Pertanda setuju dengan apa yang ditawarkan Rafi padanya.
Rafi mengajak Nirmala ke sebuah restoran yang tak jauh dari toko buku. Setelah selesai memesan menu makanan, mereka pun menunggu sambil saling berbincang.
“Sekarang kegiatanmu apa, Nirmala?”
“Melamar kerja, Mas.”
“Di mana?”
“Instansi pendidikan.”
Mendengar jawaban Nirmala, Rafi semakin penasaran dengan sosok wanita yang kini ada di depannya. Dia belum mengenal Nirmala secara jauh. Namun Rafi sangat yakin, bila Nirmala adalah seorang wanita yang berpendidikan tinggi.
“Maaf Nirmala, mungkin aku bisa membantumu.”
“Maksud mas Rafi?”
“Aku punya banyak kenalan di sini, di dunia pendidikan. Siapa tahu ada lowongan untukmu.”
“Terima kasih, tapi saya tidak mau merepotkan siapa pun. Biarkan saya berusaha terlebih dahulu, Mas.”
Ucapan santun Nirmala membuat Rafi semakin terpesona. Menolaknya dengan sangat halus, tutur bahasanya menandakan bahwa dirinya memang bukan wanita biasa. Dia adalah wanita yang memiliki pengetahuan tinggi.
“Baiklah, tapi jika kita berbuat baik pada sesama boleh, kan?”
“Tentu saja, itu sangat dianjurkan.”
“Kalau begitu, bolehkah aku tahu kamu lulusan apa? supaya jika nanti ada lowongan yang sesuai dengan jurusanmu, aku akan mengabarimu.”
“Pendidikan anak usia dini.”
Nirmala menjawab dengan singkat. Matanya kembali menunduk. Ada sebuah rasa yang membuatnya tersipu malu dalam pertemuannya dengan Rafi. Meski begitu Nirmala mencoba menenangkan dirinya sendiri.
“Kalau begitu bolehkah aku minta nomor ponselmu, supaya nanti aku bisa mudah memberikan info padamu.”
“Maaf, Mas. Saya belum punya ponsel.”
“Oh, maaf.”
Pelayan restoran datang dengan membawa menu makanan yang telah dipesan keduanya. Nirmala kemudian fokus dengan makanannya. Rafi sesekali melirik ke arah Nirmala. Senyum tipis itu mengiringi, seiring dilanjutkan lagi untuk menyantap santapan makanan yang tersedia.
Nirmala pamit untuk pulang, Rafi segera mengembalikan bukunya. Kemudian tanpa ragu Rafi menawarkan agar dirinya bisa mengantar Nirmala pulang. Namun, lagi-lagi Nirmala menolak dengan sangat halur. Rafi pun tak bisa memaksa. Nirmala segera pamit dan pergi meninggalkannya.
Entah mengapa Rafi seolah dibuat penasaran dengan Nirmala. Dirinya pun tak tinggal diam. Ketika tahu Nirmala memesan ojek untuk mengantarnya pulang. Rafi pun mengikuti Nirmala dengan memesan ojek seketika.
Rafi meninggalkan mobilnya terparkir di depan restoran. Dengan cepat Rafi mengikuti Nirmala dengan diam-diam. Dia tak mau ketahuan jikalau dirinya sedang membuntuti Nirmala yang akan pulang ke tempat tinggalnya itu.
Tak lama sebuah tempat kos menjadi tujuan Nirmala. Memasuki sebuah kamar dengan nomor tujuh. Rafi menatapnya dengan sungguh-sungguh. Bahkan dirinya merasa senang bisa mengetahui di mana Nirmala tinggal saat ini. Setelah itu dirinya kembali ke restoran untuk mengambil mobilnya.
***
Nirmala sedang sibuk untuk mempersiapkan lamaran pekerjaan. Dirinya menyebar lamaran di beberapa sekolah di Jakarta. Nirmala akan melanjutkan kembali mimpinya yang sempat tertunda. Namun entah mengapa bayangan wajah Asila selalu berkelibat di antara ke dua bola matanya.
Ada rindu yang berbisik. Seakan ingin kembali menyapa dalam sebuah pertemuan. Namun Nirmala sangat menyadari. Bahwa keadaan sekarang sedang tidak baik-baik saja. Canda tawa Asila menajdi candu baginya. Namun Nirmala hanya bisa pasrah dengan keadaan yang kini sedang menyapa mereka.
Beberapa menit kemudian. Ada seseorang mengetuk pintu. Nirmala pun tak butuh waktu lama untuk membukanya. Dilihatnya seorang laki-laki yang berprofesi sebagai kurir itu.
“Dengan Mbak Nirmala?”
“Iya, Pak. Saya sendiri.”
“Ini Mbak ada paket, selamat ya Mbak Nirmala menang undian dan ini hadiahnya, saya permisi dulu.”
Nirmala tak mengerti dengan apa yang dikatakan kurir itu padanya. Kata-kata menang undian menjadi hal yang begitu tabu baginya. Nirmala merasa tak pernah mengikuti undian apa pun. Dan kini dirinya dikatakan menang.
Nirmala masuk ke dalam kamarnya. Segera membuka paketan yang digenggamnya itu. Dilihatnya sebuah ponsel dengan kondisi masih baru dan tersegel. Nirmala mencoba mencari pengirimnya, dan ternyata pengirimnya adalah sebuah toko ponsel.
Nirmala yang masih diselimuti rasa penasaran itu. Dirinya segera menuju ke toko ponsel yang sesuai alamat di paket yang diterimanya.
“Permisi Mas, saya mau tanya. Barusan saya dapat kiriman ponsel ini, katanya saya menang undian.”
“Dengan Mbak Nirmala?”
“Iya, Mas.”
“Iya, memang mbak Nirmala menang undian, dan hadiahnya adalah satu smartphone dari toko kami.”
“Tapi perasaan saya tidak pernah ikut undian apa pun, Mas.”
“Mungkin mbak Nirmala lupa, kami ucapkan selamat ya Mbak sudah menang.”
Nirmala bertanya-tanya. Entah benar atau tidak apa yang didengarnya itu. Seingatnya dirinya memang tak pernah mengikuti undian. Lagipula dirinya yang baru pindah tempat itu pun merasa sangat aneh. Tak siapa pun orang yang mengetahui alamat tempat tinggal barunya. Namun Nirmala berlalu. Dia tak mau berpikir lagi. Nirmala pun segera kembali ke kosnya.
***
Asila memejamkan matanya. Sedari pagi dirinya tak mau makan dan minum obat. Hanya nama Nirmala yang terus saja disebutnya. Bahkan dalam posisi tidur pun, Asila selalu mengigau menyebut nama Nirmala.
Sungguh berat rasa yang kini melilih hati Hendra. Dan demi kesembuhannya. Hendra pun sudah memerintahkan anak buahnya untuk mencari dan membawa Nirmala ke rumah sakit. Namun masih belum ada hasil.
Hendra terus membujuk Asila jika dirinya membuka matanya. Namun Asila tetap tak mau makan. Jika dipaksa dirinya kan menangis. Bahkan mama Rose pun ikut serta membujuk dan merayu Asila agar mau mengikuti perintah dokter. Namun hasilnya tetap saja sama.
“Hendra ceapat telepon anak buahmu, suruh bawa Nirmala secepatnya.”
Hendra pun mengikuti instruksi sang mama. Bahkan Hendra menambah orang lagi untuk mencari Nirmala. Dirinya mau agar Nirmala cepat diketemukan dan segera dibawa ke rumah sakit. Agar bidadari kecilnya mau makan dan minum obat.
***
Nirmala yang dijumpai orang tak dikenalnya itu merasa terkejut. Dia sempat merasa takut dengan beberapa orang yang mendatanginya di tempat kosnya. Nirmala hanya diam saat membuka pintu. namun tak lama salah seorang itu mengabarkan jika Asila sedang sakit dan mencari-cari Nirmala.
Mendengar kabar tak mengenakkan itu, Nirmala pun segera menuju ke rumah sakit. Perasannya seketikan tersayat dengan kondisi Asila yang sedang sakit itu. Di sepanjang perjalanan, Nirmala menitikkan air matanya. Rasa sedih kini membumbung menyelami dasar hatinya.
Kasih sayang Nirmala pada Asila sangat dalam. Begitu pun sebaliknya. Asila menyayangi Nirmala tanpa batas. Kini keduanya berjumpa dalam kondisi yang sedang tak baik. Nirmala yang melihat Asila terbaring lemah itu pun hanya diam sembari air matanya menganak sungai.
Nirmala membelai mesra wajah Asila yang masih terpejam matanya. Tak lama Asila yang membuka mata itu pun tersenyum lebar. Kini wanita yang dicari dan dicintainya telah berada di sampingnya. Nirmala mendekap erat tubuh Asila. Kehangatan cinta itu kini sedang bersatu dalam kerinduan.
Tak lama Nirmala pun segera menyuapi Asila dan memberikan obat untuk diminumnya. Asila pun dengan senang hati menuruti apa yang dikatakan Nirmala. Tak ada penolakan sedikit pun. Bahkan tergambar dengan jelas di wajah Asila, bahwa Nirmala dapat mengembalikan senyumnya yang hilang.
Mendengar pemandangan itu. Hendra hanya diam tanpa berkomentar. Semangat sembuh Asila semakin terlihat dengan apa yang dilakukan putri kecilnya itu.
“Pa, sini.”
Panggilan Asila mengantarkan Hendra pada pandangan kasih sayangnya yang tak pernah pudar, Memegang tangan halus bidadarinya itu dengan senyum yang terpampang tiada berakahir.
“Asila mau apa?” tanya Hendra pada Asila.
“Papa kapan menikah dengan Mbak Nirmala?”
Pertanyaan itu berkali-kali di dengarnya. Hendra seakan muak dengan kata-kata itu. Tapi putri kecilnya yang mengharapkan hal itu terjadi dalam hidupnya.
“Asila sembuh dulu, ya.”
“Tapi Papa janji ya, setelah Asila sembuh, Papa akan menikah dengan Mbak Nirmala.”
Tak terbayangkan jika putrinya akan memberikan sebuah ultimatum yang sangat berat dalam hidupnya. Hendra menatap lekat-lekat wajah Asila yang pucat itu. Hendra ingin Asila cepat sembuh. Dirinya tak ingin mengecewakan anaknya.
Meski hatinya seratus persen menolak sebuah pernikahan. Namun Hendra pun harus mengorbankan egonya demi putri tercintanya. Hendra terdiam cukup lama.
“Papa, jawab. Papa akan menikahi mbak Nirma, kan?”
“Iya sayang.”
Jawaban itu seketika membuat Asila tersenyum lebar. Meski ada hati yang menolak untuk itu. Nirmala sama sekali tak menginginkan pernikahan karena keterpaksaan. Namun dirinya seolah pasrah dengan apa yang Tuhan gariskan untuknya nanti.
“Papa janji, ya.”
“Iya, janji.”
Mendengar kata janji yang terucap dari bibir Hendra. Membuat sekujur tubuh Nirmala terasa kaku. Hatinya menepis pada sebuah kata yang telah didengarnya.
^Cengkir^
"Dadiya banyu emoh nyawuk, dadiya godhong emoh nyuwek, dadiyo suket emoh nyenggut."
(Menggambarkan orang yang saking marahnya, hingga menolak untuk bertegur sapa lagi.)