Lambat laun Meli bersikap semakin menjauhi dari Rafi. Apa yang dilihatnya tentang sebuah goresan nama di atas kerta sputih itu, membuat Meli seakan sangat tak menyukainya. Dirinya yang hanya bisa menerka tanpa bisa menanyakan.
Sedangkan Rafi dalam benaknya selalu bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Meli. Tak ada lagi makanan yang dibuatkan Meli untuknya. Jangankan makanan, senyum sapa pun terasa sangat jauh untuk dihadirkan.
“Kamu kenapa Mel?”
“Gak apa-apa.”
“Sikapmu akhir-akhir ini padaku sangatlah aneh. Bisakah kamu bercerita padaku?”
“Jangan tanya itu lagi Rafi, justru kamu yang aneh.”
“Kenapa denganku?”
“Kamu lebih suka melamun, bahkan kemari saja kamu sama sekali tak menghiraukan kata-kataku.”
“Kapan aku melamun?”
“Siapa Nirmala?”
Pertanyaan yang diajukan Meli membuat Rafi diam dalam tatapan yang tak bisa menerobos relung hatinya. Rafi pun belum menjelaskan terkait wanita yang kini masih saja bersemayam dalam dadaanya itu.
“Dia pacarmu?”
“Tidak, hanya sebatas kagum.”
Kini giliran Rafi yang meninggalkan Meli seorang diri. Dirinya benar-benar tak bisa menjelaskan tetantang sosok wanita yang terasa istimewa di hatinya. Meli semakin dibuat penasaran. Kali ini dirinya pun hanya menatap Rafi dari jauh, sebelum punggungnya tenggelam karena di balik dinding.
***
Ponsel Nirmala berdering. Terlihat mama Rose sedang meneleponnya pagi itu. Nirmala menatap layar ponsel dengan tatapan nanar. Karena panggilan itu adalah panggilan video. Dia takut bila nanti akan menimbulkan kecurigaan bila sang suami tidak berada di sisinya.
Nirmala membiarkan ponselnya terus saja berdering tanpa henti. Dia masih merasa bingung dengan alasan yang akan diberikan jika mengangkat panggilan itu. Namun sesegera mungkin Nirmala mengirimkan pesan pada mama mertuanya itu.
Maaf Ma, saya tidak bisa angkat telepon
Mas Hendra masih tidur
Saya takut beliau terbangun
Jika saya berisik
Mama Rose yang membaca pesan itu tersenyum simpul. Betapa kata yang menentramkan dalam hatinya. Dirinya sudah merasa begitu bahagia. Membuat suasana hatinya berdebar dan ingin rasanya berteriak dengan tawa yang menggelora.
“Kenapa Ma, tertawa sendiri?” tanya pak Yusron.
“Mama kangen Nirmala, semoga saja mereka pulang bawa kabar gembira ya, Pa.”
“Mama sudah ingin cucu lagi?”
“Iya, pa.”
Mama Rose pun kembali menghadirkan senyumnya. Menantu yang amat dicintainya itu pun selalu memberikan kebahagiaan kini dalam keluarganya. Mama Rose terdiam cukup lama. Membayangkan bila Hendra dan Nirmala pulang dari bulan madu, keduanya mengukir sebuah kenangan yang tak bisa terlupakan satu sama lain.
Cinta yang berawal dari keterpaksaan itu akan tumbuh di dasar hati yang merasa sepi dengan hakikat sebuah kebahagiaan cinta. Sakit yang pernah dirasa akan sembuh dengan obat yang sudah dirasa pas untuk mengobatinya.
Mama Rose selalu berhias senyum. Bayangan akan kehadiran cucu kedua dalam keluarganya berkelibat di dalam pelupuk matanya. tangis tawa bayi seolah menggema meliputi seluruh penjuru rumah. Tak ada kata lain selain bahagia. Meskipun itu masih menjelma dalam sebuah angan yang belum bisa dibuktikan.
***
Nirmala menatap pagi dengan indahnya sinar mentari yang baru saja menampakkan senyumnya. Di pantai kuta, Nirmala menggantungkan doanya. Menatap jauh dalam balutan asa. Pemandangan yang sungguh membuat matanya terpesona.
Pengunjung berdatangan menikmati keindahan sunrise. Banyak juga yang mengabadikan momen itu dengan mengambil gambar dengan pose terbaiknya. Namun Nirmala hanya sebatas berdiri dan menatap sinar penuh dengan harapan.
Dia yakin, matahari terbit selalu membawa harapan baru dalam hidup. Apa pun yang dirasa susah pasti akan berubah menjadi mudah, semua hanya tergantung usaha dan kesabaran. Dia pun memupuk rasa itu dalam dirinya. Berpikir lurus dan pantang menyerah, untuk sebuah asa yang akan disambutnya suatu saat nanti.
Nirmala berjalan seorang diri. Di bibir pantai itu dirinya merasakan sejuknya angin yang menerpa dengan sepoinya. Debur ombak yang menentramkan. Tatapan matanya beralih pada pasir yang kini menjadi pijakan kakinya.
Ada bekas langkah yang terukir. Meski nantinya ombak akan menghapusnya tanpa permisi. begitu pula kehidupan. Kadang sakit yang pernah dirasa suatu saat akan terhapus dengan senyum bahagia tanpa diminta.
Terus melangkah. Namun langkah Nirmala tiba-tiba terhenti. Saat di depannya muncul seorang laki-laki yang begitu mengagetkan. Keduanya saling menatap dalam pertemuan yang sama sekali tak disengaja. Mata Nirmala seakan lepas, dia sama sekali tak bisa bekedip.
Laki-laki itu pun sama kagetnya dengan pertemuan yang sama sekali tak disangka-sangka. Semesta menghadirkan kembali kisah yang dulu pernah menggores hati. Nirmala berjumpa kembali dengan Roy. Laki-laki yang hampir menikahinya karena hutang sang ayah.
“Nirmala kamu di sini?”
Roy mengambil posisi leih dahulu. Menyapa Nirmala dengan senyum yang mengembang. Sedangkan Nirmala masih dengan wajah datarnya. Dia ingin menghindar dari pertemuan itu. Dirinya takut bila sang suami melihatnya bersama dengan laki-laki lain.
Nirmala pun seger berbalik badan. Dia ingin segera berlari untuk pergi. Namun siapa sangka, Roy menarik tangannya sehingga dirinya terjatuh di pelukan laki-laki itu. Jantung Nirmala terasa terhenti. Dia sama sekali tak bisa membuat tubuhnya berdiri sendiri, karena kaki kirinya yang sedikit terkilir.
Nirmala berusaha dengan susah payah dari dekapan Roy. Sata dirinya berhasil memalingkah wajahnya. Nirmala pun akan segera pergi, namun tak di sangka. Dari ujung pandangnya sang suami, Hendra melihatnya dengan tatapan garang.
Nirmala yang melihat suaminya dengan melingkarkan kedua tangannya di depan dadaa itu pun merasa sangat terkejut. Detak jantungnya seakan terhenti. Dia tak mau suaminya salah paham dengan apa yang dilihat oleh pandangannya.
Nirmala pun segera mengejar Hendra yang berjalan menjauhi dirinya. Nirmala begitu ketakutan, pertemuan yang tak disengaja itu akan menjadi sebuah ilusi yang tak diinginkan dalam dirinya.
“Mas, tolong jangan salah paham, aku tak sengaja bertemu dengan laki-laki itu, aku tadi berusaha berlari tapi aku terpeleset, kakiku terkilir dan spontan dia menolongku,”
Hendra terus saja melangkahkan kakinya. Dia tak peduli dengan apa yang dibicarakan Nirmala padanya. Menatap terus kedepan tanpa menoleh ke arah istrinya.
“Mas tolong maafkan aku, aku sama sekali tidak seperti apa yang kamu lihat.”
Nirmala terus saja memohon maaf dengan terus menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Ketidaksengajaan itu benar-benar membuat Nirmala takut dengan sikap Hendra yang akan lebih tak peduli dengannya.
“Mas, beri kesempatan bagiku, percayalah dengan apa yang aku katakan!”
Hendra tiba-tiba menghentikan langkah kakinya. Menolehkan wajahnya dan menatap Nirmala dengan ekspresi wajah datarnya.
“Aku tak peduli dengan apa yang kamu lakukan, pergi, jangan ikuti aku!”
Hendra berlalu. Nirmala hanya terdiam dengan hati yang terseok-seok. Tak tahu lagi harus bagaimana bersikap dengan suaminya yang sangat dingin itu. nirmala terdiam dengan tetap berdiri tanpa melakukan apa pun.
Pikirannya terasa melayang. Menerobos setiap ruang yang ada dalam dirinya. Nirmala menoleh ke belakang. Sosok laki-laki bernama Roy itu masih saja berada di posisinya. Entah mengapa Nirmala terus memandangnya. Bukan karena dia peduli, namun lebih tepatnya dirinya sedang bingung mencari cara untuk meyakinkan suaminya.
Nirmala tak mau bila Hendra semakin membencinya dengan apa yang tak dilakukannya. Nirmala tak berbuat salah saja, Hendra selalu acuh. Apalagi jika sebuah kesalah pahaman itu menjadikan sebuah polemik dalam hubungan. Nirmala akan terus semakin takut.
Desir pasir itu terasa begitu merdu. Namun hati Nirmala seolah sedang terusik. Mentari sudah setinggi tombak. Matanya menatap penuh dengan agungnya harapan yang digantungkan.
Pandangan Nirmala nanar, saat menatap sosok wanita yang baru saja datang menjumpai Roy. Wanita itu seolah memberikan sinyal pada ingatan Nirmala.
Wanita yang dulu sempat memarahinya pada saat pernikahan paksa itu akan diselenggarakan, bahkan serasa Nirmala ingin berterima kasih padanya. Karena wanita itu Nirmala tak jadi menikah dengan orang yang sama sekali tak dikenalnya lebih dulu. Dan yang paling mengejutkan lagi. Nirmala seolah pernah menemukan foto wanita itu di rumah Hendra. Nirmala melangkah sedikit maju untuk memastikan. Wanita yang mengembangkan senyumnya pada Roy.
Melingkarkan tangan kirinya pada tangan kanan Roy. Setelah itu mereka duduk bersama. Bahkan wanita itu sedang menyuapi Roy dengan sedikit makanan. Kemesraan yang diperlihatkan membuat Nirmala berpikir keras, tentang wanita yang masih menjadi teka-teki bagi dirinya.
Setelah menatap kedua orang yang membuat pikirannya menerka dalam angan. Tiba-tiba Nirmala pun mengalihkan padangannya. Pada suaminya yang sedang berada di ujung pandangan. Duduk seorang diri di bibir pantai.
Namun yang membuat Nirmala heran, suaminya pun seolah telah memandang pemandangan yang sama dengan dirinya. Pada dua insan yang terlihat begitu mesra. Roy dan wanita itu menjadi objek pandangan Hendra dan juga Nirmala.
Nirmala memastikan lagi. Dirinya menatap suaminya dengan sungguh-sungguh. Lamat-lama seolah matanya tak bisa berbohong, hendra memang sedang memandang wanita yang yang bersama dengan Roy. Hati Nirmala berdesir, siapa sebenarnya wanita yang kini sedang menamani laki-laki yang bernama Roy itu. Hingga suaminya sama sekali tak mengalihkan pandangannya pada objek itu.
Nirmala yang terus saja dengan pertanyaan yang tak bisa dijawabnya. Hanya terus menerka-nerka tanpa mendapat jawaban yang pasti. Dia menatap kembali suaminya, dan tatapan suaminya masih tetap pada sosok wanita dan laki-laki yang sepertinya sedang memadu asmara. Nirmala akan mencoba menelisik. Kekuatan dirinya menjadikan keberaniaan sendiri bagi Nirmala. Dia berjalan lagi ke arah Roy dan wanita itu. Sebuah drama pun dimainkan. Dia ingin mengetahui bagaimana reaksi Hendra jika melihatnya satu tempat bersama orang-orang yang kini juga sedang dipandangnya. Nirmala melangkakan kakinya dengan cepat. Kini dia harus segera berlari dengan begitu kencang.
Dia yang sengaja menabrakkan dirinya pada wanita yang bertopi merah muda itu.
“Maaf, saya tidak sengaja,” kata Nirmala cepat.
“Kalau lari itu juga harus lihat jalan dong. Seenaknya saja.”
Nirmala yang awalnya menunduk. Seketika dirinya mendongakkan kepalanya. Wanita itu pun seolah terkejut. Pandangan keduanya kini bersatu. Ada rasa yang seolah membuncah dalam dadaa. Tak ada ucapan, hanya pandangan yang terus terpatri dalam-dalam.
^Cengkir^
"Atose watu akik isih kalah karo atose omonganmu."
(Kerasnya batu akik masih kalah dengan kerasnya omonganmmu)