Part 24 – Bulan Madu

1747 Kata
Nirmala membuka matanya. Dia yang tidur dengan berselimut tebal itu pun segera dibuka dan melipatnya. Matanya menatap di jam dinding yang ada tertempel di dinding, menunjukkan pukul lima pagi. Nirmala segera membangunkan tubuhnya. Kemudian melangkah ke kamar mandi. Tak lama Nirma terbiasa dengan aktivitasnya seperti biasa. Membangunkan Asila dan segera memandikannya. Asila yang terbiasa dengan sentuhan mesra itu pun semakin terlihat sangat bahagia. “Ma, aku sayang banget sama mama.” “Mama juga sayang sama Asila, jadi anak yang pintar ya, gak boleh nakal-nakal.” “Mama jangan tinggalkan aku, ya.” “Mama tidak akan meninggalkan kamu, sayang.” “Janji ya, Ma. Asila ingin punya mama sampai Asila mati.” “Ssstt... jangan bilang begitu.” Keduanya pun seling berpelukan dengan sangat hangat. Setelah Nirmala selesai dengan tugas Asila. Kemudian dirinya mencoba untuk menyiapkan segala keperluan suaminya. Nirmala masuk ke dalam kamar. Tak didapati suaminya di tempat tidur. Nirmala menatap pintu kamar mandi, dan sepertinya Hendra memang sedang mandi. Nirmala segera membuka lemari baju. Diambilnya satu kemeja dan juga jas, dasi dan juga celananya ikut serta disiapkan Nirmala. Setelah semua dianggap selesai. Nirmala pun segera keluar kamar untuk membantu pekerjaan yang lain. Hendra yang sudah selesai mandi segera keluar. Matanya menatap beberapa pakaian yang berada di atas tempat tidurnya. Hendra menatap cukup lama. Namun dirinya merasa tak peduli dengan apa yang dilihatnya. Hendra sangat yakin bila Nirmala yang menyiapkan semuanya untuknya. Meja makan telah penuh dengan menu sarapan pagi. Mama Rose dan papa Yusron sedang duduk menanti Hendra yang belum juga keluar dari kamarnya. Sedangkan Nirmala baru saja mendekat dengan menggandeng Asila. Kini mama Rose merasa keluarganya telah utuh dengan kebahagiaan yang mengiringi. Tak lama terlihat Hendra menuruni anak tangga. Mata Nirmala seketika tertuju ke arah laki-laki yang kini berstatus sebagai suaminya itu. Nirmala merasa hatinya sedang terluka. Betapa tidak. Dirinya yang sudah menyiapkan pakaian untuk dipakai Hendra di kantor. Namun nyatanya, Hendra mengenakan pakaian yang lain. Pakaian pilihan Nirmala yang sudah disiapkan di atas tempat tidur tak dipakainya. Nirmala kembali melanjutkan tatapan matanya pada Asila. Nirmala harus tetap sabar menghadapi sikap suaminya. Baginya hal sekecil itu tak harus membuatnya memupuk luka. Nirmala pun kembali tersenyum. Dia segera mengambilkan nasi untuk Hendra. “Saya bisa ambil nasi sendiri, ambilkan saja untuk Asila.” Seketika itu Nirmala pun hanya bisa terdiam dan mengikuti apa yang diperintahkan suaminya. Nirmala mengurangi nasi yang sudah terlanjur diambilnya cukup banyak. Dia yang sengaja mengambilkan nasi itu untuk suaminya. Namun penolakan itu terdengar jelas, sehingga Nirmala harus mengurungkan niatnya. Asila menerima nasi dan lauk dengan senyum yang terus saja mengiringi. Hendra hanya terpaku pada piring yang sudah berisi nasi beserta lauknya. Sama sekali tak mempedulikan Nirmala sebagai istrinya. “Pa, Asila ingin punya adik, seperti teman Asila di sekolah, dia punya adik dan sangat lucu sekali.” Hendra tersedak mendengar perkataan dari anaknya itu. Nirmala sigap. Dia segera mengambilkan air dan diberikan kepada suaminya. Hendra tak menolak, dia segera meraih gelas yang berisi air putih itu untuk segera diminumnya. “Hendra, pergilah bulan madu bersama istrimu,” kata Pak Yusron. “Iya, nanti Asila biar mama yang urus,” seru mama Rose. “Bulan madu itu apa Oma?” tanya Asila. “Bulan madu itu ...” “Bikin adik untuk Asila, ya,” lanjut Asila. Seketika semua yang ada di meja makan pun tertawa mendengar lelucon dari Asila. Namun tidak dengan Hendra. Dirinya hanya diam dan terus saja menikmati makanan yang ada di depannya. *** Sepulang dari tempat kerja. Hendra terlihat begitu terkejut. Mama Rose sudah menyiapkan segala keperluan sang anak untuk pergi bulan madu. Mulai dari tiket perjalanan, penginapan dan juga beberapa pakaian yang akan dibawa. Ama Rose memang sengaja mempersiapkan itu. Karena dirinya tahu jika Hendra tak akan berinisiatif untuk menyiapkan semuanya. “Semua sudah mama siapkan, dan besok kamu bisa pergi bersama istrimu.” “Mama ngapain sih memaksaku, aku itu harus kerja, banyak sekali pekerjaan yang harus aku selesaikan.” “Papamu akan mengurus semuanya bersama anak buahmu, sudahlah, bulan madu itu juga sangat penting.” “Aku tidak mau berangkat.” “Kalau kamu tidak berangkat, mama pastikan Asila yang akan memaksamu, selain itu semua fasilitas yang sudah papa berikan akan ditarik semuanya, pikirkan itu!” Mama Rose meninggalkan Hendra dalam kebingungannya. Malam yang sudah tak bersahabat dengannya itu, membuat Hendra seakan jenuh dengan kondisi hidupnya sendiri. Hendra segera masuk ke dalam kamarnya. Dilihatnya Nirmala yang sedang duduk dengan buku di tangannya. “Sudah saya siapkan air panas, silakan kalau mau mandi.” Hendra tak menjawab apa yang dikatakan Nirmala. Kamar mandinya yang sudah dilengkapi pemanas air tak butuh repot-repot merebus secara manual. Hendra segera menuju ke kamar mandi. Air panas yang sudah disiapkan Nirmala pun hanya dilihatnya. Setelah selesai mandi. Hendra pun segera merebahkan tubuhnya dan menyalakan televisi. Nirmala yang masih menikmati susunan kata demi kata masih menatap pada lembaran itu tanpa lepas. Sejenak Nirmala pun menutup bukunya. “Mau saya pijitin?” seru Nirmala. Hendra sama sekali tak merespon. Pandangannya tetap tertuju pada layar televisi. Nirmala yang tak mendapat respon itu pun tak menyerah. Dia lebih mendekat ke arah Hendra, dengan duduk di ujung tempat tidur. “Apa jawabannya, mau saya pijit atau tidak?” “Diam, saya tidak suka ada orang berisik di kamar saya!” “Baiklah, kalau tidak butuh saya, saya akan bersiap untuk tidur.” Nirmala pun segera kembali ke sofa. Dirinya kembali membuka buku dan melanjutkan bacaannya. Nirmala sama sekali tak menyangka dengan perlakuan Hendra padanya. Hal itu sangat berbeda dengan yang diterimanya saat pertama kali berjumpa. Sikap dingin yang kini selalu diperlihatkan. Membuat Nirmala harus benar-benar kuat dengan perlakuan itu. Nirmala yang sudah mulai lelah pun tertidur tanpa sengaja. Buku yang tadi dibacanya terjatuh ke lantai. Hendra yang melihat itu pun tak peduli, dia tetap menikmati siaran di televisi. *** Pagi bersambut. Hari libur telah tiba. Minggu itu Asila akan pergi bersama opa ke kebun binantang. Mama Rose pun tak mau ketinggalan. Namun sebelum mereka berangkat, mama Rose memastikan bahwa Hendra dan juga Nirmala harus benar-benar berangkat bulan madu. Mama Rose sudah memilih tempat yang sangat indah dan Bali adalah tempatnya. Hendra yang seakan malas untuk berangkat pun tak segera bangun dari tempat tidurnya. Nirmala yang sedari pagi sudah beres-beres rumah dan bermain bersama Asila. Mama Rose segera masuk ke kamar Hendra dengan paksa. Dibangunkannya putranya itu dengan rasa geram yang menyelimuti dadaanya. “Hendra, cepat bangun!” “Apa  sih, Ma.” “Tiga jam lagi pesawatmu akan terbang, cepat bangun!” “Hendra lelah dan ingin istirahat.” “Jangan banyak alasan, cepat bangun atau mama akan melakukan hal yang lebih keras dari ini!” Hendra segera memaksa untuk membuka matanya. membangunkan dirinya yang masih diselimuti rasa malas yang memuncak di hari libur itu. Mama Rose merasa tenang, Hendra menuruti apa yang diinginkannya, meskipun harus dengan paksaan. *** Berada di Bali pastinya merupakan sebuah kebahagiaan untuk pasangan suami istri. Namun sepertinya itu tidak berlaku dengan Hendra. Kamar hotel bintang lima yang sudah dipesan sang mama itu merasa sangat membosankan. Nirmala yang hanya diam mengikuti suaminya. Setelah Nirmala duduk di kursi. Tak disangka Hendra hanya mengantarkannya masuk ke dalam kamar. Setelah itu Hendra segera keluar dan membawa kopernya. “Mas, mau ke mana?” “Kamarku di sebelah, bukan di sini!” “Tapi ini kamar kita yang dipesankan Mama.” “Jangan banyak protes, dan jangan sampai mama tahu tentang ini.” “Tapi, Mas.” “Ini uang untukmu, pakailah untuk beli apa yang kamu suka.” Hendra menerbangkan amplop putih ke arah Nirmala. Tak menyangka Hendra akan melakukan itu padanya. Membiarkan amplop itu terjatuh tepat di atas ranjang yang berhias bunga mawar merah itu. Dia pun terduduk kaku dengan matanya yang mengandung bawang. Berkaca-kaca dan siap untuk mengeluarkan air matanya. Tak lama pipinya pun basah. Impian pernikahan yang sejak dulu diagungkan itu pun kini menjadi sebuah mimpi buruk bagi Nirmala. Pernikahan yang dianggapnya akan selalu membawa kebahagiaan, namun nyatanya hal itu sama sekali belum didapatkannya dari sang suami. Nirmala hanya diam dengan penyesalan yang menyelimuti hatinya. Dia berusaha kuat untuk kebahagiaan Asila. Nirmala segera menghapus air matanya. Nirmala pun merasa perutnya sangat lapar. Dia memutuskan untuk pergi ke ruang makan. Di tempat itu, Nirmala begitu terkejut. Dia melihat suaminya bersama beberapa laki-laki dan saling bercengkerama dengan tawa yang mengiringi. “Kapan kamu mengakhiri kesendirianmu, Hendra, punya istri itu enak lo.” “Nanti kalau sudah bertemu yang cocok pasti aku juga akan nikah lagi.” Mendengar percakapan yang tak disengaja itu membuat hati Nirmala seakan hancur. Hendra tak mengakui bahwa dirinya sudah menikah. Kali ini Nirmala pun merasa sangat kecewa. Namun Nirmala harus kuat berdiri. Dia sadar bahwa dirinya memang bukan wanita yang diinginkan. Nirmala segera makan dan tak mau berlama-lama berada di tempat itu. Bahkan saat Hendra melihat keberadaannya. Hendra semakin tak peduli dengan sosok Nirmala yang duduk tak jauh dari tempatnya. Nirmala pun segera kembali ke kamarnya dengan perasaan yang tak bisa tergambarkan dengan mudah. *** Malam itu setelah Meli memecahkan gelas di apartemen Rafi. Pagi ini dirinya yang masuk kelas saat perkuliahan, mengambil tempat duduk yang jauh dari Rafi. Bahkan Rafi yang melihat keanehan pada Meli pun segera ingin mengetahuinya. “Mel, kamu marah?” “Untuk apa?” “Kenapa kemarin kamu langsung pergi dari apartemenku?” “Sudah waktunya pulang aja.” “Jangan bohong, biasanya kamu gak seperti ini.” “Sorry, aku sibuk.” Meli pun pergi meninggalkan Rafi. Meninggalkan pertanyaan yang terus memenuhi pikiran Rafi. Tak tahu harus bagaimana dirinya bersikap. Namun Rafi pun kembali duduk dan menunggu kelas dimulai. Rafi yang tak punya kegiatan itu, tiba-tiba saja pikirannya kembali menyapa sebuah kenangan dengan Nirmala. Dia tak bisa membohongi hatinya bahwa Rafi masih belum bisa menepis bayangan wajah gadis yang menolak cintanya itu. Rafi yang sedang memegang pena dan kertas, tak sadar dia melamun dan menulis nama Nirmala di atas kertas itu. Tak lama kelas pun dimulai. Meli yang sudah kembali tetapdalam kediamannya. Semua kursi telah penuh, kecuali satu kursi yang berada di belakang Rafi. Terpaksa Meli pun duduk di kursi itu. Saat mata kuliah berlangsung. Rafi merasa perutnya sedang tak enak. Dirinya pun segera meminta izin untuk ke kamar mandi. Rafi pun segera beranjak dari kursinya. Meli yang tak sengaja menatap kertas putih yang berada di meja Rafi. Begitu terkejut saat melihat coretan di kertas itu. Goresan tinta dengan nama Nirmala tergores begitu indah. Meli menatapnya tajam dan berpikir dengan dalam, siapa sebenarnya Nirmala itu. "Jenenge pasangan, yen ora pas yo mung dadi angan." (Namanya pasangan, kalau enggak pas ya cuma jadi angan)  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN