Part 28 - Leukimia

2064 Kata
Dokter tak meneruskan perkataannya. Melihat Nirmala yang terjatuh tak sadarkan diri. Dokter pun segera bertindak. Memeriksa kondisi Nirmala. Namun tak lama setelah minyak kayu putih digosokkan di hidungnya, Nirmala pun segera membuka matanya. Kini dokter tersenyum lebar melihat Nirmala sudah stabil kondisinya. Hendra yang tak sabar ingin mengetahui kondisi anaknya pun terasa ingin cepat mendengarkan penjelasan dokter. Bahkan dia tak peduli dengan kondisi Nirmala. “Kamu jangan buat masalah lagi,” ucap Hendra pelan pada Nirmala. Nirmala yang mendengar apa yang dikatakan suaminya itu pun terasa begitu menyayat hatinya. Betapa tidak. Nirmala pun sebenarnya tak ingin terjadi apa-apa dengan dirinya atau pun anaknya. Namun kini Nirmala hanya bisa diam dengan amukan sang suami. Nirmala [un mencoba untuk berdiri sendiri. membangunkan tubuhnya yang sedari tadi terbaring lemah. Setelah itu dia pun menyusul suaminya duduk di kursi di depan meja dokter. “Dokter, sakit apa anak saya?” “Dengan berat hati saya harus mengatakan, bahwa Asila mengidap penyakit leukimia.” Mendengar penjelasan dokter. Pikiran Hendra terasa terhenti. Penyakit yang diderita anaknya bukan main-main lagi. Begitu pula dengan Nirmala, dirinya yang mendengar dengan jelas itu seketika menumpahkan kembali air matanya. sama sekali tak menyangka, penyakit serius itu kini bersarang pada anaknya. “Tolong sembuhkan anak saya, dok.” “Kami pasti akan lakukan yang terbaik untuk putri Bapak.” “Tolong dokter, tolong.” “Namun kami harus melakukan transplantasi sumsum tulang belakang.” “Lakukan apa saja itu dokter, saya akan bayar berapa pun biayanya.” “Kita harus cari pendonor dulu, Pak. Karena sumsum tulang belakang Asila sudah rusak dan tak mampu memproduksi sel darah secara sehat.” “Dokter, saya mau mendonorkan sumsum tulang belakang saya.” Asila memohon pada dokter, dia tak keberatan bila harus memberikan sumsum tulang belakangnya. Tak kalah, Hendra pun sama dengan Nirmala. Dia meminta dokter untuk mengambil sumsum tulang belakang miliknya, agar Asila bisa cepat disembuhkan. “Baik, nanti kami akan lakukan pemeriksaan terlebih dahulu, sumsum tulang belakang siapa yang cocok dengan Asila.” Hendra dan Nirma kini dalam kediaman. Tak pernah menyangka bahwa sang putri mengidap penyakit kanker darah. Setiap kedip mata Nirma selalu dibanjiri air mata. Mereka pun kembali ke kamar Asila. Di kamar itu sudah berdiri pak Yuson dan mama Rose. Keduanya penuh hangat membelai kasih sang cucu yang terbaring lemah. Menatap penuh harap agar Asila bisa cepat disembuhkan. “Bagaiama kondisi, Asila?” tanya pak Yusron. “Leukimia, Pa,” jawab Hendra singkat. “Apa?! kamu serius, Hendra?” sahut mama Rose. Hendra mengangguk lesu. Mama Rose segera memeluk sang cucu. Dirinya juga tak menyangka bahwa sang cucu harus berjuang kerasa melawan sakitnya itu. “Lalu apa kata dokter?” lanjut pak Yusron. “Harus ada pendonor untuk sumsum tulang belakangnya, pa.” “Ayo kita semua periksa, siapa tahu ada yang cocok dengan Asila.” “Iya, hari ini akan ada pemeriksaan, nanti akan dikabari dokter untuk waktunya.” Nirmala sama sekali tak membuka mulutnya. Dia benar-benar terpukul. Dirinya merasa memikul berat yang sangat berat. Asila sudah seperti darah dagingnya sendiri. Dirinya mendekat dan mendekap erat Asila. Rasa sakit itu pun seakan dirasakannya. Nirmala keluar kamar. Seperti ingin menenangkan dirinya. Dia pun duduk di kursi depan kamar rawat Asila. Terdiam dengan pandangan kosong. Mencoba mendamaikan hatinya dengan keadaan. Semua terasa begitu sulit dan sakit di hatinya. “Nirmala.” Suara itu membuyarkan lamunannya. Nirmala pun menoleh ke sumber suara. Dilihatnya seorang wanita tersenyum dengan sembab wajahnya, sayu seakan penuh dengan beban hidup. Nirmala berdiri seketika. Dia melangkah ke arah wanita yang memanggilnya. “Nuna.” Dua sahabat karib itu kini telah bertemu. Sambung senyum dengan dekap erat penuh kerinduan. Iris mata keduanya seakan tak bisa bersandiwara. Menetes dalam sebuah rasa yang mencekiknya. Tak pedulikan siapa pun, yang jelas kali ini keduanya sedang menikmati sebuah pertemuan yang tak bisa digambarkan dengan apa pun. “Kamu, apa kabar, Nun?” “Jangan tanya aku, kamu sendiri bagaimana, Nirmala. Aku kangen kamu!” “Seperti yang kamu lihat sekarang, akau baik, kamu juga baik kan?” Mereka terus saja berbicara dengan terus mendekap erat dalam sebuah pelukan. Tak saling menatap. Namun kehangatan tubuh mereka yang menjadi satu seolah memunculkan sebuah energi yang sangat indah. “Aku gagal menikah, Nirma.” “Apa? Kenapa?” “Tuhan lebih sayang dia, dia pergi untuk selama-lamanya.” “Menangislah sekarang, tapi kamu harus berdiri kuat dengan takdir yang tak bisa kamu lawan.” “Pernikahan yang kuimpikan harus rela dibatalkan, serasa aku tak kuat dengan semua ini.” “Sssstt ... kamu kuat, Nuna pasti bisa jalani semua ini, hanya saja sekarang Nuna butuh waktu, Nuna pasti bisa berdiri dengan kokoh lagi.” Nirmala memberikan semangat untuk sahabatnya itu. Meskipun dia tahu bahwa hatinya sendiri sedang rapuh. Butuh suplemen untuk bisa membuatnya sehat kembali. Pertemuan tak disengaja itu seolah membuat kerinduan mereka pun terbayarkan. Meski awalnya harus ada hati yang seakan tersakiti. “Kamu sendiri sedang apa di sini? Siapa yang sakit?” Belum sempat Nirmala menjawab. Dokter telah memanggilnya untuk melakukan tes darah. Nirmala pun tak mau membuang waktu lagi. Dirinya harus segera mengikuti instruksi dari dokter. “Aku akan ceritakan padamu, tapi tidak sekarang, ya.” “Iya, aku juga harus pergi ke pemakaman setelah ini.” “Hati-hati ya, Nun.” “Aku pergi dulu, Ma.” Keduanya pun terpisahkan oleh keadaan. Nirmala melangkah dengan cepat. Mengikuti apa yang dikatakan dokter padanya. Nirmala ingin kembali fokus merawat sang anak. Dirinya tak boleh patah. Semua harus bisa dilawan meski sulit. Hanya untuk mengembalikan senyum Asila lagi. Hendra pun mengikuti prosedur untuk pengecekan sumsum tulang belakangnya cocok atau tidak dengan anaknya. Namun kedua orang tuanya sudah dipastikan tidak bisa mendonorkan. Karena ada beberapa hal yang tak bisa dipenuhi. Hendra merasa pesimis, Nirmala yang bukan siapa-siapa pastilah sedikit sekali kemungkinan untuk cocok dengan Asila. Dan Asila tak punya saudara, Hendra berharap. Sumsum tulangnya akan cocok dengan sang anak, agar pengobatan pun bisa segera dilakukan. *** Rosmalina yang kini berdiri dari kejauhan. Menyaksikan kondisi yang kini terjadi dengan anaknya. Rosmalina mengenakan topi dan juga kacamata. Dia tidak mau bila Hendra dan mantan mertuanya itu mengenali dirinya. Rosmalina sang mata-mata ulung. Kehadirannya di rumah sakit pun tak ada yang mengetahuinya. Dia telah memperoleh tempat yang sangat pas untuk dijadikannya duduk diam dan mendengarkan semua informasi penting tentang anaknya. Bahkan dirinya baru saja mengetahui bila Asila adalah nama putri kecilnya yang kini sedang sakit serius. Rosmalina hanya diam tanpa bisa melakukan apa pun. Dia yang juga ingin melihat kondisi anaknya, namun terasa tak mudah untuk bisa mewujudkannya. Dia yakin semua orang pasti akan mengusirnya, dengan apa yang telah dilakukannya beberapa tahun silam. Namun Rosma tetap saja ingin memantau kabar demi kabar tentang penyakit Asila itu. Meski sempat merasa khawatir bila penyamarannya terbongkar, namun Rosmalina tetap saja nekad. Dirinya yang datang dengan diam-diam, mengikuti mantan mertuanya yang berangkat dari rumah, membuat Rosmalina pun ingin tahu apa yang dilakukan sang mantan mertua di rumah sakit. Akhirnya usahanya untuk mengikuti sang mantan mertua membuat Rosmalina bisa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Meskipun diirinya belum bisa menjenguk sang anak secera langsung. *** “Harus saya sampaikan dengan berat hati, kami belum menemukan donor sumsum tulang yang cocok untuk Asila,” jelas dokter. “Jadi sumsum tulang saya dan Nirmala tidak cocok, dok?” tanya Hendra. Dokter mengangguk. Seakan kini hal yang ditakuti benar-benar terjadi. Hendra seketika diam tanpa suara. Hatinya hancur dan pikirannya seolah terjeda. Dia tak bisa berpikir apa-apa lagi. “Dokter, apakah sumsum tulang dari ibu kandung pasti cocok?” tanya Nirmala. “Saya tidak bisa memastikan, hanya pemeriksaan yang bisa menjawab, namun kemungkinan saja bisa, karena ibu kandung memiliki hubungan darah dengan pasien.” Mendengar jawaban dokter, Nirmala seperti mendapatkan arahan. Dia menarik tangan Hendra untuk segera keluar ruangan dokter. “Cari mbak Rosma dan mintalah dia untuk mendonorkan sumsum tulangnya untuk Asila.” Nirmala berkata penuh keseriusan. Hendra menarik napas panjang. Lalu dirinya beralih dan berlalu dari Nirmala. Dia tak tahu apa lagi yang bisa membuatnya tersenyum setelah melihat sang anak terbaring lemah. *** Rosmalina yang mengetahui bahwa keberadaannya kini sedang dibutuhkan, seolah bertepuk tangan dengan sangat kencang. Gayung bersambut. Rasa kesal yang masih bersemayam dalam dadaanya, karena sebuah perceraian yang kembali dirasakannya. Roy telah mengurus semua gugatan cerai itu. Dan Rosmalina beranggapan bahwa itu adalah ulah Nirmala. Rosmalina sangat yakin bila Nirmala dan Roytelah berjumpa diam-diam di Bali saat liburan itu dijalaninya. Kini seakan peluang Rosmalina begitu terbuka lebar. Dia akan membuat sebuah rencana yang akan bisa mengubah keadaan sakit hatinya berpindah ke Nirmala. Rosmalina yang berusaha untuk tetap memperbaiki rumah tangganya dengan Roy, namun tak bisa. Roy sudah benar-benar memutuskan untuk berpisah. Saat semua keluarga sedang berkumpul di depan ruang rawat Asila. Mereka yang dengan serius mencari alternatif untuk kesembuhan gadis kecil yang sangat dicintai itu. bahkan Hendra akan membawanya berobat ke luar negeri. Keputusan itu diambilnya agar Asila bisa segera sembuh. Saat perdebatan sedang berlangsung. Rosmalina mendekatkan dirinya dan ikut serta bergabung dalam diskusi itu tanpa diminta. Semua pasang mata, seketika tertancap jelas pada wanita yang tak diundang itu. “Saya akan donorkan sumsum tulang saya untuk Asila.” Kata-kata terdengar sangat jelas. Bahkan semua tak percaya bila Rosma datang dengan niat yang baik untuk kesembuhan putrinya. Hendra sama sekali tak mengeluarkan kata-katanya. Bibirnya terkunci rapat. Dirinya mengalihkan pandangannya ke lantai. “Mbak Rosma, terima kasih sudah mau membantu, semoga sumsum tulang mbak Rosma cocok agar Asila bisa cepat disembuhkan.” Papa dan mama Hendra pun seolah mengikuti sikap Hendra. Diam dan tanpa mengeluarkan pendapat apa pun. Hanya Nirmala yang berantusias agar cinta kecilnya bisa segera menikmati kembali canda tawa dalam hari-harinya. “Ayo, Mbak saya antar ke dokter.” “Tunggu, jika sumsum tulangku cocok dengan anakku, aku pasti akan ajukan syarat padamu, mas Hendra.” Hendra melirik ke arah Rosma. Dirinya tak menyangka bila Rosma akan mengajukan syarat padanya. Hendra tak tahu bagaimana pikirannya berjalan. Dia hanya bisa diam seiring Rosmalin dan Nirmala berlalu dari hadapannya. *** Berita baik kini terdengar untuk kesembuhan Asila. Ternyata dokter sudah mendapatkan pendonor yang cocok untuk Asila. Sehingga transplantasi itu akan segera dilakukan, berharap sebuah kesembuhan akan didapat setelahnya. Namun, Rosmalina tak mudah mengikuti anjuran dokter untuk segera menjalani proses transplantasi itu. Rosmalina butuh waktu satu hari, untuk memberikan sebuah catatan hitam di atas putih yang harus ditandatangani oleh Hendra. Rosmalina mengajukan syarat pada Hendra, dia akan donorkan sumsum tulang belakangnya untuk Asila. Namun sebelum itu tanda tangan Hendra harus didapatkannya terlebih dahulu, barulah trasnplantasi itu akan dijalani Rosmalina. Hendra membaca isi syarat di atas kertas putih itu. hatinya bergidik, syarat yang diajukan Rosmalina terasa berat dan akan menambah masalah kembali dalam hidupnya. Hendra menatap kembali kertas itu lamat-lamat. Meski sudah jelas dibaca sekali, namun rasanya Hendra masih tetap ingin menatapnya lebih lama. “Bagaimana, Mas? Jika kamu setuju akan segera mengikuti kemauanmu, namun jika kamu tidak mau tanda tangan, aku pun akan membiarkan Asila terbaring lemah tak berdaya seperti sekarang.” Pak Yusron dan mama Rose merasa penasaran tentang isi sebuah syarat yang diajukan Rosmalina. Mama Rose pun mengambil paksa kertas berwarna putih itu dari tangan Hendra. Mama Rose segera membacanya, begitu pula dengan pak Yusron. Dengan bantuan kaca mata yang dikenakan keduanya, pak Yusron dan mama Rose pun terasa begitu terkejut dengan apa yang dituliskan Rosmalina dalam kertas itu. Seketika keduanya menatap Rosmalina dengan tatapan garang. “Tega sekali kamu Rosma, melakukan ini pada anak saya!” ujar mama Rose. “Sudahlah, semua keputusan ada di kalian, jika setuju jalankan, kalau tidak juga silakan,” jawab Rosma enteng. “Ibu macam apa kamu, Rosma!” tukas pak Yusron. Nirmala hanya diam memandang. Dia tak mengerti apa yang sebenarnya dibahas pada isi syarat yang diajukan Rosmalina itu. nirmala pun mohon ijin untuk mengambil kertas putih itu dari mama Rose. Dirinya dengan cepat membaca kata perkata yang tertata dengan rapi. Hingga baris terakhir, mata Nirma tak mampu menahan isi yang dibacanya itu. Air matanya jatuh, menganak sungai membasahi kedua pipinya. Dia tak tahu bagaimana jika suaminya menuruti syarat yang Rosmalina ajukan. Nirmala seakan harus bertaruh hati dengan permintaan Rosmalina pada suaminya. Suasana nampak hening. Belum ada keputusan yang diambil Hendra. Namun Nirmala yang tak kuasa menahan isakan tangisnya, menjatuhkan kertas putih itu ke lantai. Nirmala berlari pergi. Sedangkan Rosmalina kembali memungut kertas putih yang jatuh itu, sembari tersenyum dengan begitu lebar.   ^Cengkir^ "Dudu sanak dudu kadang, yen mati melu kelangan." (Meskipun tidak ada ikatan darah, namun terasa sudah seperti bagian dari keluarga, yang jika ada duka, ikut merasa sedih dan kehilangan.)  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN