“Untuk apa kamu menemuiku?”
Nirmala dengan getar tubuhnya yang menjalar pada ketakutan karena kehadiran Rosmalina di kamarnya. Geletar-geletar jemarinya membuatnya merasa tak bisa bergerak dengan muadah. Rosmalina terus menatapnya dengan tajam.
“Aku akan membuat perhitungan denganmu.”
“Tolong lepaskan aku, sakit.”
Rosmalina yang terus membuat tubuhn Nirmala tak bisa bergerak. Terhimpit dinding dan juga tubuh Rosmalina yang teramat kuat. Namun tak lama Rosmalina seakan mendengar langkah kaki yang akan memasuki kamar Nirmala.
Sejurus, Rosmalina segera bersembunyi di kamar mandi yang letaknya lima langkah dari tempatnya berdiri saat itu. dan ternyata dugaan Rosmalina sangatlah cepat, Hendra telah memasuki kamar Nirmala.
“Apa kamu sudah siap?”
“Be-lum, Mas.”
“Ayo cepat, Asila badannya panas, mama baru saja menelepon.”
Nirmala yang tak leluasa bergerak. Seolah menyimpan ketakutan yang mendalam. Hendra tak mau melihat Nirmala yang hanya bisa diam dan memandangnya.
“Cepat kemasi barangmu, Nirma. Lima menit kamu sudah harus turun, aku tunggu di bawah.”
“I-ya, Mas.”
Hendra segera berlalu dari kamar Nirmala. Kini Nirmala melirik ke arah kamar mandi. Tak lama wanita yang sangat menakutkan bagi Nirmala itu segera keluar dengan wajah bengisnya. Kembali menatap Nirmala dengan rasa kesal yang bertumpuk dalam.
“Jangan main-main denganku, tunggu pembalasanku!”
Setelah berkata demikian, Rosmalin segera pergi. Dia takut bila Hendra akan melihatnya. Rosmalin masih dalam sebuah dendam yang terselubung. Kemudian dia pun masih mengumpulkan sebuah rencana yang akan dilakukannya.
***
Nirmala segera mengemasi pakaiannya dan di masukkan ke dalam koper. Lima menit waktu yang diberikan Hendra padanya. Nirmala tak banyak berpikir. Fokusnya saat itu memanfaatkan lima menit sebaik mungkin.
Bahkan Nirmala tak sempat melihat wajahnya di cermin. Juga tak berganti pakaian. Secepat kilat Nirmala telah selesai dengan tugasnya. Segera turun untuk menemui suaminya.
Mendengar kata-kata bahwa Asila sedang sakit, menjadikan kekhawatiran dalam dirinya. Pikiran Nirmala terus tertuju pada putrinya itu. Ingin cepat sampai di Jakarta agar bisa mendampingi putrinya.
***
Hari demi hari merasa begitu sulit dirasa untuk Rafi. Ingatannya masih saja berkutat tentang sosok Nirmala yang masih tertancap erat di dadanya. Pertemuan yang berlangsung tak lama itu menyesaki seluruh partikel jiwanya.
Rafi tak pernah merasakan cinta seperti ini. bahkan dirinya yang sering dekat dengan wanita-wanita, tapi dengan Nirmala lah rasa cintanya semakin hari semakin besar. Rafi merasa ingin membuang pikiran-pikiran itu. Namun semakin mencoba untuk itu, Rafi semakin tersiksa.
Meli yang juga sudah sangat jarang bertandang ke apartemen Rafi. Dirinya yang merasa bahwa Rafi mencintai wanita lain, membuat dirinya pelan-pelan menjauh dengan rasa yang dimiliknya. Meskipun Meli hanya ingin Rafi membujuknya agar dirinya bisa tetap bersama di setiap waktu. Namun Rafi rasanya tak peka dengan keadaan itu.
Dia membiarkan Meli menjauh dari hari-harinya. Pikiran Rafi sudah dipenuhi dengan Nirmala. Semua hal di luar itu terasa tak terjangkau di pikirannya. lambat laun, Meli merasa jenuh ke mana-mana harus kembali sendiri tanpa Rafi.
Meli pun akhirnya menurunkan egonya. Dia kembali menemui Rafi, membawakan makanan yang dimasaknya pagi-pagi sebelum mentarai memunculkan senyumn indahnya. Meli yang berada di depan pintu apartemen Rafi masih terdiam berdiri dengan tatapan nanar.
Dia merasa bingung, masuk atau kembali pergi. Dia juga merasa bahwa apa yang dilakukannya itu suatu yang akan membuat Rafi merasa menang, Meli pun segera berbalik badan, seolah ingin mengurungkan niatnya.
Namun saat dirinya akan pergi melangkah. Rafi membuka pintunya. Dia akan pergi untuk sekadar menikmati udara segar di luar sana. Rafi pun berhias senyum mendapati Meli berada di depan pintu apartemennya.
“Meli, sejak kapan berdiri di sini?”
Mata Meli berotasi. Dia seperti maling yang tertangkap basah. Meli memegang kotak makan yang digenggamnya dengan sangat erat.
“Meli, apa kamu mendengarku?”
“Iya, ini makanan buatmu, aku pergi dulu!”
Meli menyerahkan kotak makan itu kepada Rafi. Rafi pun menerimanya. Sejurus Meli segera berbalik badan dan akan segera pergi meninggalkan Rafi, dirinya seperti sangat canggung, seperti saat pertama kali dirinya bertemu dengan Rafi.
Rafi segera menghentikan langkah Rafi, dirinya segera menarik tangan kanan Meli. Meli pun seketika menghentikan langkahnya dan kembali menatap Rafi.
“Kenapa buru-buru? Ayo kita pergi.”
“Aku mau pulang.”
“Hai Meli, jangan mudah marah, nanti kamu seperti nenek tua loh.”
“Enak saja kalau ngomong.”
Keduanya pun kembali saling melempar kata. Tawa kembali hadir dalam pertemuan kala itu. Setidaknya Meli sudah bisa kembali dengan ceria hatinya. Meski masih ada satu ruang yang begitu membuatnya seketika terdiam dan marah, bila mengingat nama Nirmala di benaknya.
***
Nuna masih setia menjenguk calon suaminya di rumah sakit. Meskipun sang mama sempat melarag, karena pasti Nuna akan berhias kesedihan dengan bulir air mata yang ikut serta hadir membanjiri duka nestapa.
Namun Nuna tetap saja bersikukuh untuk menjenguk sang calon suami. Meskipun hanya sebatas melihat sejenak lalu pulang.
Dan kali ini Nuna menatap sang kekasih dengan hati yang keronta-ronta. Selalu tak bisa menahan rasa sedihnya. Nuna terisak dalam rasa yang dalam. Tak kuat melihat sang calon suami yang juga terus berjuang demi sebuah kehidupan kembali.
Hari itu, dokter kembali memeriksa calon suaminya. Namun berita kurang mengenakkan terdengar di telinganya. Kondisi sang kekasih, semakin hari semakin menurun. Nuna terasa tak sanggup mendengar apa yang disampaikan dokter.
Nuna seketika keluar dari ruangan dan menyandarkan tubuhnya di dinding. Tangisnya pecah ruah menggema dalam desir nestapa. Adik dari sang calon suaminya memeluknya dengan erat. Membisikkan kata semangat di telinga Nuna.
Mencoba untuk berdiri dengan kekuatan yang dimiliki. Nuna harus bisa terus berjuang dengan doa-doanya. Berharap sebuah keajaiban datang dengan segera.
***
Hendra dan Nirmala yang baru saja mendarat di Jakarta, segera dengan cepat melihat kondisi putri cantiknya. Demam Asila sejak malam tak turun, bahkan terus saja meningkat. Hendra tak bisa lama berpikir, dia segera membawa Asila ke rumah sakit.
Nirmala tak mau ketinggalan. Di pelukan Nirmala, Asila tertidur pulas saat berada di perjalanan. Nirmala yang melihat kondisi lemah putrinya sungguh tak tega. Wajahnya pucat dan bibirnya pun seperti pecah-pecah.
Jalanan yang sangat padat membuat pergerakan mobil tak secepat biasanya. Hendra sepanjang jalan mengumpat karena tak mendapatkan celah untuk mengendarai mobilnya melaju dengan apa yang diinginkan.
“Mas, bagaimana jika aku mengantarkan Asila dengan ojek saja, biar cepat sampai.”
“Diam kamu!”
Nirmala seolah kembali terdiam dengan jawaban yang merongrong hatinya. Air matanya seketika menetes pelan. Dirinya hanya ingin Asila cepat tertangani. Namun respon suaminya sungguh tak bisa didengar oleh telinga. Sakit menjalar sampai sekujur tubuh.
Hendra berpikir keras. Hingga akhirnya dirinya membanting setir ke kiri. Mencoba mencari jalan pintas. Dan akhirnya keputusan Hendra sangatlah tepat. Dirinya mendapatkan jalan yang bisa membuatnya sampai ke rumah sakit dengan cepat.
Dokter segera masuk ke ruang pemeriksaan. Segera memeriksa kondisi Asila dengan cepat. Hendra dan Nirmala saling diam. Hanya memanjatkan doa terbaik untuk sang putri.
Nuna seketika meledakkan kesedihannya saat sang dokter datang membawa kabar duka baginya. Sang calon suaminya telah tutup usia. Nuna menjerit keras dengan suara yang begitu tak dapat dikontrolnya lagi. Pecah jerit dan tangisnya yang membelenggu begitu sakit.
Nirmala yang mendengar suara jeritan itu pun, segera menoleh ke arah suara. Tanpa disangka sosok wanita yang terlihat dalam pandangan matanya itu membuat hatinya seakan berdesir. Nirmala melangkah dengan langkahan cepat.
Di depan Nirmala, Nuna berdiri dengan tangisnya yang tumpah ruah. Dirinya tak tahu bila Nirmala juga berada di rumah sakit yang sama. Nuna hanya bisa menatap langit-langi dan terus saja menangis di pelukan wanita yang tak lain adalah adik dari calon suaminya itu.
“Nuna.”
Panggilan itu membuat Nuna menoleh dengan segera. Memandang wanita yang berdiri tegap dengan pandangan ke arahnya. Nuna mengusap air matanya dan berlari dengan segera. Memeluk erat Nirmala dengan kerinduan yang sudah memuncak dalam.
Tak ada yang dikatakan keduanya. Hanya dekap penuh kasih sayang yang terhadirkan. Kerinduan yang tak terbendung lagi hingga waktu seakan mengikisnya. Kini pertemuan tak disengaja itu menjadi sebuah moment berharga meski dalam kondisi yang sama-sama dalam nestapa.
***
Mama Rose dan pak Yusron akan segera pergi untuk menuju rumah sakit. Ingin mengetahui kondisi sang cucu. Menemani dalam sebuah harapan tentang kesembuhan yang didambakan. Saat mereka membuka pintu rumahnya. Betapa terkejut dengan tatapan nanar.
Wanita yang sudah bertahun-tahun, lebih dari empat tahun pergi dari kehidupan keluarganya. Kini hadir berdiri di hadapan mereka. Pak Yusron dan mama Rose salaing menoleh satu sama lain. seperti tak menyangka bila wanita yang sedang menatap mereka itu akan datang kembali.
Mama Rose seakan tak peduli dengan kehadiran wanita yang pernah menjadi menantunya itu. dirinya menarik sang suami agar cepat meninggalkan rumah dan pergi ke rumah sakit.
“Pa, ayo cepat kita pergi, tak ada waktu lagi di sini, apalagi untuk mengurusi sesuatu yang tak penting.”
Wajah ketus mama Rose tergambar dengan jelas. Merasa tak acuh dengan tamu yang tak diundang itu. Namun mama Rose yang berusaha untuk tak peduli terkalahkan dengan simpuhan Rosmalina. Dia memegang erat kaki mantan mertuanya itu dengan bersujud memohon maaf.
“Lepaskan kakiku, pergi kamu Rosmalina!”
“Maafkan aku, Ma. Maafkan semua kesalahanku. Aku siap menerima hukuman, tapi aku ingin bertemu dengan anakku, Ma.”
“Pergi kamu! Anakmu tak butuh ibu sepertimu.”
Rosmalina semakin erat memegang kedua kaki mama Rose, sehingga membuat mama Rose sama sekali tak bisa bergerak. Pak Yusron pun akhirnya turun tangan.
“Rosma, datanglah lagi besok, kami sedang buru-buru ke rumah sakit, tolong jika kamu mau dihargai kedatanganmu, hargai juga kami, kami punya urusan yang juga tak bisa ditinggalkan.”
Pak Yusron menatap Rosmalina penuh. Rosmalina pun seakan tak bisa menolak permintaan mantan papanya itu. Dirinya segera melepaskan dekap erat tangannya pada mama Rose. Seketika itu mama Rose pun langsung pergi meninggalkan Rosma yang tetap terdiam di depan pintunya.
***
Dokter yang memeriksa Asila segera menemui Hendra dan juga Nirmala. Menyampaikan sebuah kondisi yang kini sedang dialami sang putri.
“Dokter, bagaimana kondisi anak saya?” tanya Hendra.
Nirmala dengan wajah pucat dan hati berdebar-debar menunggu penjelasan dokter tentang kondisi anaknya. Matanya berkaca-kaca, tak sabar dengan apa yang ingin segera diketahuinya.
“Pak, Bu, mohon bersabar dan terus semangat karena Asila mengidap penyakit yang sangat serius.”
Baru mendengar setengah dari penjelasan sang dokter. Nirmala seketika membuang air matanya. meskipun dirinya belum mengetahui penyakit serius apa yang kini diderita sang anak. Namun mendengar Asila mengidap penyakit serius, tiba-tiba saja Nirmala jatuh tak sadarkan diri.
^Cengkir^
"Busuk ketekuk, pinter keblinger."
(Orang bodoh ataupun pandai suatu saat pasti akan mengalami keusulitan.)