Bab 10. Kepikiran

1039 Kata
Setelah Zoya pergi, Winston pun memilih untuk pulang. Ia datang ke sana hanya untuk melihat-lihat. Sesekali kenangan masa lalu berkelebat, namun segera ia tepis karena ia memang tak ingin mengingatnya lagi. Sepanjang malam itu, entah mengapa Winston kesulitan tidur. Padahal selama ini ia tak pernah mengalami insomnia. Ia sangat disiplin waktu. Bahkan jam tidur pun terjadwal dengan baik. Ia memang terbiasa tidur jam 12 malam. Maka dari itu, selepas menyelesaikan pekerjaannya, Winston pun segera berbaring di atas ranjang. Winston menempati kamar yang terbesar di vila itu. Sementara Juna menempati kamar lainnya yang lebih kecil. Saat hendak memejamkan mata, seketika sorot mata Zavier yang menatapnya dingin nampak menyoroti dirinya. Winston sampai tersentak. Entah kenapa, sorot mata itu terlihat seakan menyimpan kemarahan. Berbeda dengan sorot mata Zavier saat bertemu dengannya. "Kenapa aku kepikiran anak kecil itu?" gumam Winston sambil mengusap wajahnya. Berkali-kali Winston berusaha memejamkan matanya, tetapi sorot mata itu lagi-lagi terlihat di depan matanya. Winston sampai tak bisa tidur. Padahal sudah jam satu dini hari, namun ia tetap saja tak bisa memejamkan matanya. Winston yang kesal pun beranjak ke balkon sambil menyahut rokok miliknya yang tergeletak di atas nakas. Ia membakar ujung batangan nikotin itu dan menghisapnya dalam-dalam. Dihembuskannya asap itu ke udara sehingga membentuk gumpalan putih yang indah. Bila saat hendak tidur, dirinya selalu terbayang dengan wajah Zavier, maka kali ini Winston justru terbayang wajah Zoya yang menatapnya dengan binar bahagia. Lalu berganti dengan binar kesedihan saat ia mengatakan kalau ia bukan ayahnya. "Siapa anak-anak itu? Kenapa aku selalu kepikiran mereka?" gumam Winston yang kebingungan sendiri. Di saat kebingungan melanda, seketika Winston terbayang wajah Zoya saat berbalik badan dan mengucapkan kata "Salangheyo Uncle" dengan wajah menggemaskan. "Zoya, Zavier, kenapa nama kalian mirip, ya?" ucap Winston. Namun, dahinya seketika mengernyit. "Mengapa wajah kalian juga seperti familiar? Aaargh, aku sebenarnya kenapa? Kenapa aku jadi selalu kepikiran mereka?" gumam Winston seraya meraup wajahnya kasar. *** Tak berbeda jauh dengan Winston, sepanjang malam Roro pun tak dapat tidur. Hal ini karena masalah keuangan yang sedang ia alami. Roro tengah menghitung sisa uangnya. Pendapatannya semakin hari semakin menurun. Padahal biaya hidup semakin besar membuat Roro kebingungan setengah mati. "Aku harus gimana?" lirih Roro sambil memijat pelipisnya. Roro membuka aplikasi chat miliknya. Ia menghela nafas. Pihak sekolah sudah mengingatkan perihal uang SPP yang belum dibayarkan. Belum lagi sebentar lagi akan diadakan kegiatan studi tour. Biayanya cukup mahal karena akan melakukan perjalanan ke luar kota. Anaknya ada dua, sudah tentu uang yang dibutuhkan dua kali lipat. Belum lagi untuk membeli apa-apa saja yang mesti mereka bawa. Roro mendesah frustasi. Air matanya menetes. "Mengapa sulit sekali?" *** "Mami kenapa? Kenapa mata Mami bengkak? Mami sakit?" tanya Zoya mendadak khawatir saat melihat kelopak mata Roro yang sedikit bengkak. Roro memaksakan diri untuk tersenyum. Ia tak mau masalahnya justru menjadi beban bagi anaknya. "Nggak kok. Tadi malam Mami habis nonton dracin yang sedih banget. Jadi Mami nangis terus mata Mami bengkak deh," ujar Roro yang jelas saja berdusta. Zoya yang terlalu lugu percaya begitu saja. Namun, berbeda dengan Zavier. Anak laki-laki itu terlalu peka. Ia tahu, ibunya sedang bersedih. Tapi ia tak tahu apa yang membuat ibunya bersedih. "Mau bawa bekal apa?" tawar Roro. Zoya menggeleng. "Nggak usah, Mi. Tapi Zoya boleh minta uang aja untuk jajan?" ucap Zoya sambil mengerjap-ngerjapkan mata. Jurus andalannya agar Roro mau menuruti permintaannya. "Zoya," sergah Zavier. Zavier tahu, laundry ibunya semakin hari semakin sepi. Sudah banyak orang yang pindah dari sana. Entah kapan giliran mereka yang diminta pindah. Mereka tentu tidak bisa menolak kalau pada akhirnya mereka diminta untuk pindah. Sebab baik tanah maupun rumah itu bukanlah milik mereka. Banyaknya orang yang pindah sudah pasti memengaruhi pendapatan sang ibu karena tinggal sedikit saja yang menggunakan jasa laundry mereka. "Zaviel, apa sih?" protes Zoya. "Nggak usah, Mi. Jangan kasi Zoya uang. Nanti kebiasaan," ujar Zavier membuat Zoya mendelik. "Zaviel kamu kok celewet banget sih?" Zoya menekuk wajahnya masam. "Zavier, bukan Zaviel. Makanya jangan kebanyakan jajan jadi nggak bisa nyebut R," ejek Zavier sambil menjulurkan lidahnya. Bibir Zoya seketika mencebik. "Udah, udah. Ya sudah, ini, ambil ini." Roro tak ingin anak-anaknya bertengkar pun mencoba menengahi. Lalu Roro menyodorkan selembar uang lima ribuan pada Zoya. Seketika ekspresi sedih Zoya jadi berbinar. Ia tersenyum lebar saat menerima uang itu. Zavier ingin menegur, tapi Roro justru menggeleng. "Ini untuk Zavier," ucap Roro seraya menyerahkan selembar uang lima ribuan pada Zavier. Tapi Zavier menolak. "Nggak, Mi. Zavier nggak usah. Zavier udah kenyang kok sarapan tadi," tolak Zavier seraya tersenyum lembut. Roro tersenyum penuh haru. Ia merasa beruntung memiliki anak-anak yang begitu menggemaskan. Meskipun langkah yang ia ambil salah, tetapi Roro tetap amat sangat bersyukur karena ternyata benih yang ia curi bisa menjadi anak-anak yang pintar dan tampan serta cantik. Karena hari sudah menjelang siang, Roro pun segera mengantarkan Zoya dan Zavier ke sekolah. Di sekolah mereka belajar seperti biasa. Sera yang semula suka mengganggu Zoya, tampak lebih menjaga jarak. Saat jam pulang sekolah, Zoya dan Zavier pun bergegas menuju ke depan pintu gerbang. Tampak para orang tua siswa berlalu lalang menjemput anak-anak mereka bergantian. Tak terasa, semua teman-teman Zoya dan Zavier sudah pulang. Tinggallah mereka berdua saja di sana. Zoya yang sudah lelah berdiri pun berjongkok di depan pagar. Mereka bingung, kenapa ibu mereka tak kunjung menjemput. "Zaviel, Mami ke mana, ya? Kok belum datang?" ucap Zoya seraya memainkan batu-batu kecil di tanah. "Aku juga nggak tau. Zoya, jangan main kotor!" sergah Zavier. "Nggak main kotol kok. Cuma main batu aja." "Iya, tapi 'kan batu itu kotor." Sebenarnya Zavier pun resah. Ibunya tak pernah terlambat menjemput seperti ini. "Nanti Zoya cuci tangan kok, Zaviel celewet," ucap Zoya seraya menjulurkan lidahnya. Saat sibuk berdebat, sebuah mobil hitam lewat di dekat sana. Seseorang di dalam mobil itu pun segera meminta sopirnya menghentikan mobilnya. "Berhenti!!" ucap Winston tiba-tiba membuat sang sopir pun segera menginjak rem. Alhasil, kepala Juna yang duduk di depan menghantam dashboard. Juna ingin mengumpat, tapi karena yang menyuruh berhenti adalah bosnya, Juna pun akhirnya memilih diam. Juna menoleh ke belakang. Tampak atasannya sedang terpaku menatap ke luar jendela. Dalam hitungan detik, Juna pun ikut terpaku. "Anak-anak itu ...." Di saat bersamaan, suara sirine menggema. Mobil polisi dan ambulance pun melaju cepat membelah jalanan. Zoya dan Zavier pun ikut mengarahkan pandangannya ke mobil-mobil yang lewat tersebut. Seketika, mata mereka terbelalak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN