Awalnya raut wajah Zoya terlihat tegang, tapi beberapa saat kemudian raut itu menjadi sumringah. Senyum lebar menghiasi wajah cantiknya. Tak peduli giginya tanggal satu, tapi justru itu membuat wajah Zoya semakin menggemaskan. Apalagi dengan pipinya yang memerah karena suhu udara yang sedikit lebih dingin dari biasanya karena hujan yang sempat mengguyur siang tadi.
"Hai, Uncle. Uncle kok tampan sekali? Apa Uncle papi Zoya?" tanya Zoya tiba-tiba membuat laki-laki yang tak lain Winston itu mengerutkan keningnya. Pandangannya masih terpaku dengan wajah menggemaskan Zoya. Entah mengapa, ia merasakan jantungnya berdebar-debar.
"Kenapa Uncle diam?" tanya Zoya yang kini kembali menggenggam tangan Winston. Winston mendadak merasakan gemuruh di dadanya. Rasa hangat itu seketika menyeruak memenuhi rongga d**a Winston.
"Uncle benal 'kan papi Zoya yang tak pulang-pulang? Soalnya muka Uncle seperti bule sama seperti muka Zoya. Olang-olang seling bilang muka Zoya sepelti bule. Tidak milip dengan Mami yang olang Indonesia," ujar Zoya lagi membuat Juna yang berdiri di belakang Winston menahan tawanya. Merasa geli sendiri dengan perkataan Zoya yang mengaku-ngaku anak Winston.
Mendengar suara Juna yang menahan tawa, Winston melirik tajam. Juna pun sontak menutup rapat mulutnya.
Setelah itu, Winston berjongkok di hadapan Zoya.
"Memangnya Papi Zoya ke mana?" Mendengar Zoya yang acap kali menyebutkan namanya sendiri "Zoya" membuat Winston yakin kalau Zoya adalah nama gadis kecil itu.
"Kata Mami Papi Zoya pelgi yang jauh untuk bekelja dan mencali uang yang banyak sekali. Kalena uang papi belum banyak jadi papi belum bisa pulang. Apa uang Papi sudah banyak jadi Papi sudah pulang ke mali?" tanya Zoya dengan wajah polosnya membuat hati Winston bergetar hebat.
"Ada apa denganku? Tidak mungkin 'kan aku tiba-tiba tertarik dengan anak kecil? Memangnya aku p*******a," gumam Winston dalam hati yang mengira dirinya memiliki ketertarikan dengan seorang anak kecil.
"Maaf gadis kecil, tapi Uncle bukan Papi Zoya," ucap Winston tak ingin Zoya salah paham.
"Yah, jadi Uncle bukan Papi? Jadi papi kapan pulangnya? Zoya 'kan ingin sepelti yang lain, punya papi. Disayang papinya, jalan-jalan dan belmain dengan papinya," ucap Zoya lirih.
Entah mengapa ungkapan hati Zoya itu semakin membuat Winston bergetar. Ada rasa yang tak biasa di dalam hatinya. Winston panik sendiri. Bagaimana kalau ia memang memiliki ketertarikan dengan Zoya?
Winston memang tidak tertarik menikah apalagi menjalin hubungan. Namun, itu bukan berarti ia tidak normal apalagi tertarik dengan anak kecil. Ia pernah tertarik dengan seseorang. Hanya saja, ia menyimpan rapat dan mengubur dalam-dalam rasa ketertarikan itu tanpa seorang pun yang tahu. Ia sudah berprinsip takkan pernah menjalin hubungan dengan siapapun.
"Begini saja, Zoya tadi minta Uncle bantu mainkan itu ya? Bagaimana kalau Uncle bantu, hm?" tawar Winston berharap dengan begitu ia bisa mengusir mendung di wajah Zoya.
"Benalkah?"
Winston pun mengangguk. Ia pun segera berdiri dan menyingsingkan lengan bajunya. Zoya menyerahkan koin yang tersisa di tangannya. Awalnya Winston sedikit bingung. Ia pun memperhatikan petunjuk yang tertera di dekat tuas pencapit. Setelah membaca petunjuk, Winston pun mulai beraksi. Dan tak sampai 10 detik, boneka incaran Zoya pun berhasil ia dapatkan. Zoya sampai memekik girang dan bertepuk tangan.
"Yeay, belhasil! Uncle benal-benal hebat. Telima kasih, Uncle," serunya apalagi saat Winston sudah memegang boneka kuda pony di tangannya. Matanya berbinar-binar membuat Winston sontak tersenyum lebar.
Melihat situasi yang amat sangat langka, Juna pun diam-diam memotret interaksi Winston dan Zoya menggunakan kamera ponselnya.
"Uncle, Uncle mau tidak jadi Papi Zoya? Habisnya, nunggu Papi Zoya pulang lama banget," ujar Zoya dengan bibir merah yang mengerucut. Winston tak dapat menahan senyumannya. Ia pun reflek mengusap puncak kepala Zoya.
"Maaf ya, Zoya, tapi Uncle tidak bisa."
"Kenapa? Apa Uncle ...."
"Zoya, Zoya," terdengar suara Roro yang memanggil Zoya. Mata Zoya membulat setelahnya.
"Wah, gawat! Mami cali Zoya. Bye, Uncle, Zoya pelgi dulu, ya. Mami pasti khawatil cali-cali Zoya," ucap Zoya sambil berlari menjauh. Namun, sebelum menghilang, Zoya kembali berbalik dan menyatukan ibu jari dan jari telunjuknya.
"Salangheyo Uncle," teriak Zoya dengan senyuman lebarnya. Winston sampai terpaku. Ada rasa tak rela kehilangan bocah kecil yang sangat menggemaskan itu.
***
"Zoya, kamu dari mana sih? Buat Mami cemas aja," ujar Roro dengan wajah khawatir. Ia sedang berjongkok di depan Zoya yang memeluk boneka kuda pony.
"Zoya habis main mesin capit, Mami. Telus Zoya dapat boneka ini. Bonekanya bagus ya, Mami." Zoya berucap dengan mata berbinar-binar. Wajahnya terlihat begitu bahagia.
Roro baru tersadar kalau putrinya sedang memeluk boneka kuda pony. Roro sedikit terkejut melihatnya.
"Kamu berhasil mendapatkan boneka ini? Hebat sekali," ujar Roro terkagum-kagum.
"Bukan Zoya, Mami. Zoya nggak bisa. Zoya gagal telus malah. Untung ada Uncle baik hati dan tidak sombong. Uncle tampan itu bantu Zoya dapatin boneka ini. Unclenya hebat sekali, Mami. Masa' sekali main, Uncle itu bisa langsung dapatin boneka ini. Zoya aja nggak bisa," seru Zoya bercerita.
"Uncle tampan?"
"Iya. Unclenya tampan sekali. Mukanya bule kayak Zoya dan Zaviel. Tadi Zoya pikil Uncle itu papi Zoya yang sudah pulang, eh telnyata bukan. Papi kapan pulangnya sih? Zoya 'kan kangen. Apa Papi tidak sayang Zoya dan Zaviel ya, Mi, makanya nggak pulang-pulang?" cetus Zoya membuat Roro merasa benar-benar bersalah. Ia tak tahu sampai kapan harus membohongi anak-anaknya. Mereka sudah terlalu berharap. Bila dibiarkan, mereka akan semakin terluka.
"Zoya, katanya mau makan es krim. Yuk, beli sama Paman," bujuk Antares agar Zoya berhenti membahas tentang ayahnya. Antares yang mengetahui Roro seorang janda khawatir Roro akan kembali dengan mantan suaminya karena anak-anaknya yang menginginkan ayah mereka. Ia pikir Zoya dan Zavier adalah anak-anak Roro dari mantan suaminya. Antares jelas tak rela. Ia sudah sangat tertarik dengan Roro yang cantik, baik, dan memesona.
"Es klim? Yeay, Zoya mau. Ayo Paman! Zoya mau es klim rasa vanilla," seru Zoya bersemangat membuat Roro bernafas lega karena Zoya yang tak lagi membahas tentang ayahnya. Namun, saat Roro berdiri, ia mendapati Zavier yang sedang termenung. Zavier memang lebih pendiam dari Zoya. Terkadang Roro sendiri kesulitan menebak isi hati Zavier. Roro khawatir sebenarnya Zavier pun memikirkan ayah mereka sama seperti Zoya.
"Maafkan, Mami, Nak. Bukan Mami tak mau mempertemukan kalian dengan papi kalian. Tapi ... Mami sendiri tidak tau siapa papi kalian sebenarnya."
Roro memalingkan wajah ke keramaian yang ada. Tanpa sengaja matanya bersirobok dengan sepasang mata seseorang yang terlihat familiar. Keduanya bahkan saling bertatapan hingga beberapa menit sampai Roro akhirnya menarik pandangannya dan mengalihkan ke arah lain. Beberapa saat kemudian, Roro pelan-pelan mengarahkan pandangannya lagi ke arah di mana sosok yang dilihatnya tadi berdiri.
"Tidak ada. Apa orang tadi hanya halusinasiku saja ya? Soalnya sorot matanya mirip dengan ...." Roro melirik Zavier yang tampak memainkan bola kecil di tangannya.
"Zavier ...."