Rangga dan Humaira

2618 Kata
"Makanya, bang, temui cinta yang baru dong. Walau bukan berarti mengganti cinta yang lama juga." "Kalau namanya cinta itu mau baru atau lama yaaaa sama saja. Yang lama juga akan terganti dengan yang baru. Tapi dalam istilah hidup, tidak ada istilah cinta lama dan baru. Yang ada itu kemungkinan perasaan yang berubah." Zakiya terkekeh. Ie mendorong bahu Andra hingga abangnya itu melotot. Kalau ia oleng seperti tadi bagaimana? Lagi pula tenaganya Kiya ini kan bukan tenaga perempuan biasa. Berhubung orangnya handal jadinya yaa tenaga kuda. Yeah, sekuat itu memang Zakiya. Ia sudah biasa hidup dengan ditempa banyak urusan dan hobi mencari masalah. Dan Andra adalah orang yang selalu ia susahkan. Namun sayangnya, karena mereka sempat terpisah kampus, Zakiya lebih banyak melakukan hal-hal sendiri di Jakarta. Andra kan kuliah cukup lama di Bandung. Alasannya? Katanya sih mau mengubur asmara. Tapi sampai sekarang saja masih belum move on. Zakiya heran. Sebegitu susahnya kah? Ya memang susah sih. kalau membicarakan soal move on, bukan kah ia juga sama dulu? Hahaha. Tapi itu dulu loh ya. Kalau sekarang? Zakiya lebih suka karena hatinya hampa. Sehingga ia hanya akan fokus pada kehidupannya dan negara. Ya secinta ini ia pada negara sampai rela menjomblo lama. Hak-hak masyarakat sipil wajib disuarakan karena melalui tangan dan tulisannya lah barangkali, mereka sama-sama bisa memperjuangkan hal itu semua. "Dan lagi, Mama itu--" Ia tak jadi melanjutkan ucapannya. Ponselnya berdering dan muncul lagi nama Rangga di sana. Padahal baru bermenit-menit lalu lelaki ini menghubunginya. Ada apa sebetulnya? Bukan sesuatu yang buruk kan? Ia jadi khawatir. "Ada apa, Mas?" Andra menahan tawa mendengarnya. Sudah hapal dengan lelaki yang paling sering menemui Zakiya. Ia juga sudah tahu. Kedua orangtuanya juga. Tapi tak pernah dibawa ke rumah. Zakiya bilang kalau hanya berteman. Tapi anehnya sampai sedekat ini ya? Ya, tapi tak perlu menaruh curiga juga. Karena bukan hanya satu atau dua lelaki yang seperti ini. Ada banyaaaaak. Andra tak pernah menghitungnya dan Zakiya tak pernah memerdulikannya. "Maaf, Kiya. Tapi Mas boleh meminta tolong?" Zakiya mendengar dengan serius. Begitu mendengar permintaannya, ia langsung paham. Kemudian menutup teleponnya. "Bang, putar balik," tuturnya pada Andra. Andra mengerutkan kening meski menuruti permintaannya. Oke, tapi apa urusannya dengan adiknya? Ahhhh kenapa ia lama sekali berpikirnya? "Kenapa?" "Adiknya Mas Rangga masuk rumah sakit. Dia minta tolong Kiya buat jagain." Kening Andra mengerut. Bukan kah ini sesuatu yang cukup mencurigakan? Meski ia tak mempertanyakannya secara rinci. "Emangnya gak ada orang lain?" Ia heran. Ya kan? Zakiya menghela nafas. Kalau harus diceritakan dari awal akan rumit dan panjang. Yang ada, mereka akan membuang waktu dan tak sampai-sampai ke sana. Padahal kan, ia baru saja dimintai tolong. "Mereka hanya berdua di sini. Ayah dan ibunya di Jogja." "Anak rantau?" "Iya. Semacam itu lah." Di dalam pikirannya ya berbeda. Meski anak rantau tapi bukan anak rantau yang masih tak punya tempat tinggal tetap. Rangga kan sudah memiliki rumah di Jakarta meski sederhana. Harganya juga pasti tetap lumayan. Tahu sendiri berapa harga satu petak tanah di Jakarta. Bisa ratusan dengan luas yang tak seberapa. "Kirain udah lama di sini." "Mereka tinggal di kontrakan gitu, Bang. Ya rumah sendiri sih tapi kayak kontrakan tampilannya." "Tahu banyak lo ya." Zakiya mendengus. Ia menjulingkan matanya. Ya......ia pasti tahu banyak lah. Kan Rangga cukup dekat dengannya. Belum lagi, lelaki itu adalah atasannya di kantor mereka. Wajar? Ya kalau orang-orang paham jika hubungan atasan dan bawahan itu memang hampir tak ada di kantor mereka. Rangga lebih suka menganggap mereka sebagai rekan kerja alih-alih ada gap di antaranya. Dan ia juga lebih menyukai batasan-batasan semacam itu. Sehingga yaa tak perlu terlalu sungkan, siapapun bebas mengemukakan pendapat namun tetap ada penghormatan di dalamnya. Zakiya juga nyaman bekerja di sana. Karena lingkungan dan orang-orang yang tergabung di dalamnya. "Adiknya itu maksudnya--" "Iyaaa yang waktu itu Abang pernah ketemu juga. Namanya Humaira. Pasti lupa wajahnya kan?" "Agak-agak lupa," akuinya. Ia bahkan benar-benar tak ingat yang mana. "Adiknya itu kuliah di UI. Tadi juga jadi orator. Terus katanya Mas, Maira ketangkep. Pas disamperin ke rutan, polisi gak mau ngaku kalo nangkepin pendemo. Terus gak tahu deh ada kejadian gitu, tahu-tahu si Maira dipukul kuat sampe pingsan. Ini udah dibawa ke RS. Tapi Mas Rangga kan sibuk. Ngurusin yang lain yang masih pada ditahan. Jadi Kiya yang diminta ke sana biar bisa jagain." Andra mengangguk-angguk. Sudah hapal persoalan keluar-masuk penjara karena Zakiya lebih khatam. Hahaha. Gadis yang satu ini bukan kriminal. Tapi posisinya sebagai orator yang sering dianggap sebagai provokator oleh aparat kepolisian. Padahal apa yang salah dari menyuarakan kebenaran? Bukan kah tak ada? Memang dasar polisi saja yang menurutnya k*****t. Seolah tak ada pekerjaan lain saja. Padahal ada banyak kejahatan yang lebih penting untuk ditangkap di luar sana alih-alih hanya mengurusi mahasiswa yang berdemo. Bukan kah demo itu wujud mahasiswa yang pernah berpikir? Karena kuliah tidak sekedar menerima ilmu tapi juga menyuarakan ilmunya. Bagi Kiya ya seperti itu. Dan lagi, pemerintah yang sudah salah arah itu wajib untuk diingatkan loh. "Bisa dituntut gak itu? Polisi melakukan kekerasan." "Ya bisa. Mungkin ribet dan agak sulit nembusnya. Karena kita rakyat kecil, Bang. Kalo Farrel atau para sepupunya yang ditampar, mungkin bisa menuntut." Andra hanya bisa tertawa mendengar itu. Ya ada benarnya. Hukum memang selalu tumpul ke atas tapi tajam ke bawah. Haah. Sebenanrya itu juga pekerjaan para oknum. "Itu lah namanya politik tebang pilih. Kasus-kasus korupsi yang sekarang juga gak semuanya dihajar kan. Dipilih-pilih. Kalo ada hubungannya sama oligarki dan penguasa, pasti gak akan mau diusut tuntas. Kalo pun iya, hanya beberapa orang yang ditumbalkan saja." Andra mengangguk-angguk. Ia paling suka berbicara dan berdebat dengan adiknya yang sangat kritis ini. Ia suka cara berpikir Kiya yang lebih mementingkan kepentingan masyarakat umum meski terkadang bodohnya lupa dengan keselamatan diri sendiri. "Terus kasus si caleg yang katanya ada hubungan dengan korupsi suara pemilu itu gimana?" Zakiya menghela nafas. "Kalo informasi dari temen-temen yang ada di KPK, mereka udah tahu keberadaan buronan itu. Sialnya, surat izin buat nangkap tuh orang sengaja gak ditandatangani sama atasan. Jadi yaaa gitu deeh. Tersangka dibiarin gitu aja seolah-olah KPK gak kerja. Padahal staf-stafnya yang berintegritas udah berusaha memperjuangkan itu. Sayangnya, atasannya yang bobrok." Ia berbicara dengan sangat gamblang namun menahan kedongkolannya sendiri. Kalau ditanya, apakah ia akan mau berada di bawah naungan lembaga semacam itu? Jawabannya mau tapi ia tak suka dikekang. Ia lebih suka seperti ini. Lebih bebas. Menyuarakan kebenaran dengan caranya sendiri. Andra mengangguk-angguk. "Kalo lo dikasih kesempatan untuk menjabat jadi kepala lembaga, mau ditempatin di mana?" "Dilematis, Bang. Kalo yang pegang kuasa adalah orang-orang yang tidak amanah, mau jabatannya Kia tinggi juga percuma. Gak begitu berpengaruh karena banyak tekanan dari mereka. Jadinya kan otomatis kalah suara. Suara sendirian, apanya yang bisa diperjuangkan? Mendingan Kiya kayak gini. Meski lembaganya Mas Rangga itu kecil, tapi kekuatan kami itu besar, Bang." Ia menggebu-gebu. Ia memang sangat bangga dengan pekerjaannya. Mungkin abangnya tak paham karena mereka memlih jalan yang berbeda. Yeah, lihat saja tampang anak band dari wajah abangnya. Sang vokalis kece dari SMP hingga kuliah ini memang lebih menjanjikan. Meski abangnya juga termasuk orang yang sangat kritis. Ia menyukai pola pikir dan cara berpikir abangnya yang selalu berpikir jauh ke depan sana. "Gimana bisa?" "Bisa lah. Kan geraknya pakek suara kebenaran. Yang namanya kebenaran itu gak akan kalah sama apapun. Percaya deh, Allah itu pasti bersama orang-orang yang benar. Naah kalo orang-orang yang zalim dan gak amanah itu sama siapa? Ya sama setan. Setan emangnya punya daya dan kekuatan? Enggak. Allah yang punya itu. Jadi udah jelas, Bang. Akhirnya mereka akan kalah. Cuma balasannya aja tergantung Sang Pencipta. Kalo Kiya nih kepengennya, itu para pejabat yang zalim sama gak amanah dapat balasannya secara langsung tuu kayak Fir'aun atau Ataturk!" Andra terkekeh. Ia juga bangga sih pada adiknya ini. Karena sangat konsisten sejak dulu. Ia perhatikan, Zakiya memang selalu tahu apa yang akan ia lakukan dan apa yang ia inginkan. Semua tersusun rapi namun dalam keadaan tertentu ia bisa menjadi sangat fleksibel. @@@ Zakiya langsung berlari masuk ke dalam sebuah ruang rawat. Rangga sudah berpesan kepadanya. Begitu membuka pintunya, ia melihat Humaira terbaring. Wajahnya bahkan masih memerah. Ia iba melihatnya. Tak lama, Andra muncul di pintu. Cowok itu hanya memerhatikan dari jauh. "Adiknya Mas Rangga?" Zakiya mengangguk. "Cantik ya?" Kening Andra justru mengerut. "Kok gak mirip?" Zakiya terkekeh. "Adik sambung katanya." Aaaah. Andra mengangguk-angguk. Pantas saja. Tapi Rangga senang-senang saja. Lelaki itu kan anak tunggal. Katanya ibunya tak bisa lagi hamil karena rahimnya diangkat waktu itu. Menurut Andra, gadis itu cantik, adem untuk dipandang, dan tampak ayu. Wajahnya seperti tak ada karakteristik orang-orang Jogjanya sama sekali. Sementara Rangga baru saja menyelesaikan urusannya. Rekan-rekan sekantornya mengambil alih sisa pekerjaannya. Cowok itu segera pamit karena tak enak hati meninggalkan adiknya. Sekalipun mungkin ada Zakiya. Hampir satu jam kemudian ia baru saja tiba di rumah sakit. Bersamaan dengan kemunculan Agha. Cowok itu juga langsung menanyakan keadaan Humaira. Berapa teman BEM ikut bersamanya untuk tahu bagaimana kasus dan kesehatan Humaira. Mereka juga sedang berdiskusi apakah ini akan dibawa ke ranah hukum atau tidak. Tapi semua keputusan itu tetap diserahkan pada Rangga. Andra memilih keluar dari ruangan, ia biarkan Zakiya tetap di sana. Gadis itu menatap Maira yang tampak pulas. Entah apa yang terjadi namun yang jelas, hal ini malah membuatnya tersenyum kecil. Bukannya ia senang karena Maira dipukul begini, bukan begitu juga. Ia justru salut karena Maira sangat berani. Ia ingat dulu, ia juga sering dipukul polisi. Bahkan papanya pernah mengamuk di kantor polisi karena hal itu. Wajar bukan? Papanya saja tak pernah memukulnya lalu polisi? Mereka yang seharusnya mengayomi masyarakat malah berbuat k*******n terhadap mereka. Bukankah itu benar-benar tak sesuai dengan fungsinya? Kiya menatapnya dari dekat dan tersenyum tipis. Sejak dulu, ia sangat menyukai gadis ini. Karena keceriaannya sangat menghibur diri namun masnya, Rangga, justru cemas setengah mati. Karena tahu kalau keceriaan itu hanya menutupi kesedihan. "Masih belum sadar?" "Belum, bang." Andra mengangguk-angguk. "Tadi ada Agha?" "Pengikutnya Farrel?" Andra terkekeh. Yeah, itu masih komplotannya Farrel. Memang salah satu sepupu Farrel. Zakiya tentu saja mengenal semua keluarga Farrel. Selain karena mereka satu sekolah dikala SMA dulu, semua tentang keluarga besar lelaki itu bisa dibaca di berbagai pemberitaan. Sebagai keluarga konglomerat yang sukses ya pasti ada beritanya. Bahkan kerap diliput. Tak lama, Rangga kembali masuk ke ruangan. "Kiya, titip ya," tuturnya. Ia terpaksa pamit untuk pergi lagi hingga akhirnya Humaira sadar tanpa kehadiran kakaknya. Andra baru menoleh saat Rangga kembali keluar dari ruangan. Lalu tangan Maira bergerak. Gadis itu mulai sadar. Pasti syok karena ditampar begitu keras. Zakiya juga mengalami hal buruk hari ini. Benar-benar buruk. Ia bahkan tak menyangka karena akan mengalami hal itu. "Mau minum?" Ia mengangguk-angguk saja. Bingung dengan kehadiran Andra yang duduk di dekat Zakiya. Pacar Zakiya? Aah tidak mungkin. Ia tahu kalau Zakiya bukan tipe perempuan seperti itu. Lalu apa? Matanya mengerjab-erjab. Zakiya sudah menyadari arah tatapannya pada Andra. Bukan suka apalagi naksir namun lebih ke arah ingin tahu. Pasti Maira heran dengan kehadiran Andra karena mereka memang tak pernah bertemu secara langsung. Karena Humaira keheranan dengan keberadaan Andra yang turut menjaganya, Zakiya tersenyum kecil. "Abangnya, Mbak," kenalnya yang membuat Humaira ber-ah ria. Baru tahu kalau Zakiya punya kakak. Waktu Andra melihatnya pertama kali, Humaira tak tahu. Gadis itu keburu pergi waktu Andra datang mendekat. Dan kini tampak begitu jelas. Ternyata ganteng juga, tuturnya dalam hati. Hahaha. Ya Zakiya juga menurutnya cantik. Wajar kalau abangnya juga setampan itu. "Ganteng ya, Mbak?" bisiknya begitu Andra keluar. Zakiya sampai tertawa mendengar kejujurannya. Humaira memang seperti ini. Kalau ganteng yaa ia akan bilang ganteng. "Tapi kok gak mirip yaa? Yaaa ada sih miripnya tapi cuma dikiiiit banget gitu." Zakiya terkekeh. Banyak yang mengatakan itu. Tapi mereka benar-benar kakak-beradik kok. "Laper gak?" "Bangeeet. Mbak gak tahu aja tadi gimana kejadiannya." Ia sudah semangat menceritakan segalanya. Zakiya terkekeh. Ia mendengar ceritanya dengan seksama. Ia benar-benar terlalu berani tadi. Tapi kalau tidak nekat begitu, ia mungkin masih akan tertahan di sana. Ya permainan semacam ini memang seolah sudah biasa. Tapi Maira tetap saja tak terima. Apa salahnya hingga harus dimasukkan ke dalam penjara? Apakah menyuarakan kebenaran itu salah? "Abisnya kalo Maira gak gitu, gak yakin bakal bisa bebas. Meskipun ada pengacara juga pasti dipersulit. Mbak tahu lah gimana," tuturnya. Ia sudah kembali ceria. Ia dengan segala akalnya harus mencari cara untuk bebas. Meski ya banyak temannya yang masih tertahan di sana. Tapi kan setidaknya beritanya sudah anyar. Ini jelas akan lebih mempermudah teman-temannya agar dapat segera keluar dari penjara. Zakiya terkekeh. Ia tentu sangat paham bagaimana realita di lapangan. "Terus temen-temen kami yang lain gimana?" Humaira mengendikan bahu. Meski tiba-tiba teringat seseorang di kepalanya. Ia menghembus nafas dalam. "Ciyeee mikirin Hanafi yaaa?" ledeknya yang membuat Humaira terpingkal. Ia memang dekat dengan gadis yang satu ini. Zakiya sering menemaninya tidur di kontrakan kalau Masnya sedang kabur keluar kota. Maksudnya ada pekerjaan. Yaaa mereka memang sedekat ini. Tapi Humaira juga bertanya-tanya dengan gadis ini, adakah perasaan untuk masnya? Maksudnya dengan segamblang ini masnya selalu meminta tolong padanya. Harusnya pasti paham kan kalau ada yang berbeda. Tapi apakah Zakiya menyadarinya? Wah ini sesuatu yang menarik, pikirnya. "Gak ada kemajuan?" "Kemajuan apa sih, Mbaaak?" Ia berupaya menyangkal. Zakiya justru tertawa. Sementara Humaira mulai menatapnya dengan serius. Ia tak ingin membahas Hanafi di sini. Belum penting untuk dibahas. Karena ya Zakiya pasti tahu apa alasan dibaliknya. Mereka hanya sekedar teman dan tak sedekat gadis ini dengan masnya. "Mbak sendiri gimana?" "Apanya yang gimana?" "Emangnya gak tertarik sama Masnya Mairaaaa?" oloknya lantas tertawa. Yaaa kalau ada rasa tertarik tentunya ada. Tapi ia merasa kalau hubungannya dan Rangga ya sebatas hubungan profesional dan pertemanan. Meski tak menampik pula kalau ia lebih dekat dengan lelaki itu dibandingkan dengan yang lainnya. Ya anak-anak di kantor juga kerap mengolok-olok mereka. Karena ya tadi, perasaan Rangga itu begitu gamblang. Namun Zakiya juga masih mempertanyakan. Jika segamblang itu, kenapa tak pernah maju? "Mas Rangga itu baik, soleh, manis, lumayan ganteng lah. Masih enak diajak jalan ke mall atau pasar malam." Zakiya tertawa mendengar itu. Humaira memang terus terang menawarkan Masnya. Karena menurut Humaira, Zakiya ini kan baik. Masnya juga baik. Jadi cocok kalau sama-sama baik begitu. Ia tentu ingin yang terbaik kan untuk Masnya? Iya kan? Dengan pertimbangan sederhana itu. Selain itu, Masnya ini juga ada hati sama Zakiya tapi tak berani bicara. Entah kapan baru berani mendekatinya. Haaaah. Kenapa ia yang gemas dengan hubungan keduanya? "Mbak!" "Heum?" Zakiya sempat bengong. "Ada gak sih loker di LSM mana gitu yang Mbak tahu. Tapi jangan kasih tahu Mas ya?" Zakiya terkekeh. "Mau ngapain? Kerja? Kamu kan masih kuliah gitu." "Yaa kan cuma sampe semester ini kuliahnya. Sementer depan, aku itu udah skripsi. Jadi santai. Kan lumayan. Biar Mas juga gak capek kerja sendirian." Zakiya tersenyum kecil. Ya begini lah Maira yang ia kenal. Tampak manja dan ceria namun seperti menutup kesedihan. Di sisi lain, berjiwa berani dan sangat mandiri. "Memangnya ayah kami gak ngasih uang?" Humaira nyengir. "Kan kalo udah dapet kerja sebelum lulus jadi enak, Mbak." Zakiya mengangguk-angguk. Benar juga. "Ya udah, nanti aku coba cari ya? Mau yangs sesuai jurusan atau enggak?" "Gak harus. Yang penting jurnalis atau apalah gitu. Kayaknya seru." Zakiya terkekeh. Ia mengangguk lagi. "Kalo masuk di LSM Masmu pasti bisa jurusan kamu tuh. Sangat perlu ahli kimia dalam menganalisis data lingkungan." "Yaaaa tapi itu sih namanya Maira bantu-bantu bukan kerja. Gak bakalan digaji sama Mas!" Zakiya terpingkal. Benar juga. "Dulu kenapa gak ngambil jurnalis?" Humaira memutar matanya. "Waktu itu gak diizinin sama Mas. Mungkin takutnya aku kayak gini. Eeeh ini sama aja kok. Aku juga sering keluar-masuk penjara." Zakiya terkekeh. "Terus rencana kamu abis lulus?" "Maira mau kerja aja, Mbak. Sambil yaaah kerja di beberapa lembaga. Maira pengen berkontribusi banyak untuk ngurusin persoalan perempuan, korupsi, dan hal-hal krusial lainnya. Keren loh itu. Dan lagi, Maira juga gak mau ngerepotin orangtua sama Mas Rangga. Kalo Maira udah kerja kan, beban ngehidupin Maira tuh jadi hilang." @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN